Lembaga Urusan Pengungsi Diharapkan Lebih Proaktif
›
Lembaga Urusan Pengungsi...
Iklan
Lembaga Urusan Pengungsi Diharapkan Lebih Proaktif
Indonesia berharap agar Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) lebih proaktif menangani pengungsi yang terlantar di sejumlah negara. Saat ini, muncul tren negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi mengurangi pemenuhan tanggung jawab dalam menampung pengungsi.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berharap agar Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) lebih proaktif menangani pengungsi yang telantar di sejumlah negara. Saat ini, muncul tren negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi mengurangi pemenuhan tanggung jawab dalam menampung pengungsi.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, UNHCR diharapkan dapat mendorong negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951 menerima pengungsi. Indonesia yang menampung ribuan pengungsi saat ini berperan sebagai negara transit karena belum meratifikasi Konvensi 1951.
”UNHCR dapat mendesak negara lain agar lebih memperhatikan para pengungsi. Indonesia tidak bisa melobi mereka untuk menerima pengungsi, kita hanya bisa mengimbau,” kata Faizasyah di Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Dalam laporan tahunan bertajuk ”Global Trends” yang dirilis Juni 2019, UNHCR menyatakan, negara-negara berkembang lebih banyak menampung sebagian besar dari 70,8 juta orang yang mengungsi dibandingkan negara maju.
Faizasyah melanjutkan, komitmen sejumlah negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951 untuk memenuhi tanggung jawab sosial itu mulai terkikis. Sebagai contoh, mengutip Reuters, Amerika Serikat membatasi jumlah pengungsi yang boleh masuk menjadi 30.000 orang pada 2019 dari 45.000 orang pada 2018.
”Tantangan bagi negara yang telah meratifikasi adalah negara itu harus menyiapkan pranata dalam negeri untuk memenuhi komitmen. Kanada memberikan alokasi untuk menerima pengungsi yang telah melewati proses verifikasi dari UNHCR, tetapi belum semua negara melakukannya,” kata Faizasyah.
Pada saat bersamaan, masalah pengungsi di negara transit terus terjadi. Di Indonesia, misalnya, sejumlah pengungsi asal negara Afrika dan Timur Tengah menginap di depan Menara Ravindo, kantor UNHCR, Jakarta, selama beberapa hari terakhir. Mereka meminta UNHCR membantu penghidupan mereka.
Faizasyah menyampaikan, Indonesia yang menjadi negara transit saat ini membantu pengungsi berdasarkan asas kemanusiaan. Sejumlah pemerintah daerah berupaya membantu penghidupan para pengungsi. Namun, bantuan tersebut hanya bersifat sementara.
Berdasarkan data UNHCR pada 2018, Indonesia menampung 13.840 pengungsi dari 49 negara. Lebih dari 50 persen berasal dari Afghanistan, sedangkan lainnya di antaranya berasal dari Somalia, Myanmar, Iran, dan Irak.
Komisaris UNHCR Filippo Grandi mengakui, tantangan dalam penanganan pengungsi saat ini adalah sejumlah negara membatasi jumlah pengungsi yang dapat menerima suaka. Dialog antar-negara mengenai masalah tersebut juga tidak segera menunjukkan hasil.
”Tetapi, banyak negara dan komunitas yang dermawan masih menyediakan tempat. Selain itu, mitra baru dari sektor swasta juga menawarkan investasi dan keahlian dan masyarakat juga menyumbang. Suara-suara kemanusiaan masih ada,” katanya. (Reuters)