Ombudsman RI: Putusan PK Baiq Nuril Tak Berperspektif Jender
›
Ombudsman RI: Putusan PK Baiq ...
Iklan
Ombudsman RI: Putusan PK Baiq Nuril Tak Berperspektif Jender
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu menilai putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali Baiq Nuril dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Traksasi Elektronik terkait dengan penyebaran rekaman telepon mesum mantan atasannya, tidak berperspektif jender. Bahkan, ia menilai ada potensi pelanggaran maladministratif dalam penanganan perkara Baiq Nuril.
"Saya pribadi setuju Presiden mengeluarkan amnesti yang sekaligus dapat dijadikan dasar bagi MA untuk melakukan koreksi pada putusannya. Sebab amnesti Presiden tetap akan dimintakan pendapat ke MA," kata Ninik, pada Minggu (7/7/2019) di Jakarta.
Rencananya, Baiq Nuril akan menghadap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada Senin (8/7) di kantor Kemenkumham, Jalan Rasuna Said, Jakarta. Nuril yang didampingi oleh kuasa hukumnya Joko Jumadi akan mendiskusikan langkah-langkah apa saja yang kemungkinan bisa ditempuh oleh Nuril pascaputusan PK MA.
Sebelumnya, MA telah menghukum Nuril dengan pidana penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta dalam putusan kasasinya.
Menurut Ninik, majelis hakim yang menanganai PK Baiq Nuril telah mengabaikan produk hukumnya sendiri, yakni Peraturan MA No 3/2017 yang mengatur tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan. Perma tersebut sejatinya dikeluarkan karena ingin melindungi perempuan sebagai korban dalam perspektif relasi kuasa yang tidak imbang di muka peradilan.
"Hakim sebagai garda terakhir penegakan hukum dalam mengadili kasus terkait perempuan dan anak, termasuk kasus Baiq wajib menggali dan mengoreksi yang telah dilakukan aparat penegak hukum sebelumnya terkait kerentanan akibat diskriminasi gender tersbut. Hakim, tidak cukup hanya mempertimbangkan tuntutan dan dakwaan yang dibuat oleh jaksa sebagaimana kasus-kasus tindak pidana pada umumnya, melainkan wajib menggali potensi kekerasan berbasis gender yang menjadi sebab peristiwa pidana itu terjadi," kata Ninik.
Hal itu pun sebenarnya telah termaktub pada pertimbangan Perma tersebut. Pertimbangan itu berbunyi, “kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan."
Periksa majelis hakim
Terkait dengan kasus Baiq, menurut Ninik, ada potensi telah terjadi maladministrasi dalam penanganan kasusnya "Saya juga mendorong MA, khususnya Bawas MA untuk memeriksa hakim yang memutus perkara, karena tdk patuh pada kebijakan yang dikeluarkan MA," katanya.
Potensi maladministrasi itu terjadi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur penanganan pada kasus Baiq, karena hakim dalam mengadili kasus ini tidak mempertimbangkan proses sebagaimana yang diatur pada Perma No 3 Tahun 2017 tentang pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Ketentuan yang dilanggar itu, menurut Ninik, khususnya tercantum dalam Pasal 6. Hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum: (1) mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotip gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis; (2)melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan hender; (3) menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan (4) mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian- perjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi.