Pendidikan vokasi dan pelatihan kejuruan menjadi target utama pembenahan pemerintah dalam rangka memperkuat sumber daya manusia. Namun, itu bukan hal yang mudah. Butuh strategi luar biasa di berbagai sisi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Pendidikan vokasi dan pelatihan kejuruan menjadi target utama pembenahan pemerintah dalam rangka memperkuat sumber daya manusia. Namun, itu bukan hal yang mudah. Butuh strategi luar biasa di berbagai sisi, mulai dari perombakan kurikulum, ketersediaan tenaga pengajar dan pelatih yang kompeten, hingga kerja sama yang solid antara pemerintah, pendidikan, dan industri.
Pemerintah pun telah menjadikan pendidikan vokasi sebagai prioritas dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM). Hal ini tertuang dalam Rencana Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Setidaknya ada tiga hal penting yang direncanakan, yakni sinkronisasi pendidikan dan pelatihan vokasi, mencegah mismatch atau ketidakcocokan dunia usaha dan dunia industri dengan sektor pendidikan, serta menetapkan kurikulum yang menekankan pada aspek magang.
Pendidikan vokasi yang selama ini belum berkembang bisa disebabkan karena koordinasi dari pemangku kepentingan belum terwujud. Meskipun Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK sudah dikeluarkan, para pemangku kepentingan, termasuk di sektor pemerintah, masih berjalan sendiri-sendiri.
Konsolidasi yang lebih kuat perlu dibangun pada pendidikan vokasi di SMK yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama; politeknik di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; serta Badan Latihan Kejuruan di Kementerian Tenaga Kerja.
Selain itu, keterlibatan industri juga belum maksimal dari hulu ke hilir. Ada pendidikan vokasi yang sudah terintegrasi dengan industri, tetapi banyak pendidikan yang hanya melibatkan industri di bagian hilir saat pemagangan. Padahal, jika penyerapan tenaga kerja di pendidikan vokasi ingin dioptimalkan, kerja sama dengan industri dilakukan secara sistematis dari hulu ke hilir.
Belajar dari Jerman yang sekitar 55 persen persen penduduknya mengikuti pendidikan vokasi, industri dan pendidikan sudah tidak lagi berjarak. Kurikulum yang dijalankan di pendidikan sudah disesuaikan dengan kebutuhan di industri. Materi-materinya pun spesifik merujuk pada jenis vokasi yang akan diambil.
Sebelum calon siswa masuk ke sekolah vokasi, mereka harus tahu jenis keterampilan apa yang akan dipilih. Kemudian, penguasaan pengetahuan teknis dan keterampilan praktis pun dibuat lebih sesuai dengan persentase 70 persen kurikulum di perusahaan dan 30 persen di sekolah.
Sejak awal pendidikan, praktik sudah dilakukan di industri. Sementara di Indonesia, praktik di tempat usaha baru dilakukan tiga sampai enam bulan pada akhir masa belajar.
Di Jerman, industri pun menjadikan pendidikan vokasi sebagai investasi jangka panjang karena lulusan yang dihasilkan di pendidikan sudah siap menjadi angkatan kerja yang kompeten dan berdaya saing. Kualitasnya juga sudah sesuai dengan industri karena sejak awal sudah langsung diterjunkan ke industri. Pekerja bisa mendapatkan upah tinggi sehingga kesejahteraan terjamin.
Di Jerman, industri pun menjadikan pendidikan vokasi sebagai investasi jangka panjang karena lulusan yang dihasilkan di pendidikan sudah siap menjadi angkatan kerja yang kompeten dan berdaya saing.
Dalam konsep tersebut, keberhasilan sangat bergantung pada kesadaran industri. Sayangnya, kesadaran itu belum terbentuk sebagai ekosistem industri di Indonesia. Berbagai dorongan masih harus diberikan oleh pemerintah.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit menuturkan, ketersediaan angkatan kerja yang produktif dan kompeten sangat mendukung perkembangan industri. Di Jerman, industri yang digerakkan oleh tenaga terampil mampu menjadikan ekonomi di negara itu tumbuh 2 persen per tahun.
Untuk itulah, kerja sama industri dan pendidikan diarahkan bisa seperti Jerman. Industri seharusnya bisa terlibat dan dilibatkan sejak awal pendidikan berlangsung. Sistem pembelajaran pun lebih diberatkan pada kegiatan praktik.
”Intinya, pendidikan vokasi harus benar-benar menghubungkan antara pendidikan dan industri,” katanya.
Selain itu, guru produktif diharapkan lebih banyak diterjunkan di pendidikan karena dinilai lebih paham dengan kondisi industri terkini. Siswa juga sebaiknya lebih banyak langsung berkegiatan di industri. Dengan begitu, lulusan yang dihasilkan lebih siap bekerja dan angka penyerapan lulusan semakin tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, 11,24 persen lulusan SMK menganggur. Dari data per Agustus 2018, terhitung 7 juta orang angkatan kerja di Indonesia menganggur.
Revitalisasi
Untuk mendorong keterlibatan industri sebagai penguatan pendidikan vokasi, pemerintah telah menyiapkan sejumlah insentif. Pemerintah akan mengeluarkan kebijakan melalui pengurangan pajak atau superdeductible tax sekitar 200 persen bagi industri yang membuat pendidikan vokasi. Kemudahan perizinan pun menjadi salah satu yang diberikan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara menyampaikan, pembenahan di pendidikan vokasi merupakan upaya pemerintah membentuk SDM yang berkualitas untuk memperkuat daya saing bangsa.
Terkait hal itu, pemerintah di lingkup Kementerian Perindustrian telah membentuk Badan Pengembangan SDM. Badan ini menyatukan lintas sektor pemerintah, industri, dan akademisi untuk bisa merencanakan dan menjalankan program pengembangan SDM.
Revitalisasi pendidikan vokasi di sekolah menengah kejuruan (SMK) telah dimulai sejak 2016. Terdapat 2.612 SMK industri yang dikembangkan dan bekerja sama dengan lebih dari 1.000 industri. SMK ini dirancang terintegrasi langsung dengan industri, baik untuk pemagangan maupun penyerapan tenaga kerja.
Pendidik dan pelatihnya pun dinilai lebih profesional. Namun, jumlah itu masih jauh dari total SMK yang ada di Indonesia. Saat ini tercatat lebih dari 14.000 SMK.
”SMK industri ini butuh persiapan yang matang. Harapannya, pada lima tahun mendatang, kita bisa kembangkan lagi menjadi 5.000 SMK industri. Kendala saat ini adalah masih terbatasnya guru produksi yang siap mengajar,” kata Deputi Bidang Koordinasi Agama dan Pendidikan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono.
SMK industri ini butuh persiapan yang matang. Harapannya, pada lima tahun mendatang, kita bisa kembangkan lagi menjadi 5.000 SMK industri.
Menurut dia, untuk mendukung penguatan 5.000 SMK industri ini dibutuhkan tambahan 52.000 guru produksi. Jumlah ini tidak sedikit. Namun, jika tidak dipenuhi, hal itu akan menghambat proses penguatan SMK, bahkan tujuan memajukan SMK tidak akan terpenuhi.
Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan skenario untuk bisa mendorong terpenuhinya jumlah guru produksi yang dibutuhkan. Lulusan politeknik akan menjadi salah satu prioritas yang direkrut untuk bisa menjadi guru SMK.
Para lulusan yang berminat akan diberikan beasiswa dari pemerintah untuk menjalani pendidikan profesi guru. Mereka juga diberikan insentif serta tunjangan yang nilainya lebih kompetitif dibandingkan dengan gaji sebagai pegawai di perusahaan ataupun industri.
Sejumlah bidang baru pun terus didorong, terutama bidang yang terkait dengan teknologi 4.0. Bidang-bidang tersebut seperti realitas maya (virtual reality), 3D printing, desain komunikasi visual, bisnis daring (e-commerce), dan augmented reality. Hal ini juga menjadi tantangan besar yang butuh persiapan matang.
Berbagai konsep telah disiapkan, terutama untuk menjadikan ekosistem pendidikan vokasi yang mampu menggerakkan berbagai sektor kepentingan. Indonesia butuh konsep yang komprehensif dan implikatif dalam pengembangan pendidikan vokasi. Keberlanjutannya pun harus dipastikan.
Vokasi hendaknya juga tidak hanya dilakukan pemerintah pusat, tetapi juga harus didorong dari daerah. Layaknya bangunan yang bisa bertahan dan bermanfaat dalam jangka panjang, pendidikan vokasi juga perlu dibangun dengan fondasi yang kuat dan dikerjakan dengan serius.