JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum mengusulkan penerapan Sistem Informasi Penghitungan Suara atau Situng sebagai mekanisme resmi penetapan hasil Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020. Jika hal ini direalisasikan, Situng sekaligus menjadi mekanisme rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik atau e-rekap pertama yang diterapkan dalam pilkada di Indonesia.
Penjajakan Situng sebagai sarana e-rekap di dalam Pilkada 2020 tersebut telah secara informal disampaikan KPU kepada sejumlah anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di sela-sela penetapan calon presiden dan wakil presiden terpilih beberapa waktu lalu. Namun, usulan resmi KPU itu baru akan disampaikan di dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR, Senin pekan depan.
Upaya menggali masukan dari publik dan masyarakat sipil juga terus dilakukan oleh KPU untuk memperkuat desain Situng sebagai e-rekap Pilkada 2020. KPU menggelar Focus Group Discussion (FGD) secara bertahap dengan mengundang masyarakat sipil, pemerhati pemilu, ahli teknologi infromasi, serta berbagai lembaga terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri, untuk membahas kesiapan Situng.
Anggota KPU Viryan Aziz di sela-sela FGD bertajuk “Evaluasi Penggunaan Teknologi Infromasi pada Pemilu 2019,” yang digelar Jumat (5/7/2019) di Jakarta, mengatakan, e-rekap dipandang perlu untuk efisiensi pilkada. Penerapan Situng dalam Pilkada 2020 diproyeksikan bisa menghemat waktu yang selama ini banyak dihabiskan untuk rekapitulasi berjenjang secara manual di tingkat kecamatan maupun kota/kabupaten.
“Maksimal, e-rekap menggunakan Situng hanya memerlukan waktu 48 jam. Dengan demikian akan banyak efisinesi waktu yang bisa dilakukan bila Situng dimanfaatkan sebagai e-rekap dalam penghitungan suara Pilkada 2020,” kata Viryan.
Penerapan Situng dalam Pilkada 2020 diproyeksikan bisa menghemat waktu yang selama ini banyak dihabiskan untuk rekapitulasi berjenjang secara manual di tingkat kecamatan maupun kota/kabupaten.
Upaya mengenalkan Situng kepada publik maupun penyelenggara pemilu di lapangan pun relatif tidak sulit. Alasanya, selama ini Situng telah cukup dikenal masyarakat, dan bahkan ramai menjadi bahan perbincangan publik karena mengemuka dalam pemeriksaan perselisihan hasil pemilu (PHPU) presiden di Mahkamah Konstitusi (MK). Kendati demikian, KPU tetap akan menyosialisasaikan Situng, dan memberi pelatihan teknis kepada penyelenggara pilkada.
Menurut Viryan, selama ini sudah ada pemahaman di benak sebagian publik tentang Situng sebagai bagian dari mekanisme penghitungan suara. Adanya anggapan itu sedikit banyak akan memudahkan sosialisasi kepada masyarakat dalam mengenalkan Situng sebagai e-rekap. Bedanya, Situng di dalam Pemilu 2019 tidak menentukan hasil resmi pemilu, tetapi di dalam Pilkada 2020, Situng akan menentukan hasil resmi pilkada.
Peningkatkan peran Situng ini, lanjut Viryan, harus diimbangi dengan perbaikan dalam banyak sisi. Validitas Situng harus ditingkatkan guna mencegah terjadinya kekeliruan. Berkaca dari Pemilu 2019, kekeliruan input data oleh operator dan verifikator Situng menjadi salah satu hal yang harus diperbaiki KPU. Selain itu, penguatan sistem keamanan jaringan dan data juga disoroti.
Peningkatkan peran Situng ini harus diimbangi dengan perbaikan dalam banyak sisi. Validitas Situng harus ditingkatkan guna mencegah terjadinya kekeliruan.
Terima masukan
Sejumlah peserta FGD memberikan masukan kepada KPU dalam memperbaiki celah Situng. Salah seorang peserta, konsultan keamanan TI Andika Triwidada mengatakan, pada 1999 dirinya pernah terlibat dalam pengelolaan sistem informasi pemilu. Ketika itu, input data perolehan suara tidak dilakukan oleh petugas pemilu pada umumnya, melainkan bekerja sama dengan pegawai bank, yakni Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
“Kenapa petugas bank ketika itu diminta melakukan input data, asumsinya ialah karena petugas bank telah terbiasa melakukan input data keuangan. Potensi terjadinya kesalahan input data diharapkan bisa dikurangi karena data dimasukkan oleh petugas yang memang sudah terbiasa dengan angka-angka. Nah, apakah pola kerja sama semacam ini akan dipertimbangkan kembali untuk meminimalisir kekeliruan, bisa didalami lagi,” kata Andika.
Dari FGD juga muncul usulan agar formulir C1 diberi barcode khusus, sehingga tidak mudah dipalsukan. Tempat pemungutan suara (TPS) juga diwacanakan agar diberi kode untuk memudahkan publik mengakses raihan suara di TPS tersebut. Ada pula usulan agar formulir C1 yang telah discan, tetapi ditemukan ada kesalahan tulis dalam formulir itu bisa langsung dikoreksi dengan kehadiran saksi. Sebelumnya, mekanisme Situng dalam Pemilu 2019 tidak memungkinkan dilakukannya koreksi pada formulir C1, kecuali hal itu dilakukan di dalam rekap berjenjang secara manual.
Viryan mengatakan, berbagai masukan itu ditampung dan dijadikan bahan perbaikan Situng.
Peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay yang hadir di dalam FGD, mengatakan, penerapan e-rekap dalam Pilkada 2020 sekaligus bisa menjadi simulasi bagi dilakukannya e-rekap untuk Pemilu 2024. Efisiensi waktu harus menjadi perhatian, karena pemilihan serentak berpotensi menimbulkan beban kerja lebih berat kepada petugas teknis di lapangan.
“Indonesia sudah saatnya menerapkan e-rekap dengan melihat kebutuhan saat ini. Mekanisme pemberian suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara) secara manual seperti yang berlangsung selama ini sudah bagus, karena semua orang bisa menyaksikan dan mengikuti perhitungannya. E-voting maupun e-counting belum diperlukan saat ini. Namun, untuk e-rekap memungkinkan dilakukan untuk efisiensi waktu,” katanya.