Watu Pinawetengan, Demokrasi dan Toleransi ala Minahasa
›
Watu Pinawetengan, Demokrasi...
Iklan
Watu Pinawetengan, Demokrasi dan Toleransi ala Minahasa
Warga etnis Minahasa di Sulawesi Utara Minahasa merayakan Festival Watu Pinawetengan, Minggu (7/7/2019), untuk memeringati asal-usul sembilan sub-suku Minahasa. Melalui perayaan ini, warga Sulut dan Indonesia diingatkan untuk merawat semangat demokrasi serta toleransi, yaitu menjaga persatuan di tengah perbedaan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS – Warga etnis Minahasa di Sulawesi Utara Minahasa merayakan Festival Watu Pinawetengan, Minggu (7/7/2019), untuk memeringati asal-usul sembilan sub-suku Minahasa. Melalui perayaan ini, warga Sulut dan Indonesia diingatkan untuk merawat semangat demokrasi serta toleransi, yaitu menjaga persatuan di tengah perbedaan.
Festival Watu Pinawetengan dibuka di situs Watu Pinawetengan, Desa Pinabetengan, Tompaso Barat, Kabupaten Minahasa. Tahun ini adalah pergelaran yang ke-10 sejak 2007. Perayaan ini diprakarsai Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara Pa’dior yang didirikan Inspektur Jenderal (purnawirawan) Benny Mamoto.
Tahun ini, Festival Watu Pinawetengan bertemakan “Keberagaman adalah Kekayaan Bangsa”. Acara ini dihadiri pemerintah kabupaten dan provinsi, perkumpulan istri purnawirawan Polri dan TNI, budayawan, akademisi, dan warga.
“Tanggal 7 Juli dipilih menjadi waktu pelaksanaan karena upacara adat pertama (setelah batu ditemukan) diadakan pada 7 Juli 1888. Tema yang kami pilih setiap tahun berbeda, sesuai konteks kekinian,” kata Benny.
Setelah pembacaan doa dan sambutan, warga etnis Minahasa dari sub-etnis Bantik memeragakan kesenian mahambak, yaitu bernyanyi sambil berbaris dan berjalan melingkar.
Festival ini dibuka arak-arakan tari kabasaran di situs Watu Pinawetengan. Setelah pembacaan doa dan sambutan, warga etnis Minahasa dari sub-etnis Bantik memeragakan kesenian mahambak, yaitu bernyanyi sambil berbaris dan berjalan melingkar.
Situs Batu Pinawetengan merupakan batu besar berdimensi 4 meter x 2 meter dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Batu ini ditemukan misionaris Jerman Johann Riedel pada 1881. Di permukaannya, terdapat guratan-guratan yang tidak jelas bentuknya. Namun, beberapa di antaranya berbentuk manusia.
Watu Pinawetengan disebut sebagai tempat berunding para petinggi sembilan sub-etnis suku Minahasa untuk menyelesaikan pembagian wilayah tempat tinggal dan pembagian sumber ekonomi. Kesembilan suku tersebut adalah Totemboan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan Ratahan, Panosakan, Bantik, dan Babontehu.
“Batu ini mengandung nilai kearifan lokal Minahasa, yaitu demokrasi. Ketika menghadapi konflik, para nenek moyang Minahasa menyelesaikannya dengan berunding. Tapi, mereka menyatakan tetap mina’esa, artinya tetap menjadi satu,” kata Benny.
Ketika menghadapi konflik, para nenek moyang Minahasa menyelesaikannya dengan berunding. Tapi, mereka menyatakan tetap mina’esa, artinya tetap menjadi satu.
Acara dilanjutkan dengan pergelaran budaya sepanjang siang hingga matahari tenggelam. Kesenian sub-suku Bantik menjadi fokus utama, seperti mahambak bantik, tari kabasaran bantik, tari dan sebagainya.
Selain itu, diperagakan juga kesenian dari wilayah Minahasa lainnya, seperti tari maengket, musik tiup biak (kerang), seruling, tari katrili, serta pementasan kolintang. Ratusan pegiat seni budaya terlibat dalam pementasan ini.
Benny berharap, festival ini bisa memupuk persatuan bangsa. “Sekarang, ada upaya untuk mengotak-kotakkan bangsa, menjadi benar dan salah. Kondisi ini harus disikapi dan media yang paling efektif untuk merawat persatuan dan toleransi adalah budaya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Bantik (AMAB) Denny Sege mengatakan, keberlanjutan festival ini perlu terus dijaga. Sebab, Watu Pinawetengan mengajak kesembilan sub-etnis Minahasa untuk tidak lupa pada asal-usul serta kearifan lokalnya.
Di samping itu, ia berharap, Yayasan Pa’dior terus membantu setiap subetnis melestarikan bahasa masing-masing. “Bahasa masing-masing subetnis sudah terancam punah. Makanya, kami dari subetnis Bantik terus mencoba menyusun kamus bahasa daerah. Lewat festival ini, semoga bahasa daerah juga bisa dilestarikan,” kata Denny.
Belum jadi objek pariwisata
Festival ini juga menarik perhatian wisatawan maupun warga Minahasa dari daerah lain. Triyoga (27), misalnya, turut hadir di festival ini karena rasa penasarannya. “Tahun depan belum tentu masih ditempatkan di Sulut, makanya saya niat datang sendiri untuk melihat upacara adat dan festival,” kata pegawai Bank Indonesia Sulut itu.
Di sisi lain, banyak anggota komunitas subetnis yang hadir untuk berziarah dan mengadakan ritual sembari mengelilingi prasasti Watu Pinawetengan. Yosua (21) yang berasal dari subetnis Tombulu juga mengikuti ritual. “Saya setiap tahun ke sini untuk ikut ritual, supaya bisa menghormati nenek moyang,” katanya.
Meski begitu, pembukaan di sekitar situs Watu Pinawetengan belum menjadi sumber pemasukan bagi desa sekitar maupun daerah. Tidak ada tiket masuk bagi wisatawan. Warga pun tidak menyediakan layanan lain seperti berjualan makanan ringan.
Kepala Dinas Pariwisata Sulut Daniel Mewengkang mengatakan, Festival Watu Pinawetengan layak menjadi agenda sekaligus destinasi pariwisata Sulut. Saat ini, festival ini masih hanya menjadi salah satu agenda Dinas Kebudayaan Sulut.
“Dulu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan jadi satu, tapi beberapa tahun belakangan sudah pisah. Ini menjadi hambatan birokratis bagi kami untuk menjadikannya bagian dari satu destinasi pariwisata, apalagi ini event tahunan,” kata Daniel.
Menurut Daniel, mayoritas wisatawan mencari atraksi kebudayaan Sulut ketimbang pariwisata alam. Karena itu, destinasi seperti Festival Watu Pinawetengan harus menjadi perhatian dinas yang dipimpinnya.
“Jadi, ke depan saya akan bekerja sama dengan Pak Benny untuk mengembangkan ekosistem pariwisata festival ini agar memenuhi aspek akses, atraksi, dan amenitas,” katanya.