JAKARTA, KOMPAS— Kementerian Sosial memutuskan untuk menjadikan Perum Bulog sebagai pengelola pasokan bahan pangan dalam program bantuan pangan nontunai atau BPNT. Dengan demikian, badan usaha milik negara itu memiliki kepastian saluran sehingga fungsi stabilisasi harga bisa berjalan lebih baik.
Sejak pemerintah mengubah mekanisme penyaluran bantuan pangan, yakni dari natura melalui beras untuk rakyat miskin (raskin)—yang sekarang disebut beras sejahtera (rastra)—menjadi nontunai, saluran beras Perum Bulog menyempit. Selain menumpuk, stok beras berpotensi rusak dan menambah ongkos penyimpanan.
Keputusan untuk memberikan ”karpet merah” kepada Perum Bulog diambil dalam rapat koordinasi antara Kementerian Sosial dan Perum Bulog, Kamis (4/7/2019), di Jakarta. Hadir dalam rapat itu, antara lain, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, serta Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian Badam Usaha Milik Negara (BUMN) Wahyu Kuncoro.
Agus menyatakan, Perum Bulog akan menjadi pengelola pasokan (supply manager) pangan dan pemasok 100 persen kebutuhan beras dalam program BPNT. Pertimbangannya, Perum Bulog perlu kanal bagi beras yang dikelolanya. Perputaran beras juga diharapkan lebih terjaga.
Perum Bulog diharapkan dapat menyuplai beras dengan kualitas baik dan harga yang terjangkau oleh keluarga penerima manfaat. Menurut Agus, jumlah beras yang dibutuhkan untuk program BPNT sekitar 1,5 juta ton setahun. Artinya, sepanjang semester-II 2019 ini, Perum Bulog dapat menyalurkan beras 750.000 ton.
Dengan perannya sebagai pengelola pasokan, Perum Bulog akan menjadi koordinator distribusi bahan pangan, khususnya beras, ke e-warong atau tempat di mana keluarga penerima manfaat bisa membelanjakan dana bantuan pemerintah. Persiapan pelaksanaannya diharapkan rampung dalam waktu kurang dari sebulan.
Penyerapan
Mekanisme tersebut, lanjut Agus, memberikan ruang bagi Perum Bulog untuk mengajak pelaku usaha perberasan swasta terlibat dalam program BPNT. Sebelum keputusan itu, bahan pangan dari pelaku usaha swasta mendominasi etalase e-warong dan menjadi pilihan keluarga penerima manfaat.
Dengan adanya kepastian saluran tersebut, kata Budi Waseso, Perum Bulog berharap dapat mengoptimalkan penyerapan gabah/beras dalam negeri. Tahun ini, Perum Bulog ditargetkan dapat menyerap 1,8 juta ton setara beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Sepanjang semester I-2019, realisasinya diklaim mencapai 1,004 juta ton setara beras, tetapi—menurut catatan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian—baru 676.501 ton per 18 Juni 2019.
Perubahan mekanisme penyaluran bantuan dinilai turut berperan pada seretnya penyerapan gabah/beras dalam negeri. Sebab, Perum Bulog kehilangan saluran. Sebelum program BPNT, penyaluran beras subsidi menggunakan skema rastra, di mana Perum Bulog menyalurkan cadangan beras pemerintah untuk keluarga sasaran secara langsung.
Peralihan dari rastra ke BPNT berdampak pada turunnya realisasi penyaluran beras dari 2,78 juta ton (2016), 2,54 juta ton (2017), hingga 1,2 juta ton (2018). Sementara realisasi pengadaan beras dalam negeri terus turun, yakni dari 2,96 juta ton pada 2016, lalu 2,16 juta ton tahun 2017, dan 1,44 juta ton tahun 2018.
Mantan Wakil Kepala Bulog dan Sekretaris Menteri Negara Urusan Pangan 1993-1999 Sapuan Gafar berpendapat, Perum Bulog membutuhkan penyaluran beras secara tetap. Sebab, daya simpan beras hanya tiga bulan. Setelah itu, harganya turun meski secara fisik masih layak konsumsi.
Selain itu, Perum Bulog mesti menyediakan biaya penyimpanan yang membengkak jika mesti menunggu penyaluran. Terkait fungsi stabilisasi harga, Perum Bulog hanya bisa membeli dan intervensi pasar dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Dengan didesain tugas seperti itu, Perum Bulog tidak memiliki keleluasaan dalam membeli dan menjual beras kapan saja seperti swasta. Oleh karena itu, perluasan akses penyaluran dalam program BPNT diharapkan menguatkan lagi fungsi Perum Bulog, terutama sebagai stabilisator harga.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh menyatakan, perluasan akses saluran beras hingga 100 persen dalam program BPNT merupakan titik cerah. ”Dengan kemampuan jaringan logistik dan distribusi yang dimiliki, Perum Bulog mampu mengelola pasokan pangan
BPNT,” ujarnya.
Melalui program BPNT, setiap keluarga penerima manfaat akan menerima transferan Rp 110.000 per bulan. Dana bantuan itu dapat digunakan untuk membeli beras dan telur ayam di e-warong. Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial Andi ZA Dulung menyatakan, selain beras, Perum Bulog juga dapat memasok telur.
Secara keseluruhan, terdapat 15,6 juta keluarga penerima manfaat (KPM) program BPNT. Sebanyak 89,9 persen KPM saat ini sudah dilayani dengan mekanisme BPNT, sedangkan sisanya masih dengan skema rastra. Rata-rata pembelian telur mencapai 2 kilogram per bulan per KPM. (JUD/MKN)