Aparat Pelaku Penganiayaan Perlu Dibawa ke Pengadilan Umum
›
Aparat Pelaku Penganiayaan ...
Iklan
Aparat Pelaku Penganiayaan Perlu Dibawa ke Pengadilan Umum
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Amnesty International Indonesia mempertanyakan tindakan Polri terhadap anggota satuan brigade mobil atau Brimob yang melakukan penyiksaan di beberapa titik di Jakarta sebagaimana yang didokumentasikan Amnesty International Indonesia atau AII.
“Dugaan pelanggaran yang kami angkat adalah pelanggaran HAM yang serius, yakni penyiksaan yang perlu diajukan ke peradilan umum, “ kata Direktur Eksekutif AII Usman Hamid, Jumat (5/7/2019) di Jakarta.
Usman mengatakan, Polri perlu menunjukkan pada masyarakat bahwa setiap warga negara setara kedudukannya di muka hukum. Oleh karena itu, hukuman internal seperti penanganan terhadap pelanggaran etik saja tidak cukup.
Sebelumnya, Amnesty International Indonesia mencatat dan mengkonfirmasi lima tindakan penganiayaan yang dilakukan Brimob di lima area terpisah. Hingga saat ini, Polri baru mengumumkan tindakan terhadap pelaku Brimob di satu lokasi. Menurut Usman, dibutuhkan tindak lanjut untuk penanganan di empat lokasi yang lain seperti depan Fave Hotel Kampung Bali dan perempatan di jalan Agus Salim dan Jalan Sabang.
“Inilah pekerjaan rumah Polri ke depan yang sangat penting untuk peningkatan citra Polri di masyarakat sebagai penegak hukum yang profesional,” tambah Usman.
Sebelumnya, dalam jumpa pers yang digelar oleh Kepolisian Negara RI pada Jumat kemarin, polisi menindak 10 anggota Brimob yang diduga melakukan penganiayaan terhadap Andi Bibir dan Markus, warga Kampung Bali. Mereka akan diproses dengan hukuman etik internal yaitu penahanan di ruang khusus selama 21 hari.
“Tentu akan ada sanksi administrasi lain dari satuan asal. Penyelidikan dugaan pelanggaran pidana juga tengah dilakukan terhadap mereka,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo.
Penganiayaan tersebut dilakukan ketika mereka mengamankan kerusuhan di wilayah tersebut. Pada saat itu, pimpinan kompi mereka terkena panah beracun tetapi karena menggunakan pengaman tubuh tidak ada dampak dari panah itu.
Pemulihan hak korban
Amnesty International telah lama menyoroti lemahnya mekanisme akuntabilitas terhadap dugaan penyiksaan/perlakuan buruk lainnya. Selain pelakunya harus dibawa ke muka hukum, korbannya juga harus diberikan pemulihan hak.
Penjelasan Polri bahwa kejadian di area smart parking di Kampung Bali merupakan aksi “spontanitas” yang dipicu serangan panah beracun kepada komandan kompi harus diimbangi dengan pemeriksaan atas kejadian penyiksaan yang tidak hanya terjadi di Kampung Bali tapi juga di beberapa lokasi lainnya di Jakarta pada waktu yang berbeda-beda.
“Jika itu adalah aksi spontanitas maka mungkin hanya akan terjadi di area smart parking. Tapi temuan kami menunjukkan bahwa di tempat lainnya di waktu yang berbeda juga terjadi aksi penganiayaan oleh anggota Brimob,” kata Usman.
Usman menggarisbawahi, tugas Polri adalah memastikan pertanggungjawaban yang memadai sehingga menghilangkan kultur kekerasan pada aparat dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri. Dengan mengusut tuntas dan menghukum anggotanya yang melakukan kekerasan saat 21-23 Mei maka seluruh lapisan masyarakat akan mengapresiasi keseriusan kepolisian dalam melakukan pembenahan secara profesional.
Korban tewas
Terkait penjelasan Polri mengenai sembilan korban tewas, Amnesty International Indonesia menyayangkan sikap kepolisian yang masih lebih menekankan status mereka sebagai perusuh ketimbang membuka sejelas-jelasnya misteri dibalik tertembaknya kesembilan orang tersebut.
“Terminologi sapu rata bahwa semua dari sembilan orang korban jiwa adalah “perusuh” cenderung menyederhanakan masalah. Polri perlu memberikan penjelasan yang rinci disertai bukti bahwa mereka semua ikut terlibat dalam melakukan kekerasan melawan aparat dan mengancam jiwa petugas atau merusak properti publik," ujarnya.
Beberapa di antara korban tewas yang kasusnya diangkat oleh media massa dan juga diinvestigasi oleh tim Amnesty International Indonesia menunjukan bahwa mereka ada di kerumunan massa yang tidak semuanya melakukan kekerasan. Terlepas keterlibatan mereka yang tewas di tengah aksi massa 21-22 Mei, mereka adalah korban dari kematian yang tidak sah atau unlawful death yang mensyaratkan adanya kewajiban negara untuk mengusut tuntas kasusnya, mulai dari mencari pelaku dengan mencari bukti yang valid untuk bisa dibawa ke muka hukum hingga memberikan reparasi bagi korbannya.