Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali dari Baiq Nuril Maknun, korban pelecehan seksual. Presiden Joko Widodo pun meminta Baiq mengajukan amnesti.
MANADO, KOMPAS Presiden Joko Widodo menghormati putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) perkara Baiq Nuril Maknun. Namun, Presiden mempersilakan Baiq Nuril mengajukan amnesti (peniadaan hukuman) kepadanya.
Presiden mengatakan, tak bisa mengomentari putusan MA karena hal itu domain yudikatif. ”Nanti kalau masuk ke saya, jadi kewenangan saya,” kata Presiden di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (5/7/2019).
MA, Jumat, menolak permohonan PK dari Baiq Nuril, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Putusan itu dikritik oleh masyarakat karena dinilai sebagai kemunduran hukum bagi Indonesia. Putusan itu juga mencerminkan negara gagal melindungi perempuan korban pelecehan seksual.
Di Jakarta, sepanjang Jumat, kecaman terhadap putusan MA itu, antara lain, disuarakan berbagai lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril. Mereka menggalang petisi #AmnestiUntukNuril #SaveIbuNuril melalui laman: www.change.org. Hingga Jumat pukul 19.30, terkumpul lebih dari 250.000 tanda tangan yang mendukung petisi ”Amnesti untuk Nuril: Jangan Penjarakan Korban!”
Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh kepala sekolah tempatnya mengajar. Ia dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram. Jaksa mengajukan kasasi ke MA dan ia pun dihukum. Jumat, MA menolak PK yang diajukannya. MA menyatakan, Baiq Nuril bersalah dan memvonisnya selama enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dinilai melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril menilai, penolakan PK itu mempersulit upaya mendorong korban kekerasan seksual berani memperjuangkan keadilan. Koalisi mendesak Presiden untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
Presiden merespons harapan itu dan akan membicarakannya dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; serta Jaksa Agung sebelum memutuskan pemberian amnesti. Presiden juga menjawab agar Baiq Nuril segera mengajukan amnesti.
Bagi Koalisi, putusan MA itu sangat mengecewakan. MA seharusnya menilai dan memiliki perspektif dalam mengadili kasus Baiq Nuril. Putusan itu tak sejalan dengan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
”Perma itu mengatur dalam pemeriksaan perkara, hakim diminta mempertimbangkan aspek kesetaraan jender dan non- diskriminasi. Pertimbangan itu gagal dilakukan oleh MA, yang akhirnya berdampak pada putusan pemidanaan Nuril,” ujar Bestha Inatsan Ashila, anggota Koalisi dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (INA/SON)