Abrasi di sejumlah titik pesisir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, terus mengancam keselamatan dan kenyamanan warga. Beberapa fasilitas obyek wisata dan talut pemecah gelombang pun hancur.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·2 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Abrasi di sejumlah titik pesisir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, terus mengancam keselamatan dan kenyamanan warga. Beberapa fasilitas obyek wisata dan talut pemecah gelombang pun hancur. Pemerintah daerah diminta segera menangani persoalan ini dengan menghentikan pembangunan di tepi pantai dan membudidayakan mangrove.
Martina Ndolu, pemilik warung kopi di Pantai Nunsui, Kelurahan Oesapa, Sabtu (6/7/2019), mengatakan, jalan yang menghubungkan tempat wisata Nunsui nyaris putus diterjang ombak. Kerusakan jalan itu terjadi sejak Februari 2019, tetapi sampai hari ini belum diperbaiki.
”Jalan ini, selain akses masuk pantai wisata, juga menghubungkan dengan Pasar Tradisional Oesapa yang menyatu dengan pantai wisata Nunsui. Malam hari orang sering datang ke pantai ini untuk bersantai dan menikmati suasana, tetapi lampu listrik di pantai tidak ada sehingga sangat membahayakan pengemudi, apalagi jika dua kendaraan berpapasan di jalan yang rusak itu,” tutur Ndolu.
Kondisi serupa terjadi di Pantai Tedys. Abrasi di tempat ini justru terjadi sejak 2006, tetapi sampai hari ini juga belum ada upaya perbaikan. Kerusakan terjadi pada pelataran lapak pedagang yang berada di tepi pantai. Tempat itu diterjang gelombang sehingga sebagian bangunan hancur berantakan.
Pemerhati masalah pesisir dan pantai Kota Kupang, Isodorus Kopong, mengatakan, ombak di laut selatan Pulau Timor sangat kencang. Hampir sepanjang tahun, ombak di perairan selatan NTT itu tidak pernah reda.
Ia menyebutkan, ombak dengan ketinggian sampai 4 meter menghancurkan sejumlah lokasi wisata di sepanjang pantai Kota Kupang. Talut penahan gelombang yang dibangun pemerintah kota di sejumlah titik permukiman warga pun hancur berantakan diterjang gelombang.
Pemkot perlu menetapkan kawasan pantai sebagai kawasan terbuka hijau.
Lebih parah lagi, dia menambahkan, kawasan pantai yang seharusnya menjadi lahan terbuka hijau kini banyak berubah menjadi perhotelan, pusat hiburan, tempat lapak pedagang, pusat kuliner, hingga pertokoan atau kios bahan pokok.
Pemilik tempat usaha itu pun masing-masing membangun talut penahan gelombang, tetapi tidak pernah bertahan lama karena kembali rusak dihantam gelombang. ”Pemkot perlu menetapkan kawasan pantai sebagai kawasan terbuka hijau,” kata Kopong.
Anggota DPRD Kota Kupang, Epy Seran, mengatakan, upaya mencegah abrasi mesti dilakukan dengan menanam pohon bakau atau mangrove di sepanjang pantai. Namun, kondisi pantai Kota Kupang sebagian besar sudah dipenuhi bangunan.
Bangunan di sepanjang pantai kota paling banyak terbentuk pada masa kepemimpinan Jonas Salean-Herman Man (2012-2017). DPRD Kota Kupang, menurut Epy, sudah mengingatkan pemkot agar menghentikan izin bangunan di sejumlah ruang pantai yang tersisa.