Gunung adalah lumbung budaya. Dalam kawasan gunung terdapat desa-desa, yang menyimpan tradisi, peradaban luhur, dan semuanya berdasar pada kebudayaan. Merawat desa dan gunung sama dengan melestarikan budaya.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
Gunung adalah lumbung budaya. Dalam kawasan gunung terdapat desa-desa, yang menyimpan tradisi, peradaban luhur, dan semuanya berdasar pada kebudayaan. Merawat desa dan gunung sama dengan melestarikan budaya.
Demikian dituturkan Pimpinan Padepokan Tjipta Boedaja, Sitras Anjilin, saat memberikan sambutan di hari terakhir penyelenggaraan Festival Lima Gunung (FLG) XVIII di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (7/7/2019). FLG kali ini mengangkat tema ”Gunung Lumbung Budaya”.
Kebudayaan seringkali ditafsirkan identik dengan kesenian. Namun, menurut Sitras, kebudayaan sebenarnya berwujud dalam banyak hal seperti sopan santun, perilaku menghargai sesama, kesadaran menghargai orangtua, dan kesadaran menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti adat dan tradisi. Hal-hal itulah yang kini masih terus tumbuh dan berkembang dalam kehidupan pedesaaan.
“Bukan meremehkan masyarakat kota, tetapi kesadaran untuk hidup berbudaya itu memang ada di desa-desa,” ujarnya.
Presiden Lima Gunung, Sutanto Mendut, mengatakan, kebudayaan di desa itu juga terlihat dalam penyelenggaraan FLG kali ini. Budaya dan keluhuran tradisi lokal tersebut, antara lain terwujud dalam bentuk kesiapsiagaan ibu-ibu yang memasak, menyiapkan makanan bagi para tamu dan peserta FLG.
Sutanto mengungkapkan, di desa, memasak, menyiapkan makanan bagi tamu merupakan bagian dari kebiasaan dan tradisi. Jika pentas kesenian seperti festival lima gunung dilakukan di kota, panitia biasanya akan langsung terpikir memesan makanan dari katering.
"Memesan makanan dari usaha katering adalah bagian kebiasaan masyarakat Eropa dan sama sekali bukan kebiasaan masyarakat di sini (Indonesia),” ujarnya.
Memesan makanan dari usaha katering adalah bagian kebiasaan masyarakat Eropa dan sama sekali bukan kebiasaan masyarakat di sini (Indonesia).
Riyadi, salah satu seniman dari Komunitas Lima Gunung, mengatakan, gunung dalam tema FLG kali ini, bermakna sebagai simbol desa. Dengan mengangkat tema ini, seluruh seniman anggota Komunitas Lima Gunung berharap bisa mengingatkan segenap warga desa untuk terus merawat tradisi yang diturunkan sejak nenek moyang.
“Dengan begitu, adat dan tradisi diharapkan nantinya dapat terus bertahan, ada dalam kehidupan di desa-desa,” ujarnya.
Sama seperti penyelenggaraan di tahun-tahun sebelumnya, FLG dilaksanakan tanpa dukungan dana dari sponsor atau donatur. Murni berbekal urunan dari para seniman. Menurut Riyadi, urunan tersebut juga tidak semuanya berwujud uang.
“Ada yang menyumbang uang, tetapi ada pula yang menyumbang sayur-mayur untuk masakan dan daun kelapa atau jerami untuk kebutuhan dekorasi panggung,” ujarnya.
FLG dilaksanakan tanpa dukungan dana dari sponsor atau donatur. Murni berbekal urunan dari para seniman. Menurut Riyadi, urunan tersebut juga tidak semuanya berwujud uang.
Riyadi mengatakan, dalam penyelenggaraan FLG, pihak panitia juga memang tidak repot mengurusi kebutuhan peserta. Setiap kelompok kesenian yang tampil sebagai peserta harus mengurus semua kebutuhannya sendiri, mulai dari kostum hingga biaya transportasi dari lokasi masing-masing ke Dusun Tutup Ngisor.
“Kami dari panitia, hanya membantu menyediakan tempat menginap di rumah warga, memberikan konsumsi, serta memberikan senyuman,” ujarnya.
Pada ajang FLG kali ini, sebanyak 77 kelompok kesenian dari berbagai tempat dari dalam dan luar Jawa berpartisipasi. Tiga kelompok kesenian bahkan ada yang berasal dari luar negeri yaitu dari Auistralia, Austria, dan Jepang.
Riyadi mengatakan, banyak kelompok kesenian yang sebenarnya ingin tampil. Namun pada akhirnya, karena berbagai kendala teknis, tidak semua bisa tertampung. Menyikapi hal itu, pihak panitia terbuka untuk pementasan di luar jadwal 5-7 Juli.
“Ada kelompok teater yang baru bisa mendapatkan bantuan biaya transportasi pada Selasa (9/7). Mereka kami beri kesempatan tampil di hari Jumat (12/7),” ujarnya.
KLG juga sudah memastikan kepada para peserta bahwa mereka tidak akan mendapatkan keuntungan dari segi finansial.
Panitia FLG juga tidak memberikan honor atau pembayaran apa pun bagi peserta. Riyadi mengatakan, sejak awal, KLG juga sudah memastikan kepada para peserta bahwa mereka tidak akan mendapatkan keuntungan dari segi finansial.
“Kami tidak berpikir soal uang karena menjadi target penyelenggaraan FLG hanyalah bahagia, bersama,” ujarnya.