Empat Malam Menanti Penyu Bertelur di Pulau Terluar
Penyu hijau adalah jenis penyu yang semakin langka karena banyak diburu indukan dan telurnya. Selama empat malam, wartawan Kompas, Jumarto Yulianus, berjaga di pulau-pulau terluar di Kalimantan Selatan demi menyaksikan penyu bertelur.
Baru satu tahun empat bulan bertugas di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saya mendapat undangan dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Pontianak Satuan Kerja Banjarmasin. Undangannya terbatas hanya untuk dua media, yaitu harian Kompas dan Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Boleh dikatakan, ini eksklusif.
Dalam undangan disebutkan, kegiatannya adalah survei dan pemonitoran potensi jenis ikan yang dilindungi (penyu) di Kalimantan Selatan. Kegiatan dilaksanakan pada 20-26 Mei 2015 di Pulau Sembilan, Kabupaten Kotabaru.
”Nanti, kita naik speedboat (kapal cepat) dari Kotabaru. Kita berkeliling ke beberapa pulau kecil di Pulau Sembilan,” kata Didit Eko Prasetiyo, yang kala itu menjabat Kepala Satuan Kerja Banjarmasin Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak pada Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Mendapat undangan itu, hati saya sedikit menciut. Terasa getir membayangkan naik kapal kecil untuk mengarungi lautan yang luas selama beberapa hari. Maklum saja, saya bukan ”anak laut”.
Saya lebih akrab dengan sungai. Apalagi, saya pernah merasakan mabuk laut ketika berlayar dengan KM Lawit selama tiga hari dua malam dari Pontianak ke Semarang pada 2004.
”Ombaknya gede nggak, Mas?” saya bertanya seketika itu juga. ”Enggak tahu juga, tetapi kata motorisnya masih aman,” ujar Didit.
Pernyataan itu sedikit melegakan. ”Ini kesempatan langka. Kalau tidak sekarang, kapan lagi bisa menjelajah pulau-pulau terluar di Kalimantan Selatan,” pikir saya kala itu.
Akhirnya, saya merasa mantap hati untuk mengambil kesempatan bertualang yang menantang itu. Saya pun segera menyampaikan kepada Kepala Desk Nusantara di Jakarta perihal undangan dari BPSPL. Setelah disetujui, saya bergegas membuat rencana dinas luar kota terkait liputan tersebut.
Setelah mendapat izin dari kantor, saya menyiapkan pakaian dan perlengkapan untuk perjalanan satu minggu. Saya membawa satu ransel berisi pakaian dan satu tas kecil berisi kamera DSLR. Rabu (20/5/2015) malam, saya berangkat dari Banjarmasin menuju Kotabaru dengan menggunakan mobil travel. Jarak antara Banjarmasin dan Kotabaru lebih dari 300 kilometer.
Kamis pagi, saya tiba di Kotabaru dan langsung menuju hotel tempat menginap tim survei. Mereka berangkat lebih dulu dari saya. Di situ, saya cuma transit. Setelah mandi dan sarapan, kami langsung menuju dermaga speedboat.
Cuaca hari itu cerah. Angin juga tidak terlalu kencang. ”Ya Tuhan, lindungilah perjalanan kami hari ini. Semoga kami selamat sampai di tempat tujuan,” ucap saya dalam hati.
Setelah semua barang dimuat ke speedboat, kami pun naik ke kapal cepat yang ditopang duamesin dengan tenaga masing-masing 200 PK itu. Penumpang dan motoris berjumlah sembilan orang. Sekitar pukul 08.00 Wita, kami bertolak meninggalkan dermaga menuju Pulau Marabatuan, pusat Kecamatan Pulau Sembilan.
Pusat Kecamatan Pulau Sembilan itu berjarak 82 mil (sekitar 131 kilometer) dari ibu kota kabupaten di Kotabaru. Jika menggunakan kapal laut, waktu tempuhnya lebih kurang 11 jam. Namun, dengan speedboat, waktu tempuh menjadi lebih singkat.
Karena ombak tidak terlalu besar, yakni masih di bawah 2 meter, speedboat kami bisa melaju dengan stabil. Perjalanan dari Kotabaru ke Pulau Marabatuan hanya empat jam. Sekitar pukul 12.00 Wita, kami sudah tiba di dermaga pusat Kecamatan Pulau Sembilan. Lega rasanya melewati tantangan pertama.
Ancaman malaria
Sampai di pusat Kecamatan Pulau Sembilan, kami langsung melapor ke kantor kecamatan setempat. Karena camat tidak berada di tempat, kami melapor kepada Pelaksana Harian Sekretaris Kecamatan Pulau Sembilan Andi Saenuddin.
Setelah melapor di kantor camat, kami menuju Puskesmas Marabatuan, Pulau Sembilan. Kami harus mengecek kondisi kesehatan terlebih dahulu sebelum menjelajah ke pulau-pulau kecil di wilayah Kecamatan Pulau Sembilan. ”Di sini termasuk daerah endemik malaria,” ujar Didit.
Berdasarkan data tahun 2014 di Puskesmas Marabatuan, penyakit malaria merupakan penyakit terbanyak ketiga yang diderita masyarakat setempat setelah penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan hipertensi.
Saya kembali merasa getir mengetahui kondisi itu. Sebab, saya pernah diopname di rumah sakit karena menderita malaria pada 2002. Pada 2009, penyakit malaria kembali kambuh dan membuat saya harus rutin berobat walau tidak harus diopname.
”Jangan sampai penyakit malaria itu kambuh lagi gara-gara liputan ke sini (Pulau Sembilan),” pikir saya.
Dokter di Puskesmas Pulau Sembilan yang memeriksa memastikan kondisi saya dan teman-teman lain baik-baik saja. Untuk mencegah penyakit malaria, kami disarankan minum pil kina terlebih dahulu sebelum menuju ke pulau-pulau terluar, yang sebagian tak berpenghuni. Kami juga dibekali kelambu agar terhindar dari gigitan nyamuk saat tidur malam.
Menjelajah
Setelah makan siang di Pulau Marabatuan, kami mulai menjelajah ke pulau-pulau terluar. Kami ditemani dua pemuda setempat yang selama ini menaruh perhatian pada konservasi penyu. Tujuan pertama adalah Pulau Danauwan. Pulau tersebut terlihat jelas dari Pulau Marabatuan. Perjalanan menuju pulau seluas 43 hektar tersebut hanya 30 menit.
Pulau Danauwan yang tidak berpenghuni itu terlihat indah dengan kombinasi bebatuan dan hamparan pasir serta pepohonan yang rimbun. Di situ hanya ada sebuah pondok kecil untuk beristirahat. ”Di sini, penyu sering naik untuk bertelur,” ujar Wahab, pemuda asli Pulau Sembilan yang menemani kami.
Menjelang malam, kami membakar ikan di dekat pondok untuk santap malam. Ikan itu dibeli dari nelayan di Pulau Marabatuan. Setelah makan malam, kami beristirahat di pondok sambil menunggu malam terus larut. ”Penyu biasanya naik saat tengah malam,” kata Wahab.
Sekitar pukul 00.00 Wita, kami keluar dari pondok dan berjalan mengendap-endap di pantai berpasir lembut untuk melihat jejak penyu. Setelah berjalan dari ujung ke ujung, kami pun menemukan jejak penyu di pantai. Jejak itu kemudian ditelusuri hingga ditemukan seekor penyu dewasa.
Mengetahui ada makhluk lain mendekatinya, penyu itu mencoba lari ke laut. Namun, sebelum kura-kura laut itu kabur, dua petugas BPSPL Pontianak Satker Banjarmasin mencegat dan memeriksanya untuk mengetahui jenis dan ukuran penyu tersebut. Setelah itu, penyu dibiarkan kembali ke laut. Malam itu, hanya satu penyu itu yang ditemukan.
Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Maradapan, sekitar dua jam dari Pulau Danauwan. Di sana, para petugas BPSPL Pontianak Satker Banjarmasin melakukan sosialisasi kepada warga tentang pentingnya menjaga kelestarian penyu. Kegiatan sosialisasi berlangsung setengah hari.
Lewat tengah hari, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Matasirih. Di pulau tersebut ada dua desa, yaitu Labuan Barat dan Teluk Sungai. Tujuan kami siang itu adalah Labuan Barat. Menjelang sore, kami berpindah ke Teluk Sungai dan bermalam di sana. Kali ini, kami menginap di rumah warga.
Hari berikutnya, kami kembali berlayar menuju Pulau Pamalikan, sekitar satu jam dari Pulau Matasirih. Pulau Pamalikan yang memiliki hamparan pasir putih dikenal sebagai surga penyu.
Perjalanan ke Pulau Pamalikan benar-benar membuat sport jantung. Kapal cepat kami yang berukuran kecil harus menghadapi ombak setinggi 2 meter lebih. Kapal terombang-ambing diempas gelombang.
Di sana, banyak penyu melepaskan telurnya. Lokasi penyu bertelur dipisahkan oleh vegetasi pantai, seperti pandan laut, waru laut, kirinyuh, ketapang, kepuh, dan kangkung laut.
Perjalanan ke Pulau Pamalikan benar-benar membuat sport jantung. Kapal cepat kami yang berukuran kecil harus menghadapi ombak setinggi 2 meter lebih.
Kapal terombang-ambing diempas gelombang. Saya pun sudah mengenakan jaket pelampung untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan terburuk.
Syukur kepada Tuhan, motoris kami sangat cekatan mengendalikan kapal kecil melewati gelombang besar. ”Saya pernah menghadapi gelombang yang lebih besar. Waktu itu, semua penumpang terkapar dan sampai muntah kuning,” tuturnya setelah kami berlabuh di pantai Pulau Pamalikan.
Penyu bertelur
Malam ketiga, kami bermalam di Pulau Pamalikan yang tak berpenghuni. Kami beristirahat di sebuah pondok kecil. Untuk santap malam, kami membakar ikan hasil pancingan sore harinya. Malam itu, kami kembali menanti penyu naik ke pantai. Saat jam menunjukkan pukul 20.30 Wita, kami sudah mendengar bunyi berisik di pantai.
”Sudah ada penyu yang naik. Tetapi, kita jangan mendekat dulu karena penyu itu masih mencari tempat untuk bertelur. Biarkan dia membuat sarangnya,” kata Adil, nelayan Desa Teluk Sungai, Pulau Matasirih, yang mengantar rombongan kami ke Pulau Pamalikan.
Menjelang tengah malam, kami baru keluar dari pondok mencari penyu yang naik ke pantai. Kami menemukan seekor penyu yang sedang melepaskan telurnya di bawah rumpun pandan laut. Dalam posisi begitu, penyu tidak lari saat didekati. Kami bisa mengamati hewan purba itu bertelur.
Setelah puas memperhatikan penyu, kami kembali ke pondok untuk beristirahat. Lewat tengah malam, kami bisa tidur nyenyak. Perjalanan panjang mengarungi lautan terbayar lunas karena berhasil menemukan momen langka, yakni melihat penyu bertelur di pulau terluar.
Keesokan harinya, kami kembali ke Pulau Marabatuan. Di sana, akhirnya kami bisa mandi setelah beberapa hari tidak mandi.
Kami juga bisa kembali menggunakan telepon seluler meskipun dengan jaringan yang terbatas. Kami bermalam di pusat Kecamatan Pulau Sembilan sebelum kembali ke Kotabaru.
Berkelanjutan
Selama empat malam di pulau terluar, kami hanya mendapati satu penyu di pantai Pulau Danauwan dan dua penyu di pantai Pulau Pamalikan. Namun, hanya satu penyu yang ditemukan melepaskan telurnya. Jenis ketiga penyu itu adalah penyu hijau (Chelonia mydas).
”Populasi penyu saat ini sudah sangat berkurang. Sekitar 15 tahun lalu, di Pulau Pamalikan bisa dijumpai lebih dari 20 sarang penyu setiap hari. Pada satu sarang bisa ditemukan 80-150 butir telur. Namun, sekarang, paling banyak ditemukan 5-6 sarang setiap hari. Bahkan, kadang-kadang hanya satu sarang,” tutur Adil.
Menurut Abdul Malik, guru SD sekaligus suporter Pro Fauna Indonesia di Pulau Marabatuan, populasi penyu terus berkurang karena sebagian nelayan masih menangkap induk penyu dan mengambil telurnya untuk diperdagangkan.
Di perairan Pulau Sembilan ada dua jenis penyu, yaitu penyu hijau dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Menurut Didit, keduanya terancam punah. Untuk menjaga kelestariannya, masyarakat perlu terus diberi pemahaman tentang bagaimana memanfaatkan penyu secara lestari atau berkelanjutan, yakni dengan menjadikannya sebagai wisata bahari (Kompas, 29/7/2015).
Senin (25/5/2015) pagi, kami kembali ke Kotabaru. Sama seperti waktu pergi, cuaca dan gelombang saat pulang juga bersahabat. Tiba di dermaga Kotabaru, saya memberikan topi Kompas yang saya kenakan kepada sang motoris sambil berkata, ”Terima kasih, Pak, karena sudah membawa kami menjelajah Pulau Sembilan. Berkat Bapak, kami bisa pergi dan pulang dengan selamat.”