Penyintas yang Bersinar di Negeri Orang
Ia lebih suka dikenal sebagai Hana Madness (27), penyintas atau seseorang yang bertahan hidup dengan gangguan bipolar. Sore itu, ruang apartemennya yang mungil di Kalibata, Jakarta Selatan, terlihat mulai disesaki banyak lukisannya yang terkemas rapi dengan kardus, yang siap diberangkatkan ke Inggris. Hana menjadi salah satu penyintas bipolar yang bersinar di negeri orang.
”Ini keikutsertaan saya yang ketiga kali di Inggris setelah mengikuti Unlimited Festival dan kegiatan seni di Bethlem Royal Hospital. Lama-kelamaan apa yang saya capai ini membuat rasa bangga orangtua dan keluarga saya,” ujar perempuan yang lahir di Jakarta dengan nama Hana Alfikih ini, Kamis (27/6/2019).
Pada 2 Agustus 2019, Hana dijadwalkan tiba di Inggris. Ia akan tinggal di Liverpool, sekitar setengah jam perjalanan dengan kereta api menuju kota St Helens, Merseyside.
Di kota St Helens inilah Hana diundang untuk memamerkan karya-karya lukisannya dalam Festival Heart of Glass, yang berlangsung 1–30 November 2019. Pada 2-19 Agustus nanti Hana harus mempersiapkan karya-karya mural di St Helens, bersama tim seniman lokal.
Keikutsertaan Hana di festival itu diminta untuk turut mengampanyekan isu kesehatan mental di Inggris, terutama bagi warga kota St Helens. ”Kota ini dikenal sebagai nation’s suicide capital di Inggris, sebagai daerah tertinggi kejadian bunuh diri,” kata Hana.
Hana punya riwayat yang cukup erat dengan dorongan untuk bunuh diri. Ia mengenang di saat remaja beberapa kali ingin bunuh diri dengan melukai kulit di pergelangan tangannya.
”Suatu ketika, saya melukai pergelangan tangan di kamar mandi hingga darah memenuhi lantai,” ujar Hana.
Hana mudah depresi dan memutuskan selalu ingin bunuh diri. Ia tidak tahu pasti penyebabnya. Setiap kali muncul rasa kecewa, Hana tak kuasa menahan diri untuk mengakhiri hidup.
Beberapa kali ia melukai kulit dengan pisau di pergelangan tangannya. Ketika menahan pedih kulit yang terluka itu, Hana meraih rasa puas. Inilah pendulum balik dari kutub depresif ke kutub lawannya, euforia. Ayunan perasaan atau mood swing seperti inilah sebagai gangguan bipolar yang dirasakan Hana.
Hana berjuang menepis gangguan bipolar ini. Ia akhirnya mengenali ayunan perasaan baliknya dan bangkit. Setiap kali muncul niat bunuh diri, ia mengalihkan tindakan melukai kulit di pergelangan tangan dengan menato di bagian kulit tubuh lainnya.
Puluhan kali Hana meminta koleganya menato kulit di tubuhnya. Ada gambar bunga-bunga yang menghiasi sebuah kepala tengkorak di bagian lengan kirinya. Ada gambar Ganesha di bagian punggung, dan sebagainya. ”Saya tidak ingat, mengapa saya memilih gambar-gambar itu untuk ditato di tubuh saya,” katanya.
Perangai Hana yang menato tubuh itu sulit dimengerti kedua orangtuanya. Suatu kali ia dimarahi. Gambar tato yang ada di lengan kirinya diampelas dan akhirnya menimbulkan luka.
Namun, Hana tak jera. Setelah pulih, ia kembali menato bagian itu untuk menutupi bekas lukanya. ”Kejadiannya sebelum saya menato bagian tengkorak ini,” ujar Hana, yang kemudian memilih hidup indekos, keluar dari rumah orangtuanya sekitar 10 tahun lalu.
Begitulah Hana berdamai dengan gangguan bipolarnya. Tubuhnya adalah kanvas baginya. Ia menato tubuhnya untuk meraih ayunan perasaan yang membebaskan dari rasa depresif dan keinginan bunuh diri.
Hana selanjutnya berhasil memindahkan ”kanvas” di tubuhnya ke kanvas sesungguhnya. Ia kemudian getol melukis dengan gaya doodle yang merepresentasikan detail ayunan perasaan yang kerap mendera.
Salah satu karyanya, lukisan monokromatik hitam di atas putih berupa gelembung tetesan air mata. Di antaranya ada figur tubuh yang tergelantung tali di leher, di antara tetesan air mata. Hana merepresentasikan kesedihannya yang berujung pada niatan ingin mengakhiri hidup.
Jejak ekspresi perasaan bipolar Hana di dalam lukisan ini diendus British Council untuk dipamerkan di Inggris. Termasuk di St Helens nanti. Kota itu punya catatan angka bunuh diri 17,9 orang per 100.000 penduduk, tertinggi di Inggris. Inggris memiliki rata-rata angka bunuh diri 9,6 orang per 100.000 penduduknya.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), peringkat angka bunuh diri tertinggi di dunia ada di Guyana (30,2), Lesotho (28,9), dan Rusia (25,5). Sementara Jepang dengan angka bunuh diri 14,3 orang per 100.000 penduduk itu berada pada peringkat ke-30.
Indonesia di peringkat ke-159 dengan angka bunuh diri 3,7 orang per 100.000 penduduk. Namun, akurasi angka ini dibayangi perdebatan karena banyak kejadian bunuh diri di Indonesia yang tak dicatatkan.
Kenal diri
Psikiater dari Rumah Sakit Jiwa, Soeharto Heerdjan, Jakarta, Suzy Yusna Dewi, mengatakan, ekspresi seni bisa diintervensi untuk penanganan gangguan mental. Prinsipnya memberikan rasa nyaman dan menunjang proses tujuan utama, yaitu kenal diri.
”Ketika pasien mampu mengenali diri, itu seperti mereka yang menderita penyakit organik lainnya akan tahu hal yang baik atau tidak baik bagi dirinya,” kata Suzy Yusna.
Secara terpisah, pendiri dan pengelola Lembaga Istana Komunitas Sehat Jiwa (KSJ) di Cianjur, Jawa Barat, Nurhamid Karnaatmaja (56), mengatakan hal serupa. Tujuan utama perawatan pasien atau penyandang gangguan mental adalah mengenali diri.
”Setelah mampu mengenali diri, kita mendorong pasien supaya memiliki empat kemampuan, yaitu produktif, mandiri, bermanfaat, dan enjoy (berbahagia),” kata Nurhamid di Istana KSJ yang baru saja dikontrak oleh seorang dermawan selama lima tahun ke depan di Cipanas, Cianjur.
Nurhamid mendirikan Istana KSJ sejak 2009 untuk menangani penderita gangguan mental yang ditelantarkan dan dipasung. Sedikitnya Nurhamid sudah terlibat membebaskan sekitar 360 penderita gangguan mental yang dipasung di wilayah Cianjur dan sekitarnya. Istana KSJ juga menangani ratusan penyandang gangguan mental lain yang ditelantarkan dan hidup menggelandang di jalan.
Mahendra, misalnya, dua bulan lalu ia tidak sadarkan diri menggelandang di jalan tanpa busana. Setelah Nurhamid merawat dan memberikan obat psikotik, dalam waktu semalam Mahendra seperti siuman dari ketidaksadarannya.
Sambil menenteng pensil dan buku tulis, sore itu, Mahendra menghampiri Nurhamid. Ia ternyata mahir melukis. Di buku itu, Mahendra menggambar sosok monster cebol bermata satu dan dituliskan kata ”Growl”. Kemudian ada sosok pemuda gagah dan dituliskan kata ”Meero”.
”Growl dan Meero ini tokoh komik yang ingin saya buat. Kaumnya saling bermusuhan, tetapi keduanya akhirnya bahu-membahu untuk menyelamatkan bumi,” kata Mahendra.
Seni brut
Pengamat seni asal Perancis yang menetap di Bali, Jean Couteau, mengatakan, dunia seni rupa mengalami perluasan konsep seni dengan hadirnya karya-karya yang dikerjakan secara spontan oleh penyandang gangguan psikiatrik. Perluasan konsep seni ini di Barat diberi istilah seni brut (art brut) pada era 1945 oleh seniman Perancis di Swiss bernama Jean Dubbufet.
”Istilah ’brut’ memiliki makna belum diapa-apakan, sesuatu yang mentah. Maka seni brut bisa juga memiliki makna sebagai seni yang mentah,” kata Jean Couteau.
Seni brut disepadankan dengan outsider art oleh kritikus seni asal Inggris, Roger Cardinal, pada 1972. Seni brut di Indonesia kini makin mendapatkan perhatian.
Tidak hanya Inggris, pegiat seni brut di Jepang juga menaruh perhatian untuk Indonesia. Di antaranya Borderless Art Museum No-Ma dari Prefektur Shiga, Jepang.
Pada 2018, mereka membukukan hasil riset terhadap beberapa penyintas gangguan mental atau orang dengan karya lukisan di luar arus dan dianggap masuk ranah seni brut atau outsider art di Indonesia. Di buku itu dipaparkan empat seniman, yakni Noviadi Angkasapura (Jakarta), Dwi Putro (Yogyakarta), Imam Sucahyo (Tuban), dan Ni Tanjung (Bali).
Karya-karya mereka mulai dikenal di beberapa negara. Karya Noviadi banyak dikoleksi galeri di Amerika Serikat. Karya Dwi Putro dipamerkan di Museum No-Ma, Shiga, Jepang, 3 Maret–2 Juni 2019. Karya Ni Tanjung beberapa waktu lalu dipamerkan di Museum Koleksi Seni Brut di Lausanne, Swiss.
Mereka tak ubahnya seperti Hana Madness dengan kisah panjang masing-masing. Mereka menjadi bagian dari para penyintas gangguan mental yang bersinar di negeri orang.