Kadar Kolesterol Jahat yang Rendah Belum Tentu Baik
Selama ini, kadar kolesterol jahat atau low-density lipoprotein (LDL) yang rendah dianggap baik bagi tubuh karena meminimalkan risiko serangan jantung dan stroke. Namun, studi terbaru di China tidak menunjukkan demikian. Tingkat LDL menengah atau moderat justru yang disarankan.
Kolesterol selalu diidentikkan dengan sesuatu yang buruk. Padahal, tidak selalu demikian. Kolesterol adalah lemak yang ditemukan dalam semua sel tubuh. Zat ini diproduksi oleh hati atau liver manusia dan juga dari makanan hewani yang dikonsumsi, seperti daging dan susu.
Kolesterol bermanfaat dalam pembentukan asam empedu dan sejumlah hormon reproduksi, melindungi membran sel atau jaringan tubuh, membantu produksi vitamin D hingga menjaga fungsi otak.
Kolesterol tidak dapat larut dalam darah. Karena itu, agar dapat melalui aliran darah, kolesterol harus diangkut oleh lipoprotein. Berdasar jenis kolesterol yang dibawa lipoprotein, kolesterol dibagi menjadi dua jenis, yaitu low-density lipoprotein (LDL) dan high-density lipoprotein (HDL).
LDL atau sering disebut sebagai kolesterol jahat karena suka menempel pada dinding pembuluh darah arteri, mengeras, hingga membuat aliran darah menjadi sempit. Sedangkan HDL disebut kolesterol baik karena membantu mengurangi kadar LDL pada pembuluh darah dan mengembalikannya ke hati.
LDL atau sering disebut sebagai kolesterol jahat karena suka menempel pada dinding pembuluh darah arteri, mengeras, hingga membuat aliran darah menjadi sempit.
Secara umum, dikutip dari healthline.com, untuk menjaga kesehatan tubuh yang baik, seseorang dianjurkan memiliki kadar kolesterol total kurang dari 200 miligram per desiliter (mg/dL), kadar kolesterol jahat LDL kurang dari 100 mg/dL, dan kadal kolesterol baik HDL lebih dari 60 mg/dL.
Jika kolesterol total seseorang lebih dari 240 mg/dL, kolesterol LDL lebih dari 160 mg/dL, dan kolesterol HDL-nya kurang dari 40 mg/dL maka risiko seseorang terkena serangan penyakit jantung dan stroke meningkat.
Batas
Batas angka kolesterol yang sesuai bagi tubuh itu sepertinya masih menjadi diskusi. Batas tertinggi kolesterol jahat LDL kurang dari 100 mg/dL itu disarankan oleh Institut Kesehatan Nasional (NIH), badan di bawah Kementerian Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat yang banyak melakukan penelitian medis. Namun untuk mereka yang memiliki risiko sangat tinggi terkena serangan jantung dan stroke, disarankan agar memiliki LDL kurang dari 70 mg/dL.
Sejumlah riset sebelumnya, menunjukkan hubungan antara kadar LDL yang rendah dengan risiko stroke hemoragik atau pecahnya pembuluh darah arteri di otak. Namun, data itu umumnya kecil dan didasarkan pada pengukuran LDL pada satu waktu tertentu, tidak berdasarkan data fluktuasi kadar kolesterolnya dalam periode tertentu.
Studi terbaru terhadap 96.000 orang dewasa di kota industri Tangshan, China juga menunjukkan bahwa kadar kolesterol LDL yang terlalu rendah justru meningkatkan risiko stroke. Para responden itu tidak memiliki riwayat stroke, serangan jantung, maupun kanker. Pada saat studi dimulai, para responden diukur kolesterolnya dan diukur kembali pada sembilan tahun kemudian.
Studi terbaru terhadap 96.000 orang dewasa di kota industri Tangshan, China juga menunjukkan bahwa kadar kolesterol LDL yang terlalu rendah justru meningkatkan risiko stroke.
Selama studi, ditemukan 753 kasus stroke hemoragik. Selama itu pula ditemukan risiko stroke hemoragik pada seluruh peserta relatif rendah, yaitu kurang dari 1 persen dari seluruh responden.
Hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Neurology pada Selasa (2/7/2019) itu menunjukkan mereka yang memiliki kadar LDL dibawah 70 mg/dL justru 65 persen lebih mungkin mengalami stroke hemoragik dibanding yang memiliki kadar LDL antara 70 mg/dL-99 mg/dL. Sementara orang dengan kadar LDL kurang dari 50 mg/dL justru berisiko dua kali lebih besar mengalami stroke hemoragik dibanding mereka yang punya kadar LDL antara 70 mg/dL-99 mg/dL.
Meski demikian, para peneliti belum memahami mengapa kadar kolesterol LDL yang rendah berhubungan dengan peningkatan risiko stroke hemoragik. Menurut salah satu peneliti senior dalam studi tersebut, Xiang Gao, profesor ilmu gizi dari Universitas Negeri Pennsylvania, AS, banyak studi menunjukkan peran penting kolesterol dalam pembentukan membran sel.
“Tingkat LDL yang sangat rendah membuat sel darah merah menjadi rapuh hingga menjadikan sel mudah pecah,” kata Gao seperti dikutip dari Live Science, Rabu (3/7/2019). Kolesterol juga terlibat dalam proses pembekuan darah. Karena itu, kadar LDL yang terlalu rendah dapat meningkatkan risiko perdarahan.
Kolesterol juga terlibat dalam proses pembekuan darah. Karena itu, kadar LDL yang terlalu rendah dapat meningkatkan risiko perdarahan.
Dari studi tersebut, Gao menilai bahwa moderasi dan keseimbangan, sama seperti dalam persoalan nutrisi, adalah kunci dalam menentukan tingkat target optimal kolesterol LDL. “Kita tidak bisa pergi ke tingkat yang ekstrem, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah,” tambahnya.
Studi itu dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan rekomendasi kadar kolesterol yang sehat. Sebagai contoh, pada orang dengan risiko stroke hemoragik tinggi, misal akibat memiliki riwayat keluarga dengan kondisi tertentu, maka kadar penurunan kolesterolnya seharusnya tidak terlalu ketat.
Meski demikian, temuan ini butuh konfirmasi melalui penelitian lebih lanjut. Walaupun studi ini cukup besar dengan melibatkan 96.000 responden, namun semua peserta tinggal di China. Perlu dilihat apakah kondisi serupa juga ditemukan pada kelompok populasi lain.
Sebelum menurunkan kadar kolesterol LDL-nya, “Masyarakat harus berkonsultasi dengan dokter mereka,” ujar Gao.
Studi lanjut
Hasil studi itu seperti berkebalikan dengan pengetahuan yang dimiliki para ahli selama ini. Menurut Dana Hunnes, seorang ahli diet senior dari Pusat Kedokteran Ronald Reagan, Universitas California Los Angeles, AS yang tidak terlibat dalam studi mengatakan, dalam mencegah penyakit jantung iskemik dan stroke, kadar kolesterol jahat LDL yang makin rendah makin baik.
“Namun pada studi tersebut, kadar kolesterol LDL yang rendah, kurang dari 70 mg/dL juga merugikan pada populasi khusus tersebut,” tambah Hunnes.
Hal itu sebenarnya juga diakui peneliti bahwa sulit menerapkan hasil studi itu pada populasi yang lebih luas, di negara dengan kondisi yang berbeda. Selain itu, studi ini juga tidak memperhitungkan kebiasaan diet seseorang yang akan sangat berbeda pada individu maupun populasi antarnegara.
“Sebagai ahli diet, saya ingin tahu apakah pola diet tertentu dapat melemahkan atau menonjolkan risiko (penyakit jantung dan stroke),” katanya.