Malam Itu Ia Melihat Kepulangan Suaminya
Kompas/Supriyanto Cartoons
Di luar, hujan deras sekali. Hawa dingin menemani gelap yang terlihat begitu pekat dari tempat duduknya. Dan ia tengah menunggu di ruang tamu.
Setengah jam yang lalu terdengar suara putri bungsunya—yang bilang terbangun gara-gara suara petir, “Tutuplah pintunya, Mak. Hujannya deras sekali. Hawanya dingin sekali.”
“Iya, nanti aku tutup. Kau tidurlah saja sana,” jawabnya, yang kemudian ia memang menutup pintu itu. Tapi hanya setengahnya.
Bagaimana kalau nanti Bapak pulang justru saat pintu sudah ditutup? Bagaimana kalau nanti suara ketukan itu tertelan riuhnya hujan, hingga beliau tertahan di luar berjam-jam?
Ia tak tega. Apalagi dulu pernah kejadian, Bapak tak jadi masuk rumah lantaran malam itu pintu sudah tertutup. Tiga hari tiga malam Bapak tak pulang, lantaran malam itu konon Bapak memang tengah dibuntuti tentara Jepang. Kabar itu terbukti dengan insiden pagi harinya, beberapa tentara Jepang mengamuk dan merampas pakaian, hasil ladang, dan barang-barang yang diperjualbelikan di pasar.
Tentu saja ia ketakutan. Bagaimana seandainya Jepang tahu Bapak di rumah, dan lalu malam itu mereka mendobrak pintu, mengambil dua anak gadisnya yang sudah balig? Ia tahu Bapak orang cerdas. Beliau pasti telah memperhitungkan hal itu, dengan lebih baik pergi ketimbang menunggu di teras rumah.
Baru hari belakangan pula ia menyadari beratnya menunggu. Konon, dulu ia juga sering menangis tatkala ditinggal pergi Romo yang menjalankan pekerjaan sebagai sekretaris pegawai Pemerintah Belanda, yang sering bepergian ke sana-ke mari. Suatu kali beliau bilang pergi untuk jadi penerjemah, suatu ketika bilang pergi untuk menyurvei, bahkan beliau juga pernah bilang pergi untuk sekolah. Ia menganggap bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Ia berpikir pasti romonya sedang berlibur di tempat istri mudanya di tempat lain, sebelum kemudian diboyong ke istana juga.
Itu hal yang amat menyedihkan. Jika kelak perempuan itu sebaik Biyung Waginem, tentu ia masih akan betah menghabiskan hari-hari dalam istana. Tapi bagaimana jika perempuan itu setipe Biyung Paini—yang sering memusuhi Bibi Sudarmi? Ia tak mau Romo mencari tambahan musuh lagi bagi Bibi Sudarmi, karena hanya beliaulah yang senantiasa benar-benar baik kepadanya. Bibi Sudarmi adalah adik kandung Romo yang merawatnya sedari bayi. Bibi Sudarmi sudah seperti ibu kandung. Karena itulah saat itu ia begitu menunggu kepulangan Romo demi membuktikan kejujuran ucapannya.
Perkara itu sama menyedihkannya ketika ia harus menunggu untuk bisa melihat rupa biyungnya yang konon sudah menikah lagi dengan abdi dalem di istana lain setelah diceraikan romonya. Ia tak pernah mengerti dengan penjelasan Bibi Sudarmi, mengapa biyungnya mesti selalu main sembunyi-sembunyi jika ingin melihat atau mengecup pipinya? Bukankah ia masih berstatus sebagai anaknya juga? Apakah ada dendam atau cemburu yang menciptakan jarak? Ataukah ada hal lain lagi yang disembunyikan? Sayangnya Bibi Sudarmi bersekongkol dengan perempuan itu. Padahal ia juga tahu bagaimana rasa merananya hati dalam derita menunggu. Bahkan hingga dia meninggal, belum ada satu pun lelaki yang berani meminang. Konon lantaran dulu ia pernah menyumpah-nyumpah seorang lelaki yang lancang mengatainya mirip lelaki.
* * *
Mungkin masalah pokok dalam hidup ini adalah menunggu. Sudah tak terhitung rasanya episode yang ia lewati dengan tema itu. Dan episode terbesar yang pernah ia jalani adalah ketika romonya menyodorkan lelaki yang sekarang menjadi suaminya.
Ia tiada mengenal secara utuh siapa calon suaminya itu. Apalagi ia gadis istana, tidak mengenal apa yang sekarang dinamakan orang-orang sebagai pacaran. Jadilah tahun pertama pernikahan itu sebagai hari-hari yang penuh kesalahpahaman.
Lantaran statusnya sebagai istri, tentu saja ia manut ketika diboyong ke rumah kontrakan yang berdekatan dengan sekolah tempat suami mengajar di Solo. Rasanya seperti benih cabai yang dicabut dari tempat persemaian dan dipindah ke kebun belakang yang sepi dan asing.
Pada sebuah pertengkaran yang sengit, ia sempat minggat kembali ke istana dan harus berhadapan dengan romonya. Sumbu permasalahan justru berasal dari masalah-masalah sepele. Meski dilahirkan dari perut seorang pribumi, suaminya benar-benar mirip orang Belanda yang hidupnya senantiasa teratur, tepat waktu, dan pandai memerintah. Sementara ia yang dilahirkan dan tumbuh besar dalam lingkungan istana senantiasa memperlakukan waktu seperti sebuah masakan yang harus diresapi sebisa mungkin, sehingga semua pekerjaan tak mungkin dilakukannya secara grusa-grusu dan cepat selesai. Apalagi di istana ia terbiasa ditemani pembantu.
“Cobalah pertahankan dulu. Setelah tiga tahun, kalian pasti akan saling mengenal dan mengerti.”
“Apakah Romo dulu juga seperti itu dengan Biyung?”
“Apa kau ingin seperti bibimu?!”
Apakah Bibi Suparti tampak menderita dalam kesendiriannya? Beberapa kali ia memang pernah mendapati bibinya yang tampak merana dalam tekanan kesepian. Tapi entah mengapa hal itu tak pernah ia rasakan pada kehidupan anak cucunya sekarang. Putri ketiganya dua kali kawin cerai, dan beberapa bulan kemarin dua orang cucunya juga memutuskan pisah dengan lelaki pilihannya sendiri. Mengapa mereka justru terlihat lebih bahagia dari sebelumnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah hal-hal yang akan segera ia timbun jika mengambang dalam benak.
“Aku mencintai kakekmu salah satunya karena ia seperti jam dinding. Setiap kali melihatnya, kau akan segera ingat bahwa detik demi detik yang kita lalui adalah tabungan yang kelak pasti kita bongkar,” begitulah cerita yang ia gelar ketika cucu-cucunya sekadar ingin tahu perihal siapa kakeknya. Dengan senang hati ia akan bercerita ketika karir suaminya naik, mulai dari pengajar di sebuah HIS di Solo, lalu menjadi penasihat deputi residen Belanda urusan Pribumi, lalu menjadi profesor di sebuah sekolah hukum Batavia, hingga kemudian menjadi anggota Dewan Pemerintahan Hindia Belanda dan penasihat Gubernur Jenderal dalam kurun lima tahunan. Hanya pada masa pendudukan Jepang ia menolak semua tawaran kedudukan lantaran sudah paham dan sudah menemukan jalan untuk menyokong kemerdekaan…
Ternyata romonya benar. Setelah tiga tahun, ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan tabiat lelakinya meski kadang tebersit juga pikiran bahwa kehadiran anak-anaklah yang jadi perekat antara mereka. Toh akhirnya ia juga terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah sendirian dan menjadikan suaminya sebagai raja saat pulang. Sungguh, semua itu ternyata ringan dikerjakan jika dengan hati riang.
“Lelaki kalau dibegituin, malah semakin menjadi lho, Nek. Pasti Kakek orangnya asik sekali, sampai Nenek segitunya dengan beliau,” timpal salah satu cucunya yang akhirnya bercerai dengan sang suami.
Kalimat itu hanya ia balas dengan senyum, lantaran tak punya cara untuk memberikan penjelasan. Kalau mau jujur, sebenarnya ia dulu juga merasakan hal yang sama. Tapi itu dulu, dulu sekali, sebelum kemudian waktu mengajari dan menjawab tentang banyak hal.
Hidup, sepertinya memang hanya soal kesabaran dalam menunggu.
* * *
“Aku cuma khawatir kalau Emak nanti jatuh sakit. Hujannya deras sekali. Emak nanti bisa masuk angin…”
“Kemarin aku bermimpi bapakmu pulang. Aku enggak mau dia pergi lagi gara-gara aku telat buka pintu,” ia ulangi lagi cerita pendek itu di hadapan anak bungsunya.
“Mak…,” manik matanya mulai berair.
“Ke sinilah, akan aku ceritakan kenapa bapakmu harus pergi hari itu...,” ia merasa cerita ini belum pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Ia merasa peristiwa itu hanya ia ceritakan dalam semalam. Anak cucunyalah yang justru semakin dirundung kekhawatiran, lantaran cerita itu menghantui malam demi malam.
Bahwa pasca kemerdekaan suaminya pernah banyak menulis di koran-koran hingga pernah dilirik Presiden Sukarno dan hampir jadi menteri. Tapi banyak juga orang yang membencinya. Sangat benci. Padahal itu hanya sekadar tulisan, tak menyakiti fisik siapa pun. Dan orang-orang itu mendapatkan jalan pelampiasan ketika terjadi huru-hara yang meributkan partai terlarang, harga sembako, dan pemerintahan. Hingga bapak mereka pun mengambil keputusan untuk tidak pulang demi keamanan orang-orang rumah.
Ia tahu bahwa suaminya sedang mengalami masa-masa terberat dibanding kehidupannya di masa lampau. Menghadapi kebencian bangsa sendiri ternyata lebih mematikan ketimbang menghadapi serangan bangsa asing. Dan sebagai istri, ia ingin turut memikul beban beratnya.
Maka ketika di sepertiga akhir malam itu ia melihat kepulangan suaminya, ia merasa bahwa tugasnya sudah selesai. Ia bahagia lantaran suaminya sudah tahu perihal kesetiaannya. Meski tanpa sepatah kata cinta. Meski hanya dengan jalan bersabar dalam menunggu. Anak-anak sudah besar, meski ia tak bisa menjamin kebahagiaan mereka.
Ini adalah bakti terakhirnya, ikut kepada suami. Meski kini di kanan kiri, anak, menantu, cucu dan cicit, riuh menangisi…
______________________________________
Adi Zam-zam punya nama asli Nur Hadi, kelahiran Jepara, 1 Januari 1982.
Cerpen karnya tersebar di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, dan beberapa koran nasional.
Cerbung pernah dimuat di Majalah Kartini, Femina, dan Annida-Online.
Bersama kawan-kawan, saat ini sedang aktif mengawal berdirinya sekolah kepenulisan Akademi Menulis Jepara.