Al-Maktoum dan Sisi Gemerlap Dubai
Di bawah kepemimpinan Sheikh Maktoum bin Rashid al-Maktoum, Dubai menjelma menjadi kota kelas dunia. Kemajuan yang dicapai kota itu mengembuskan nilai-nilai kebebasan dan gaya hidup liberal.
Jika mendengar nama Al-Maktoum disebut, yang terlintas di pikiran adalah gemerlap kota Dubai. Kota pelabuhan yang dulunya berada di tengah gurun tandus, tetapi kini telah menjelma menjadi kota kelas dunia. Klan Al-Maktoum adalah penguasa wilayah Dubai sejak tahun 1833 sampai saat ini.
Kisah klan Al-Maktoum adalah kisah sukses besar transformasi kota Dubai dari kota pelabuhan bersahaja pada tahun 1970-an dan 1980-an menjadi kota sangat modern yang mengubah wajah gurun tandus menjadi area penuh kehijauan nan gemerlap. Dubai kini menjadi kota termaju dan termakmur di Uni Emirat Arab (UEA), kawasan Arab Teluk, dan Timur Tengah.
Geliat kemajuan Dubai sudah terlihat pada era kekuasaan Sheikh Maktoum bin Rashid al-Maktoum yang berkuasa di Dubai tahun 1990 hingga 2006. Namun, puncak pencapaian kemajuan dan kemakmuran Dubai terjadi pada era Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum (70) yang berkuasa di Dubai sejak 2006 sampai saat ini.
Media Arab dan internasional sering menyebut Mohammed bin Rashid al-Maktoum adalah arsitek kemajuan Dubai dan UEA saat ini. Pencapaian kemajuan besar Dubai mengantarkannya menjabat Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri UEA.
Kekuatan ekonomi dan politik keluarga besar Al-Maktoum kini sudah setara dengan keluarga besar Al-Nahyan yang berkuasa di Abu Dhabi dan sekaligus Presiden UEA. Presiden UEA sekarang adalah Sheikh Khalifa bin Zayed al-Nahyan. Sudah lama menjadi rahasia umum di UEA bahwa ada persaingan antara keluarga besar Al-Maktoum dan keluarga besar Al-Nahyan atau antara Dubai dan Abu Dhabi.
Penguasa Dubai, yakni Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, jauh lebih mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman setelah era minyak yang menuntut kemampuan diversifikasi sumber ekonomi.
UEA dibentuk pada tahun 1971 yang terdiri dari tujuh emirat, yaitu Abu Dhabi, Dubai, Ajman, Fujairah, Ras al- Khaimah, Sharjah, dan Umm al-Quwain. Dari tujuh emirat itu, Dubai dan Abu Dhabi adalah yang terkaya. Karena itu, sebagian besar posisi penting di pemerintahaan UEA dipegang keluarga besar Al-Maktoum dan Al-Nahyan.
Melesat maju
Dalam persaingan keluarga besar Al-Maktoum dan Al- Nahyan atau antara Dubai dan Abu Dhabi, Dubai berhasil lebih melesat maju dibandingkan dengan Abu Dhabi. Hal ini menunjukkan, keluarga besar Al-Maktoum, khususnya penguasa kota Dubai, yakni Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, jauh lebih mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman setelah era minyak saat ini yang menuntut kemampuan diversifikasi dalam sumber ekonomi.
Seperti diketahui, sejarah modern kawasan Arab Teluk melalui tiga tahapan. Pertama, era praminyak pada 1950-an dan 1960-an. Kedua, era minyak mulai tahun 1970-an hingga tahun 2000-an. Ketiga, era pascaminyak mulai tahun 2000-an sampai saat ini.
Pada era praminyak, negara-negara Arab Teluk hanyalah gugusan negara-negara di gurun sahara dengan masyarakat kabilah yang berbudaya sangat konservatif dan jauh dari sentuhan modernitas. Mata pencaharian sebagian besar
masyarakatnya hanyalah nelayan.
Pada era minyak, menyusul naiknya harga minyak berlipat-lipat pascaperang Arab-Israel tahun 1973, negara-negara Arab Teluk menghadapi guncangan budaya akibat proyek modernisasi yang dilakukan negara-negara Arab Teluk itu. Kota-kota di negara-negara itu, seperti Dubai, Abu Dhabi, Riyadh, Jeddah, Doha, Manama, dan Kuwait City, serta-merta menjadi kota modern.
Guncangan budaya lebih dahsyat lagi terjadi pada era pascaminyak atau era postmodern, mulai pertengahan tahun 2000 sampai saat ini. Pada era pascaminyak atau pascamodern, para penguasa negara-negara Arab Teluk melakukan diversifikasi sumber ekonomi dengan membuka selebar-lebarnya investasi asing dan pembangunan fasilitas kota yang sarat nilai ekonomi, seperti berbagai sarana pariwisata dan hiburan.
Dubai adalah kota di kawasan Arab Teluk yang paling cepat terintegrasi dengan sistem kehidupan pascamodern melalui basis ekonomi dari sektor perdagangan, pariwisata, properti, pusat jasa keuangan, dan hub penerbangan internasional dengan armada maskapai Emirate Airlines.
Dubai pun menjadi kota keempat terbesar yang dikunjungi turis asing pada tahun 2018 setelah New York, Paris, dan London. Dubai mencanangkan dikunjungi 20 juta turis asing pada tahun 2020.
Kasus Putri Haya
Dampak era pascaminyak atau era pascamodern sangat luar biasa dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat negara-negara Arab Teluk, khususnya Dubai. Kasus larinya Putri Haya binti Hussein (45) beserta dua anaknya, Jalila (11) dan Zayed (7), dari suaminya, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, ke Jerman dan lalu ke Inggris— seperti yang diberitakan banyak media—bisa dibaca sebagai salah satu fenomena dampak era pascamodern di kawasan Arab Teluk.
Saat ini sudah menggejala di Arab Teluk bahwa kaum perempuan di kawasan itu menuntut kebebasan dan independensi dari kungkungan keluarga yang konservatif, eksklusif, elitis, dan isolatif. Putri Haya kini bersembunyi di London karena khawatir suaminya, yang juga penguasa Dubai, melakukan aksi balas dendam. Putri Haya kini diberitakan mulai memproses gugatan cerai terhadap Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum.
Kasus larinya Putri Haya dari suaminya, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, ke Jerman dan lalu ke Inggris bisa dibaca sebagai salah satu fenomena dampak era pascamodern di Arab Teluk.
Putri Haya menikah dengan penguasa Dubai itu pada 2004 dan dikarunai dua anak. Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Timur Tengah dengan nilai harta sekitar 4 miliar dollar AS. Ia tercatat menikah enam kali dan memiliki 23 anak. Putri Haya adalah istri termudanya.
Berita larinya Putri Haya viral di media sosial. Putri Haya berasal dari keluarga ningrat, yaitu putri almarhum Raja Hussein dari Jordania, dari istri ketiganya, Ratu Alia. Putri Haya adalah adik tiri Raja Abdullah II yang sekarang berkuasa di Jordania. Keluarga besar almarhum Raja Hussein dikenal memiliki kehidupan cukup terbuka dan liberal. Putri Haya sendiri adalah alumnus Universitas Oxford.
Kasus larinya Putri Haya bukan pertama kali di istana Dubai. Sebelumnya, dua putri Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, yaitu Putri Shamsa (37) dan Putri Latifa (33), pernah berupaya lari, tetapi berhasil digagalkan.
Putri Shamsa—putri Sheikh Mohammed bin Rashid dari istri pertamanya—mencoba lari rumahnya di London tahun 2000, tetapi digagalkan.
Adiknya, Ratu Latifa, juga mencoba lari melalui laut dengan naik perahu atas bantuan mantan anggota intelijen Perancis tahun 2018. Perahunya dicegat pasukan komando UEA dekat perairan India. Putri Latifa diamankan, kemudian diserahkan ke istana Dubai.
Kasus larinya Putri Haya, Putri Shamsa, dan Putri Latifa dalam satu segi menggambarkan fenomena tidak berbanding lurusnya kehidupan liberal di Dubai dengan kehidupan di lingkungan istana Dubai yang mempertahankan nilai-nilai konservatisme, eksklusivisme, dan pengisolasian.