Duel perebutan peringkat ketiga Copa America 2019 di Sao Paulo, Minggu dini hari WIB ini menjadi simbol alfa dan omega bagi timnas Argentina serta Chile. Kedua langganan final itu kini menatap siklus hidup yang berbeda.
SAO PAULO, KAMIS – Gerhana matahari total yang mencekam sekaligus indah dan misterius menyelimuti kawasan Argentina dan Chile, beberapa hari lalu. Entah kebetulan atau tidak, hadirnya gerhana itu seolah-olah menandai mengakhiri era dominasi tim nasional sepak bola kedua negara itu di Copa America. Mereka tersingkir di semifinal Copa America 2019.
Dua tim yang selalu bertemu di final Copa America 2015 dan Centenario 2016 itu, kini hanya akan berebut posisi ketiga. Takdir mempertemukan kembali Argentina dan Chile di Arena Corinthians, Sao Paulo, Minggu (5/7/2019) pukul 02.00 WIB.
Pertemuan kedua tim itu hampir selalu menandai momen-momen epik. Untuk itu, meskipun tidak lagi menentukan gelar juara, duel kedua tim menarik untuk dinantikan. Apalagi, mereka sama-sama mencari pelipur lara dari kekalahan tragis di semifinal.
Argentina, misalnya, bagi sebagian publik negara itu, kekalahan dari Brasil 0-2 di babak semifinal, Rabu lalu, menandai era kegelapan di sepak bola Argentina. Untuk kesekian kalinya, tim itu gagal meraih trofi penting. Tim berjuluk “La Albiceleste” itu melanjutkan puasa trofi sejak 1993.
Meskipun demikian, seperti halnya peristiwa alam bernama gerhana matahari, tidak ada kegelapan yang abadi. Sebagian pendukung mereka memaknai perjalanan La Albiceleste di Brasil secara positif.
Jika saya bisa membantu, bagaimana caranya, akan saya lakukan
Copa America 2019 bisa dianggap sebagai ”Alfa”, huruf pertama alfabet Yunani, yang dimaknai sebagai titik awal upaya kebangkitan tim itu seusai kiprah mengecewakan di Piala Dunia Rusia 2018. Saat itu, Argentina tampil di bawah standar. Mereka digilas Kroasia, ditahan imbang Eslandia, dan disingkirkan Perancis di babak 16 besar.
Sejak kegagalan itu, upaya reformasi pun dilakukan di skuad Argentina. Sejumlah pemain senior seperti Javier Mascherano, Gonzalo Higuain, dan Nicolas Otamendi tidak lagi dipanggil ke tim itu. Mereka digantikan sejumlah barisan muda minim pengalaman, namun penuh semangat seperti striker Lautaro Martinez dan bek Juan Foyth. Pelatih Lionel Scaloni ditunjuk sebagai “nakhoda” barunya.
Copa America 2019 bisa disebut kawah candradimuka bagi tim baru Argentina itu. Maka itu, mengingat besarnya perubahan tersebut dan banyaknya pemain minim pengalaman di skuad tim itu, La Albiceleste tidak pernah diunggulkan di Brasil, apalagi dibandingkan tim tuan rumah. Tim itu pun terus bertumbuh dan semakin baik dari laga ke laga. Perkembangan terpesat mereka terlihat saat menghadapi Brasil.
Hal yang saya cemaskan adalah kondisi para pemain saya seusai kekalahan itu
Meskipun kalah, Argentina laik berbesar hati. Pasukan muda itu mampu memberikan perlawanan sengit kepada tim tuan rumah yang difavoritkan juara. Mereka lebih agresif dan jauh lebih aktif menyerang ketimbang tim ”Samba” yang dipaksa memainkan taktik serangan balik. Hingga kemarin, Argentina tidak merasa kalah. Mereka mengajukan protes kepada Konfederasi Sepak Bola Amerika Selatan (CONMEBOL) atas putusan wasit asal Ekuador, Roddy Zambrano, yang dianggapnya lebih menguntungkan tim tuan rumah.
Protes itu tidak akan mengubah hasil laga, terlepas Zambrano bisa saja diskorsing jika ditemukan bersalah. Namun, Argentina kini setidaknya bisa optimistis menatap masa depannya. Duel melawan Chile dini hari nanti berpeluang menjadi pembuktian lanjutan potensi mereka itu. Optimisme itu telah terlihat dari respons megabintangnya, Lionel Messi. Ia tidak lagi buru-buru kecewa dan marah seperti dulu.
Lebih bijak
Messi kini lebih bijak dalam menyikapi kegagalan La Albiceleste. Kiprah mereka di Brasil bisa menjadi modal menatap Copa America 2020 yang akan digelar di rumah mereka sendiri plus Kolombia. ”Jika saya bisa membantu, bagaimana caranya, akan saya lakukan. Saya merasa nyaman dengan tim ini,” tuturnya.
Di saat sama, kekalahan Chile dari tim non-unggulan, Peru, di semifinal, menegaskan berakhirnya era ”terang” alias masa-masa keemasannya. Ini bak ”Omega”, huruf terakhir alfabet Yunani, yang dimaknai sebagai penutup. Chile merupakan penguasa Amerika Selatan yang sempat tidak tergoyahkan selama empat tahun, yaitu pada 2015 hingga 2019 ini. Selama kurun waktu itu, ”La Roja” meraih dua trofi Copa America dan sekali menjadi runner-up Piala Konfederasi 2017 di Rusia.
Laga di Arena Corinthians, Sao Paolo, Minggu dinihari nanti, bisa menjadi perpisahan bagi sejumlah pemain senior Chile yang selama ini telah berjasa, namun mulai kehilangan staminanya seperti Gary Medel dan Mauricio Isla. Menuanya tim Chile itu sangat terasa saat mereka digilas 0-3 oleh Peru.
Pelatih Reinaldo Rueda, yang kini semakin ditekan publik, mau tidak mau harus mulai memulai peremajaan di timnya jika masih dipertahankan sebagai pelatih.
”Ini bukan saat yang tepat memikirkan itu (masalah masa depannya). Itu bukanlah hal yang saya khawatirkan. Hal yang saya cemaskan adalah kondisi para pemain saya seusai kekalahan itu,” ujar Rueda. (AP/AFP)