Usaha Membaca dan Pahami Suara Kehidupan
Pendekatan bioakustik memungkinkan manusia untuk mendengar dan membaca kehidupan di dalam hutan. Metode ini digunakan peneliti di dunia untuk memetakan populasi, mengenal gerak binatang, hingga respon satwa terhadap perubahan iklim.
"Jika kita tidak mendengar frekuensi bunyi tertentu, bukannya bunyi itu tidak ada".
(Simple Miracles: Doa dan Arwah - Ayu Utami)
Rabu (3/7/2019) pagi, sekumpulan mahasiswa datang ke hutan sekunder di sekitar Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Mereka datang bersama dua peneliti bioakustik dan antropolog biologi dari Universitas Stony Brook, Amerika Serikat, Wendy Erb dan Nick Boyd, peneliti burung dari Universitas Aberystwyth, Wales.
Mereka merupakan peneliti suara satwa liar dilindungi. Selain itu, keduanya adalah kolaborator eksternal di Borneo Nature Foundation di Kalteng. Wendy dan Nick, kembali hadir di Indonesia mengenalkan bioakustik, ilmu tentang suara di alam, pada peneliti burung lokal dan mahasiswa setempat.
Keduanya sudah makan banyak asam garam dalam penelitian bioakustik. Buktinya, setibanya di pinggir hutan, Nick yang pertama menghentikan langkah. Dia meminta semua peserta diam. Kedua tangannya diletakan di pinggir kuping. Matanya melebar.
“Dengar ! Itu mungkin suara ciungair coreng kalimantan. Ahhh...dia sedang bernyanyi. Jaraknya tidak jauh dari sini,” jelas Nick antusias.
Baca Juga : Metode Bioakustik Bantu Pengawasan Satwa Liar
Kicauan burung ciungair coreng kalimantan (Macronus bornensis) itu semakin terdengar dalam senyap. Bunyinya meliuk-liuk dengan variasi nada rendah ke tinggi. Nick dan para peserta lainnya lantas menuliskan apa yang mereka dengar dan lihat di kertas observasi. Mulai dari kategori nyanyian atau siulan si burung, panggilan ke kawanan burung, kemungkinan bunyi hentakan seperti drum, atau kepakan sayap tanpa siulan.
Selang beberapa waktu, giliran Wendy beraksi. Dia mengeluarkan dua alat perekam yang didesain khusus disimpan berbulan-bulan di dalam hutan. Alat itu diikat di pohon setinggi sekitar satu meter dari tanah.
“Tergantung mau meneliti apa. Alat ini bahkan bisa disimpan di dalam air untuk meneliti suara ikan atau di atas pohon yang tinggi sekali untuk burung,” kata Wendy. Bila ingin meneliti burung, idealnya, alat perekam harus diikat di atas pohon dengan ketinggian 10-15 meter.
Tak hanya suara satwa, alat itu digunakan untuk menyimpan semua suara, baik hembusan angin, suara serangga, hingga rintik hujan. Setelah dipasang, alat perekam bisa ditinggal dalam jangka waktu lama. Namun, semuanya tergantung daya tahan baterai.
“Ini penting. Harus tahu kapan kira-kira baterainya habis. Karena alat ini harus diambil sebelum baterai habis. Kalau tidak kita akan kehilangan semua suaranya,” ungkap Wendy.
Dalam senyap, mahasiswa semakin antusias. Mereka memperhatikan keadaan sekitarnya sambil menajamkan pendengarannya. Rambut pun disingkap agar tidak menutupi kuping.
Selain telinga, mata juga dipasang awas. Teropong disiapkan untuk melihat aktivitas burung. Beberapa orang berhasil bersua dengan ciungair coreng kalimantan yang cerewet hari itu. Wajar saja, burung mungil sepanjang sekitar 13 sentimeter itu tengah memanggil pasangannya untuk makan serangga bersama.
Gangguan suara
Wendy menjelaskan, pendekatan bioakustik yang paling efektif adalah dengan menggunakan monitoring akustik pasif (PAM). Caranya memasang banyak alat perekam. Pendekatan bioakustik memungkinkan manusia untuk mendengar dan membaca kehidupan di dalam hutan.
Metode ini digunakan peneliti di dunia untuk memetakan populasi, mengenal gerak binatang, hingga respon satwa terhadap perubahan iklim. Semakin banyak menyebar alat perekam, akan semakin mudah untuk mengidentifikasi berbagai macam suara.
Metode ini digunakan di Benua Afrika untuk mengurangi perburuan liar satwa dilindungi. Para peneliti dan polisi hutan di sana memasangnya untuk mendeteksi suara tembakan. Dari situ bisa dianalisis, lokasi mana yang suara tembakannya paling banyak.
“Kalau sudah dapat lokasinya, kirim tim ke sana dan ditindaklanjuti,” ujar Wendy.
Wendy menjelaskan, hasil evaluasi di berbagai negara di Afrika menunjukkan adanya penurunan perburuan. Evaluasi itu juga didapat dari analisis suara. Setelah tim patroli banyak berjaga di lokasi tersebut, aktivitas perburuan menurun.
Metode ini digunakan di Benua Afrika untuk mengurangi perburuan liar satwa dilindungi. Para peneliti dan polisi hutan di sana memasangnya untuk mendeteksi suara tembakan. Dari situ bisa dianalisis, lokasi mana yang suara tembakannya paling banyak.
Untuk membaca grafik suara itu, peneliti menggunakan spektogram. Teknologi ini berkembang dari sebuah alat untuk mengambil frekuensi suara saat ini menjadi aplikasi media yang bisa didapat dengan mudah.
“Setelah terekam, suara kemudian dikonvert ke spektogram. Di situ kami bisa menganalisis berbagai suara, mulai dari tembakan, kicauan, hingga rintihan,” kata Wendy.
Dari metode seperti itu bisa disimpulkan, suara tembakan atau kegiatan ilegal lainnya mampu menggangu alur komunikasi satwa. Apalagi suara bising seperti gerjaji mesin.
Gangguan suara jelas berbahaya. Banyak satwa melakukan aktivitasnya lewat suara. Seperti orangutan yang memberi long call atau sahutan panjang orangutan jantan jika ingin mencari pasangannya, atau burung rangkong yang mengebas-ngebas sayapnya untuk menentukan teritorinya. Bahkan beberapa jenis burung menggunakan suara untuk menentukan arah mencari habitat.
Bisa dibayangkan kalau suara-suara itu tertutup suara mesin gergaji, tembakan, atau pembangunan gedung-gedung. Satwa bisa saja mati karena tidak bisa menghalau ancaman karena suaranya tidak didengar, atau mereka bisa saja tersesat dan tak menemukan kawanannya. Atau, lebah penyerbuk yang batal menyerbuk di pohon-pohon tomat karena tak bisa menemukan kawanan lebah lainnya.
“Kami bisa menganalisis perubahan suara binatang yang merespon perubahan iklim atau habitatnya. Kami juga bisa tahu apakah mereka sedang menangisi sesuatu,” kata Wendy.
Wendy menjelaskan, butuh pengalaman dan bacaan berbagai teori untuk bisa mengidentifikasi suara binatang dan aktivitas dari suara itu. Namun, dengan merasakannya, semua orang bisa tahu apakah suara itu merupakan rintihan atau ungkapan kebahagiaan. Seperti kicauan burung yang baru dilepas dari kandang dan mencari makanan di alam terbuka akan jauh berbeda dengan kicauan burung yang meminta makan dari dalam kandang.
Membaca suara
Laboratorium Ornitologi milik Unversitas Cornell mengembangkan alat perekam dan spektogram dalam bentuk aplikasi komputer. Aplikasi itu bisa didapat gratis. Para peserta di Palangka Raya pun menggunakannya untuk mendeteksi suara yang mereka rekam seharian di hutan.
Setelah direkam, suara dimasukkan ke dalam spektogram. Hasilnya, terdapat goresan dari hasil getaran frekuensi suara yang direkam. Dari goresan itu, bisa di lihat pola-pola suara, seperti tinggi rendahnya nada, ketukan, hingga jeda suara.
Saat diputar di dalam ruangan, suara awal yang direkam begitu ramai. Tak hanya suara angin, banyak suara terekam. Bahkan patukan burung remetuk laut (Gerygone sulphurea) ke dahan mencari ulat pun terdengar. Atau, suara bising lebah penyerbuk yang sedang membantu penyerbukan berbagai macam tanaman.
Dari penelitian dan data FAO, lebah punya peran vital membantu penyerbukan selain satwa lain, seperti kupu-kupu dan burung. Lebih dari 75 persen tanaman pertanian di dunia, penyerbukannya bergantung pada lebah, misalnya kopi, apel, kakao, dan tomat. (Kompas, Rabu 22 Mei 2019).
“Bisa dibayangkan kalau kita menemukan gangguan suara di momen yang penting dalam siklus atau ekosistem di dalam hutan. Itu akan mengganggu semua proses kehidupan satwa yang semuanya punya hubungan dengan kehidupan manusia,” kata Nick.
Baca Juga : Makna Hilangnya Sejuta Spesies Bagi Manusia
Seusai merekam suara, peserta kembali ke ruangan belajar dan mendengarkan hasil rekamannya. Mereka juga mendengar suara dari spektogram. Beberapa dari peserta kaget karena mengira suara burung takur kuping hitam (Psilopoqon duvaucelii) adalah suara kongkang baram atau kodok cokelat (Hylarana baramica).
Salah satu peserta, Erik (23), mendengarkan suara burung yang dipresentasikannya. Ada jeda beberapa detik dari kicauan ke kicauan burung itu.
Imajinasi Erik pun melayang liar. Ia sedang membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh burung itu. “Dia sedang bernyanyi mungkin sambil menikmati hidup di pohon,” ujar Erik.
Dari suara, Erik belajar kehidupan yang ada di dalam hutan. Dari kicauan burung, rengekan lutung merah, atau cekikikan lebah penyerbuk. Suara yang dihimpun dari berbagai frekuensi atau bunyi yang pasti akan berperan vital untuk kehidupan manusia suatu saat kelak.