Komedi Getir yang Mengejutkan
”Parasite” dibuka dengan adegan yang tumpat. Kaus kaki bergelantungan dijemur di ruangan yang merangkap ruang makan, ruang kerja, ruang tamu, dan ruang keluarga. Ruang itu menghadap jendela yang setengahnya di bawah permukaan jalan. Kaki-kaki orang yang lalu-lalang jadi latar sehari-hari keluarga pengangguran nan tahan banting ini.
Bahkan, saat keluarga yang terdiri dari ayah Kim Ki-taek (Kang-ho Song), ibu Chung-Sook (Hey-jin Jang), anak remaja laki-laki Ki-woo (Woo-sik Choi), dan adik perempuannya Ki-jung (So-dam Park) makan, seorang pria hendak buang air kecil tepat di depan jendela mereka.
Alur bergerak ketika Ki-woo ditawari sahabatnya untuk bekerja sebagai guru les bahasa Inggris bagi anak perempuan keluarga Park yang kaya. Menuju rumah keluarga Park, Ki-woo pun disuruh menunggu di ruang tamu yang bergaya modern-minimalis.
Sama seperti di rumahnya, ruang tamu keluarga Park menghadap ke sebuah jendela. Bedanya, kaca jendela keluarga Park berukuran sedinding rumah dan menghadap ke taman yang asri. Rumput hijau terhampar, dikelilingi tanaman hias yang terlindung di balik tembok tinggi.
Keseharian dua keluarga disampaikan dengan gambar- gambar yang kontras, menunjukkan perbedaan strata ekonomi. Sinematografi menjadi bagian penting Parasite yang lebih dari 60 persen adegannya terjadi di dalam ruangan. Keapikan susunan dan komposisi gambar membangun cerita dan ketegangan tidak lepas dari obsesi sutradara Bong Joon-ho pada detail dan referensinya dari karya-karya Alfred Hitchcock.
Film ini menerima penghargaan sebagai film terbaik dan meraih Palme d’Or di Festival Film Cannes, Mei 2019. Ketua dewan juri, sutradara Alejandro Gonzalez Inarritu, mengatakan, kemenangan Parasite dikarenakan kemampuannya mengeksploitasi semua unsur film dengan maksimal. Parasite dilihat sebagai karya yang kuat dan unik.
”Semua juri sepakat film ini membawa kita pada perjalanan yang secara tak terduga melewati berbagai aliran film dengan cara yang lucu dan lembut, tentang sesuatu yang global, lewat sebuah film yang sangat lokal, dengan penggunaan media film yang sangat efisien,” kata Inarritu sebagaimana dikutip Indiewire.com.
Kultur Cannes
Kemenangan sebuah film di Cannes tidak saja membawa prestise akan pencapaian seni, tetapi juga kemungkinan besar untuk unggul di pasar dunia. Cannes dipandang sebagai satu dari tiga festival film paling bergengsi dunia selain Berlin dan Venice. Berbeda dengan persepsi banyak orang tentang film festival yang kerap memenangkan film yang ”berat”, Cannes memadukan kepentingan pasar dan seni.
Kultur film Perancis sejak tahun 1940-an memiliki konsep yang meninggikan auteur cinema, yaitu film yang merupakan karya personal khas sutradaranya. Film-film yang masuk ajang kompetisi utama Cannes memiliki ciri khas ini. Tahun ini turut berkompetisi di Cannes, Once Upon A Time in Hollywood (Quentin Tarantino) atau Pain and Glory (Pedro Almodovar).
Dalam Cannes, selain Kompetisi Utama yang memperebutkan Palme d’Or, juga ada beberapa kategori, seperti Un Certain Regard yang memilih film-film dengan budaya khas. Ada juga pemutaran film di ajang-ajang yang paralel dengan festival utama, yaitu International Critics’ Week, di mana film pendek Indonesia, Prenjak (Wregas Bhanuteja, 2016), pernah mendapat penghargaan dari Leica.
Selain itu, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017) dan film pendek Kara, Anak Sebatang Pohon (Edwin, 2005) pernah terpilih untuk ditampilkan di sesi Directors’ Fortnight yang merupakan ajang paralel untuk sutradara-sutradara muda berbakat.
Bong mengatakan, Palme d’Or ini juga menjadi hadiah bagi 100 tahun film Korea sebagaimana ditulis kantor berita AP. Ia tidak berlebihan. Seorang insan film, sehebat apa pun, perlu didukung sistem. Industri film Korea sempat terpuruk saat tekanan Amerika Serikat membuat Korea harus membuka pintu distribusi langsung film Hollywood sekitar tahun 1988.
Setelah perjuangan panjang, tahun 1999 film Korea bangkit dengan Shiri. Kepercayaan diri semakin tinggi saat film Taegukgi (2003) meraih 11 juta penonton. Sejak itu, muncullah gelombang baru sineas Korea, seperti Bong yang lulus Korean Academy of Film Arts pada awal tahun 1990-an.
Parasite tanpa menghakimi menyajikan pertarungan klasik antarkelas. Berbeda dengan ”dra-kor” (drama seri Korea) yang banyak menghadirkan kafe-kafe indah, Parasite menampilkan kontras pemandangan ”ranah” kumuh dan mewah. Drama komedi yang sekaligus getir ini berkisah tentang bagaimana kesenjangan mendorong orang untuk bertahan hidup, bahkan dengan cara apa pun.
Cerdik
Dengan cerdik dan unik, Bong juga menghadirkan sejumlah simbol untuk ”mendeskripsikan” apa itu miskin dan kemiskinan. Salah satunya, merepresentasikan kemiskinan dengan simbol ”bau” yang dimunculkan di sejumlah adegan ataupun dialog para tokoh. Bong mengajak penonton membayangkan aroma itu bisa jadi parameter untuk menentukan strata sosial dan ekonomi seseorang.
Film ini membawa penonton seakan melewati jalan rasa yang berkelok-kelok dengan kejutan di setiap tikungan. Kejutan demi kejutan menunjukkan bahwa esensi seorang manusia, entah kaya atau miskin, majikan atau bawahan, bisa melakukan atau mengalami hal ekstrem yang tak terduga dalam hidup.
Cerita dirajut dengan serba pas dan jujur tanpa bermaksud menghakimi atau takut dihakimi. Setiap unsur cerita dengan tepat membentuk satu kesatuan film, entah itu lampu yang berkedip, tatapan mata, sebuah batu, latar musik klasik, sampai sepotong ucapan.
Dalam sebuah wawancara seperti dikutip situs www.highonfilms.com, Bong mengatakan, ”Saya pikir salah satu cara memotret polarisasi dan ketidaksetaraan yang terjadi di masyarakat adalah lewat komedi menyedihkan seperti ini. Kita sekarang hidup di era kapitalisme dan kita tak punya pilihan lain. Semua itu tak hanya terjadi di Korea. Seluruh dunia mengalami hal sama.”