Srihadi Soedarsono dan Catatan tentang Ingatan
Pada usia 88 tahun wajah tetap segar. Ia seolah selalu mendapat kabar gembira dari berbagai arah. Tubuhnya yang kecil bisa bergerak lincah di hadapan kanvas-kanvas besar di studionya yang asri di Kota Bandung. Kegairahan melukis pada usia senja buatnya menjadi vitamin jiwa yang mendorongnya mewariskan kepribadian tangguh kepada generasi berikut.
Tak mudah membuat janji dengan Srihadi. Belakangan, ia tidak hanya sibuk mempersiapkan pameran tunggalnya tahun depan, tetapi juga turut larut mengurus pembukaan Shrida Taste of Ubud. Akhirnya, restoran yang berkonsep seni itu dibuka 29 Juni 2019 diawali dengan diskusi tentang kebudayaan. Nama Shrida diambil dari kependekan nama Srihadi Soedarsono dan Siti Farida, istrinya, yang kini berusia 77 tahun.
Srihadi benar-benar ingin meninggalkan jejak seni yang pernah ia torehkan di lokasi studio lukisnya di kawasan Monkey Forest Ubud, Bali. Tahun 1980-an, ia membangun studio di atas tanah seluas 2.200 meter persegi. Bangunan dua lantai dari kayu karya seorang undagi (arsitek) Bali itu dalam waktu singkat menarik perhatian para seniman luar. Banyak seniman dari Belanda dan Singapura yang menginap dan melukis di situ. Beberapa seniman ternama, seperti Peter Dittmar dari Jerman, sering kali datang dan menginap.
Di Ubud pula Srihadi berkenalan dengan Rudolf Bonnet, pelukis Belanda yang turut mendirikan Museum Puri Lukisan Ubud. Keputusan membangun studio di Ubud melewati perjalanan cukup panjang. Sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), tahun 1950-an Srihadi berkenalan dengan pelukis Belanda bernama Arie Smit.
Sebelum menetap di Bali, Arie tinggal di Bandung. Ia yang menyarankan Srihadi bertemu James Pandy, pemilik Art Gallery Pandy di Pantai Sindhu, Sanur. Inilah galeri seni pertama di kawasan Sanur.
Singkat cerita, kata Srihadi, James Pandy ingin ia menjadi administrator bisnis seni di galeri miliknya. Oleh karena itu, Pandy sering kali mengajak Srihadi berbelanja karya seni ke kawasan Ubud dan Karangasem. Pada kesempatan itu, ia mengenal karya-karya Ida Bagus Nyana dan I Gusti Nyoman Lempad, para maestro Bali. Belakangan, Pandy membuatkan studio khusus buat Srihadi di lingkungan galeri. Dari studio itu Srihadi secara leluasa menghirup pemandangan Pantai Sanur yang masih sepi.
”Selain membuat sketsa, semuanya saya catat dalam memori, terutama di saat Gunung Agung tampak di sebelah timur laut,” ujar Srihadi dalam nada lirih, Sabtu (22/6/2019), di Bandung. Suaranya yang pelan mengimpresikan kejawaannya yang kental.
Kelak dari penghayatannya yang subtil terhadap lanskap Pantai Sanur, ia melahirkan periode horizon yang banyak diburu para kolektor. Horizon pantai dan garis tipis cakrawala di kejauhan seperti senantiasa memendarkan kedamaian. Jika sampai sekarang ia terikat pada periode ini, Srihadi seolah menyatukan serpih-serpih catatan yang pernah ia goreskan dalam ingatannya. ”Kalau masih tampak Gunung Agung, itu karena saya mencatat,” katanya.
Padahal, di masa sekarang, ketika Pantai Sanur ditumbuhi banyak hotel, restoran, artshop, dan galeri dengan lampu-lampu kemilau, sulit menemukan Gunung Agung di kejauhan cakrawala laut.
Herannya, Srihadi tidak memutuskan terus menetap di Sanur. Ia meninggalkan tawaran Pandy untuk menjadi penerusnya mengelola galeri. Bukan hanya karena kecantol pada Siti Farida Nawawi, yang kelak menjadi istrinya, tetapi lebih-lebih kepada Ubud. ”Saya lihat Ubud punya pesona, kultur, masyarakat, dan alamnya seperti menyatu,” katanya.
Pada awalnya, tahun 1970-an ia menyewa homestay di rumah maestro tari Bali, Anak Agung Mandra. Di rumah Mandra, Srihadi banyak mengamati bagaimana maestro itu memoles para penari. ”Ia tahu anak mana yang cocok tari legong atau oleg. Itu bahkan dilakukannya ketika anak-anak sedang bermain di jalan,” kenang Srihadi.
Inspirasi yang banyak digali dari Mandra diolah Srihadi menjadi ratusan karya lukis yang melahirkan periode penari. ”Periode ini bahkan mencapai 10 tahun. Seperti biasa, saya mencatatnya, baik berupa sketsa maupun memori,” kata perancang Ganeca yang menjadi logo ITB ini.
Kebiasaan
Kebiasaan mencatat dalam ingatan dilakoni Srihadi ketika menjadi anggota Balai Penerangan Tentara Divisi IV BKR/TKR/TNI. Pada masa pendudukan Jepang, pekerjaannya benar-benar mencatat dengan sketsa segala peristiwa yang terjadi di hadapannya. ”Waktu itu saya benar-benar bekerja seperti jurnalis. Bedanya, saya mencatatnya dalam sketsa, bukan tulisan,” kenangnya.
Keterampilan mencatat itu telah memberinya disiplin dalam bekerja. Jika bukan dengan sketsa, ia mencatat segala hal dalam ingatannya. Barangkali ini pula sebabnya mengapa daya ingatnya begitu brilian walau usianya mendekati angka 90 tahun.
Kini, ketika ia harus mempersiapkan pameran tunggalnya, Srihadi hanya perlu mengeluarkan tabungan ingatan yang pernah ia catat dalam pengelanaannya dahulu. Lanskap tentang Candi Borobudur di malam gerhana bulan atau senja hari tersimpan baik dalam keranjang-keranjang memorinya. ”Karena dulu saya pernah tidur bangun di Borobudur,” katanya tentang periode Candi Borobudur.
Di studionya yang terbuka, Srihadi selalu leluasa mendengar bisik gerimis atau deru hujan di kejauhan pepohonan. ”Bapak itu disiplin, pukul 07.00 pasti masuk studio setiap hari, nanti istirahat makan siang, tetapi kemudian kerja lagi seperti orang kantoran, ha-ha-ha…,” kata Siti Farida Nawawi, yang turut mengobrol bersama kami.
Farida juga pelukis lulusan ITB yang kemudian mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sampai pensiun tahun lalu.
Meski begitu, Ubud tetap menjadi kenangan terindah dalam perjalanan keseniman Srihadi. Kini, bekas studionya ia rawat sebagai hotel dan restoran. Bahkan, kuliner yang ia sajikan sebagian terinspirasi keharmonisan hidup masyarakat Bali dengan lingkungan. Sentuhan seni Srihadi tampak pada warna-warna yang dipilih dalam wadah-wadah menu sajiannya. ”Intinya saya ingin memelihara jejak sehingga menjadi warisan kepribadian yang baik,” kata Srihadi lagi.
Melukis baginya tidak lagi sekadar mengejar keindahan, apalagi materi, tetapi ia berupa hasil permenungan yang memendarkan ajaran yang ia sebut sebagai memayu hayuning bawana. Secara harfiah filosofi ini diartikan, mempercantik keindahan dunia, tetapi sebenarnya bermakna memberikan arti terhadap keindahan yang diberikan semesta. ”Arti keindahan itulah yang melahirkan kepribadian yang baik dan tangguh itu,” kata Srihadi.
Apa resep sehat Anda? ”Mengobrol yang sehat dan nonton film-film bermutu,” sergah Farida sambil mengumbar senyum. Terlihat jelas sisa-sisa kecantikannya di masa lalu….
”Jangan pikirkan usia,” kata Srihadi menimpali, ”Lupakan saja, bekerja dan pelihara fisik.”
Soal fisik, Srihadi tak main-main. Di sela kedisiplinannya melukis, dua kali dalam seminggu ia dikunjungi instruktur fitness. Tak jauh dari studionya di bagian rumahya yang damai, terdapat seperangkat alat fitness yang lumayan lengkap. Rupanya inilah rahasia lelaki kelahiran Solo, 4 Desember 1931, ini tetap bugar dan produktif.
Karya-karyanya yang berukuran lebih dari 4 meter ia kerjakan dengan ketekunan yang luar biasa serta ketahanan fisik dan psikis yang mengagumkan. ”Semuanya harus dengan roso,” katanya. Roso yang dimaksud tak lain kekuatan inner feeling, yang mengatasi batas-batas fisik dan psikis, bahkan lebih dalam dari spiritualitas. Ia semacam energi yang dimiliki para pedanda (pendeta Hindu) di Bali. ”Ya, itu kira-kira roso itu,” kata Farida menutup cerita.
Saya pamit setelah mengobrol di teras studio kedua orang tua yang berbahagia ini. Senja yang turun seperti membawa kedamaian.…
Srihadi Soedarsono
Lahir: Solo, 4 Desember 1931
Istri: Siti Farida Soedarsono
Anak: Tara Farina, Rati Farini, Tri Krisnamurti Syailendra
Pendidikan:
- Jurusan Seni Rupa Fakultas Teknik Bandung Universitas Indonesia (1959)
- Master of Art The Ohio State University Amerika Serikat (1962)
Penghargaan:
- Anugerah Seni Republik Indonesia (1971)
- Cultural Award dari Pemerintah Australia (1973)
- Fulbright Grant dari Pemerintah Amerika Serikat (1980)