Kewenangan MK dan Sengketa Pemilu
Melalui putusannya pada 27 Juni lalu, Mahkamah Konstitusi menegaskan bisa masuk ke pemeriksaan konstitusionalitas pemilu yang bersifat kualitatif apabila lembaga yang berwenang terkait hal itu tidak melaksanakan kewenangannya. Putusan itu menegaskan kewenangan MK dalam sengketa pemilu.
Salah satu hal menarik dari putusan Mahkamah Konstitusi pada 27 Juni 2019 mengenai perkara perselisihan hasil pemilu presiden adalah adanya penekanan terkait batas kewenangan lembaga itu dalam memeriksa perselisihan hasil pemilu. Putusan itu menjelaskan apakah MK hanya berwenang memeriksa hasil pemilu atau juga proses pemilu.
Perdebatan mengenai kewenangan MK itu muncul, terutama dalam penanganan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada), utamanya menyangkut batas selisih raihan suara antarcalon yang bisa diperiksa oleh lembaga itu. Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan, batas selisih suara antarcalon yang dapat diajukan sengketa ke mahkamah adalah 0,5 persen-2 persen. Ketentuan itu kerap menimbulkan pertanyaan apakah, di luar batasan itu, MK tak akan memeriksa perkara yang diajukan sekalipun terjadi kecurangan dalam proses pilkada? Dengan demikian, apakah MK mengesampingkan keadilan substantif dan mengutamakan keadilan prosedural?
Istilah ”mahkamah kalkulator” pun menjadi ungkapan peyoratif yang kerap dikaitkan dengan peran MK yang dinilai semata hanya memeriksa sengketa pemilu berdasarkan hitung-hitungan suara. Istilah itu juga sempat disinggung oleh pemohon perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden, pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dalam pengantar permohonannya.
Saat itu, pemohon antara lain mengungkapkan keyakinannya tentang peran MK yang lebih dari sekadar menakar hitung-hitungan raihan suara, tetapi juga menentukan konstitusionalitas pemilu. Konstitusionalitas pemilu yang dimaksudkan didasarkan pada asas pemilu yang diatur di Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945, yakni ”Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Jika ada salah satu saja asas yang dilanggar dalam proses pemilu, taruhannya adalah konstitusionalitas pemilu. Terkait hal itu, MK dipandang berwenang menguji konstitusionalitas pemilu dengan menjadikan asas-asas pemilu sebagai batu ujinya. Dengan demikian, MK tak hanya memeriksa sengketa hasil, tetapi juga menguji konstitusionalitas proses pemilu.
MK menjawab argumen dari pemohon itu melalui perspektif berbeda. MK mendasarkan kewenangannya pada UU Pemilu, di mana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi pintu utama penyelesaian sengketa proses pemilu. Ada pula kesempatan banding terhadap putusan Bawaslu, yakni melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), untuk tiga putusan yang dikecualikan.
Pasal 469 Ayat (1) UU Pemilu menyatakan, ”Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan: a. verifikasi partai politik peserta pemilu, b. penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan c. penetapan pasangan calon.
MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa, dengan demikian, keberatan kepada MK hanya dapat diajukan terkait dengan soal penghitungan suara. Konstitusi telah mengatur hal itu, demikian pula UU Pemilu. ”Hanya saja, untuk sampai sana, bukan hanya soal angka-angka, melainkan dapat bersinggungan dengan persoalan konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu yang berdampak pada hasil pemilu, baik yang kualitatif maupun kuantitatif,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Namun, persoalan konstitusionalitas pemilu yang bersifat kualitatif (termasuk yang menyangkut asas-asas) bukan mendalilkan soal penghitungan suara. Sementara MK hanya menyelesaikan terkait dengan hasil pemilu. Menurut MK, ada lembaga lain yang perannya tak dapat dinihilkan terkait konstitusionalitas pemilu, yakni Bawaslu dan PTUN. Dalam posisi ini, MK bisa masuk ke dalam pemeriksaan konstitusionalitas pemilu yang bersifat kualitatif apabila lembaga yang diberi kewenangan terkait hal itu tidak melaksanakan kewenangan tersebut.
”Tetapi, jika lembaga yang diberi kewenangan telah melakukan kewenangannya, mahkamah tidak berwenang memeriksa dan memutus permohonan kualitatif dimaksud,” kata Suhartoyo.
Pertimbangan MK itu menegaskan batasan kewenangan MK yang hanya pada sengketa pemilu, yang berpengaruh secara kuantitatif pada perolehan suara dan kursi. MK juga menegaskan ada lembaga lain yang memeriksa sengketa proses pemilu, yakni Bawaslu dan PTUN. MK tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa terkait proses pemilu jika hal itu telah dilakukan oleh Bawaslu dan PTUN.
Desain pemilu
Dalam persidangan PHPU presiden, kuasa hukum pemohon menilai waktu 14 hari yang disediakan UU Pemilu untuk membuktikan kejahatan yang terstruktur, sistematis, dan masif tidak mencukupi. Akan tetapi, menurut mantan Ketua MK Hamdan Zoelva waktu yang disediakan sebenarnya mencukupi apabila mengikuti desain pemilu yang menempatkan MK yang hanya memeriksa dan memutus sengketa hasil.
”Ada lembaga lain yang menyelesaikan sengketa proses, termasuk untuk kategori pelanggaran TSM, yakni Bawaslu. Sudah benar pendirian mahkamah yang baru masuk ke proses pemilu kalau lembaga lain itu tidak menanggapi pelanggaran proses,” kata Hamdan.
Dengan putusan MK ini, perdebatan di ranah publik sebenarnya telah terjawab. MK tidak mengadili proses pemilu, sepanjang laporan pelanggaran proses pemilu itu telah ditangani Bawaslu atau diputus PTUN. Di sisi lain, MK menegaskan peran Bawaslu dan PTUN dalam menyelesaikan sengketa administratif dalam desain pemilu di Indonesia. Menurut anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, putusan MK tersebut menegaskan peran Bawaslu.
”Apabila mengkaji putusan MK, sebenarnya MK banyak mendasarkan pengujian bukti-bukti yang dimiliki pemohon dengan laporan penanganan Bawaslu. Jika laporan itu telah ditangani Bawaslu, MK menilai tidak relevan lagi untuk memeriksa persoalan itu karena obyek yang diperkarakan telah hilang,” kata Bagja.
Putusan MK itu, menurut Bagja, mesti menjadi bahan kajian untuk menentukan peran Bawaslu di pemilu selanjutnya. Penguatan peran Bawaslu sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa administrasi pemilu, termasuk yang sifatnya kualitatif, apakah akan dipertahankan ataukah diubah melalui revisi UU Pemilu?
Akhirnya, apa pun revisi yang mungkin dilakukan terhadap UU Pemilu, revisi itu harus makin memberikan jaminan keadilan elektoral dan kepastian hukum bagi pencari keadilan.