Banjir bandang meluluhlantakkan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, akhir Juni 2019. Tetua kampung dulu berpesan, "jika gunung dikupas, tidak ada tempat tinggal untuk air".
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Seperti air bah, banjir bandang meluluhlantakkan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, akhir Juni 2019. Tetua kampung dulu berpesan, "jika gunung dikupas, tidak ada tempat tinggal untuk air". Dan benar, hanyutlah semua. Ratusan rumah hanyut, ribuan terendam, jembatan pun roboh, tetapi semua warga selamat.
Matahari belum tinggi, ketika Kokoh (64) bercucur peluh mengangkat barang di Desa Puuwanggudu, Kecamatan Asera. Kursi, lemari, dan kasur disusun satu-satu. Sudah dicuci bersih. Rongsokan televisi, kulkas, dan mesin cuci ditumpuk di halaman, juga telah bersih.
Sabtu (23/6/2019) pagi itu, ia bersihkan barang-barang rumahnya yang tersapu banjir bandang. Bagian dalam rumah telah bersih dari lumpur, meski empat ubin copot terseret banjir.
Ruangan tengah ini sebelumnya terbenam lumpur selutut. Bagian dapur rontok. Hampir tak ada barang selamat. Hampir tidak ada barang yang ia selamatkan, selain surat-surat penting dan beberapa helai pakaian. “Air naik cepat sekali waktu banjir kedua datang,” kata ayah empat anak ini.
Banjir bandang menghanyutkan lebih banyak rumah di Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera. Dari 85 rumah, hanya rumah tujuh tersisa. Itupun tampak mengenaskan. Sisanya, menyisakan potongan tangga, bilah papan, dan tonggak-tonggak tiang.
Banjir bandang itu menerjang kampung, Jumat (7/6/2019) malam. Sebelumnya, banjir merendam kampung serta puluhan desa selama empat hari. Air setinggi 50 sentimeter di dalam rumah Kokoh, serupa banjir besar tahun 1977.
Sebagian besar warga telah mengungsi ke tempat lebih tinggi, utamanya perempuan dan anak-anak. Mereka memutuskan mengungsi, karena air naik cepat meskipun hujan baru berlangsung dua hari.
Banjir sempat surut Jumat pagi, sehingga laki-laki pulang dari pengungsian. Para ibu, remaja putri, dan anak- anak masih bertahan di pengungsian.
Mereka yang pulang hendak menurunkan barang dari tempat tinggi. Namun, tiba-tiba air bercampur lumpur datang saat gelap.
Kokoh tak mampu menyelamatkan banyak barang. “Saya coba naik bodi (kapal) masuk ke rumah, tapi air sudah sampai atap dan deras sekali. Ya sudah, barang itu yang cari kita. Tidak usah terlalu sedih kalau kehilangan barang. Selama masih hidup, barang-barang bisa dicari,” kata kakek bercucu sepuluh ini sembari bersih-bersih.
Akbar (36), membersihkan lemari yang habis terendam lumpur akibat banjir bandang di Desa Puuwanggudu, Kecamatan Asera, Kabupaten kOnawe Utara, SUlawesi Tenggara, Minggu (23/6/2019). Banjir bandang menghanyutkan 370 rumah di daerah ini. Banjir yang juga terjadi di tiga kabupaten lain di Sultra ini ditengarai akibat rusaknya kawasan hulu dan kritisnya DAS.Sabtu pagi itu, Ngay L (56), warga lain mengangkat lemari yang terbenam lumpur. Lemari yang kehilangan kaca, juga isinya itu, terdampar 30 meter dari rumah. Selain lemari, dapurnya terseret air. Pun sejumlah karung berisi gabah.
Ayah tiga anak ini bercerita, banjir bandang ini tak pernah terbayang. Meski wilayah ini rutin banjir tahunan, ketinggian air tak pernah separah ini.
“Waktu air mulai surut, sorenya langit hitam sekali, termasuk di hulu. Makanya saya sama istri mau menginap di rumah tidak jadi. Pasti hujan deras di atas sana,” kata Ngay.
Benar saja, air bertambah tinggi sejak sore itu. Warga beramai-ramai menyelamatkan barang yang tersisa semampu mungkin. Namun, air bertambah deras dari belakang perkampungan, dari Sungai Lasolo dan Sungai Lalindu.
Hingga Sabtu pagi, banjir bandang menerjang. Sedikitnya 20 rumah terseret. Ratusan rumah rusak ringan hingga berat. Sebuah bangunan rumah lepas dari pondasi, terbawa air hingga tengah jalan.
Banjir bandang menghanyutkan lebih banyak rumah di Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera. Dari 85 rumah, hanya rumah tujuh tersisa. Itupun tampak mengenaskan. Sisanya, menyisakan potongan tangga, bilah papan, dan tonggak-tonggak tiang.
Pohon-pohon juga tumbang. Tanaman yang tersisa merunduk ke arah aliran arus kuat. Akan tetapi, semua warga selamat.
Menurut Ikbar Juslan (46), semua warga telah mengungsi ketika air lebih tinggi dari banjir sebelumnya. Memakai sampan atau perahu, mereka menuju lokasi pengungsian yang ditempati saat banjir rutin melanda.
Mereka juga melihat tanda-tanda alam dengan banyaknya ranting hanyut, juga dalam gelapnya awan di kawasan hulu.
Di Konawe Utara, 370 rumah hanyut dan lebih dari 2.000 rumah terendam. Empat jembatan rusak, beberapa tak bisa diakses. Namun, kemampuan warga memitigasi diri meniadakan korban. Banjir kali ini juga melanda tiga kabupaten lain, yakni Konawe, Konawe Selatan, dan Kolaka Timur.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Doni Monardo mengapresiasi kemampuan warga memitigasi mandiri. Warga cepat merespons tanda-tanda alam dan informasi yang disebar pemerintah agar warga terhindar dari bencana.
“Ini contoh mitigasi bencana yang baik dari masyarakat. Tidak ada korban jiwa sama sekali. Padahal banjir bandang terjadi. Pemerintah juga tanggap untuk segera melakukan penanganan dan pertolongan, karena pelayanan paling utama adalah menyelamatkan nyawa,” ucap Doni ketika meninjau lokasi pengungsian. Ia akan menjadikan Konawe Utara sebagai daerah percontohan mitigasi bencana yang baik.
Namun, ia tetap mendorong adanya kajian mendalam terkait penyebab bencana. Dengan begitu, antisipasi bisa dilakukan untuk penanganan yang lebih baik.
Tempat air
Ini banjir bandang pertama yang menerjang Konawe Utara. Jalur transportasi putus, rumah hanyut, sawah dan kebun terendam, serta puluhan ribu keluarga terdampak. Banjir diduga kuat terkait rusaknya hulu dan kritisnya daerah aliran sungai akibat industri dan perkebunan skala besar.
Aminuddin (60), mengenang, orangtua sering mengingatkan agar tak merusak hutan dan mengambil terlalu banyak. Itu akan mengganggu jalan air di hutan, lalu membahayakan orang banyak.
Ia mengenang, kakek dan ayahnya hanya mengambil seperlunya dari hutan. Kayu dan rotan untuk bangun rumah. Tidak pernah tanah dikeruk atau pohon dibabat massal.
“Sekarang hutan habis ditebang. Gunung dikeruk. Di atas sana dibuka jalan untuk perkebunan tebu. Habis gunung. Bagaimana air tidak turun ke sini, kalau tempatnya di atas sudah tidak ada,” kata Aminuddin.
Ada penggalan kalimat yang sering diucapkan buyutnya dalam bahasa Tolaki, salah satu suku tertua di Sultra, yakni "Toati-ati, sa kinulisino oosu, mbuito tetonroano o iwoi”. Artinya, "hati-hati, kalau sudah dikupas itu gunung, tidak ada tempat tinggalnya air.”
Itulah yang kini terjadi. Jika sudah begitu, "Barang yang cari kita, bukan kita cari barang. Selamatkan nyawa dulu saja,” kata Kokoh.