Agustinus Bajo dan Pondok Literasi di Pedalaman Sikka
Kondisi pendidikan anak-anak di Desa Bloro, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur yang terlantar membuka mata dan hati Agustinus Bajo. Dengan gigih, dia memperjuangkan pendidikan literasi untuk anak-anak usia dini hingga SMP. Di antara mereka kemudian bisa meraih nilai pelajaran dengan memuaskan.
Akhir 2016, setiap hari Bajo menyaksikan anak-anak di Desa Bloro, Kecamatan Nita Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) seperti tidak ada kegiatan. Setiap sore atau hari libur, mereka hanya mondar-mandir di desa, bermain sampai larut malam, bahkan sampai melakukan aksi-aksi yang tidak menyenangkan buat masyarakat. Padahal, mereka adalah calon pemimpin dan penerus pembangunan di desa dan Kabupaten Sikka.
Saya prihatin atas kondisi ini. Tetapi bagaimana caranya menolong mereka
“Saya prihatin atas kondisi ini. Tetapi bagaimana caranya menolong mereka. Saat itu saya melihat koran dan majalah bekas, hasil karya saya sebagai penulis lepas berserakan di meja tamu, kamar tidur dan kursi duduk, di dalam rumah. Saya kumpulkan koran dan majalah, yang saya kumpulkan. Jumlahnya mendekati 70-an eksemplar,” kata Bajo, di Maumere, Minggu (30/6/2019).
Ia pun merasa terpanggil untuk menolong anak-anak itu. Generasi muda harus dipersiapkan menghadapi perkembangan teknologi yang serba cepat saat ini di masa mendatang. Jika tidak, mereka akan mengalami nasib yang sama dengan para orangtua mereka saat ini.
Keprihatinan itu mendorong Bajo membangun Pondok Literasi (PL) Pang Bisa Ngaisiang yang artinya pondok pintar bijaksana untuk generasi muda. Menurut dia, pondok baca tidak perlu memiliki bangunan megah, tetapi yang lebih penting bisa memberikan pengetahuan lebih luas ke anak-anak.
Tak perlu waktu yang lama, Bajo segera merealisasikan rencana pendirian pondok literasi itu pada Februari 2017. Dia menata emperan rumah seluas 2 x 6 meter persegi di Desa Bloro. Di emperan rumah itu ditempatkan dua buah rak buku, dua meja belajar dan tiga bangku panjang. Persiapan ruangan itu dilakukan sendiri oleh Bajo. Dia mendapat bantuan dari anggota DPRD Sikka berupa dua unit lemari buku.
Kini, sekitar 68 anak usia PAUD, SD, dan SMP terlibat dalam berbagai kegiatan di pondok literasi tersebut. Biasanya, mereka mulai membaca dan belajar pada pukul 16.00 hingga pukul 20.00, di bawah pengawasan Bajo. Jika ia berhalangan, kesempatan membimbing dan mengarahkan anak-anak, itu diserahkan kepada istrinya, Theresia Hingi Lewar yang merupakan lulusan diploma dua PGSD.
Seiring berjalannya waktu, Bajo menambah bahan bacaan. Penulis lepas di berbagai koran dan majalah lokal ini tak segan-segan berjalan dari kantor-kantor dan sekolah untuk mendapatkan buku dan majalah bekas. Sebagian buku sudah kumal dan robek, tetapi masih bisa dibaca. Semua itu diletakkan bersamaan dengan bahan bacaan sebelumnya di emperan rumah. Jumlah keseluruhan bahan bacaan mencapai 100 eksemplar.
“Saya tidak berani mempekerjakan orang karena tidak ada uang membayar mereka, kecuali mereka mau mengabdi sukarela sore hari di PL. Tetapi tidak satu pun bersedia, meski ada lima orang lulusan FKIP menetap di desa dan belum bekerja,” kata Bajo yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Kementerian Agama Sikka.
Tantangan
Di pondok literasi, anak-anak yang datang tidak hanya membaca. Mereka belajar menulis dan berhitung. Bahan-bahan pelajaran di sekolah dipelajari secara kelompok. Pengelompokan berdasarkan jenjang pendidikan; PAUD, SD, dan SMP. Masing-masing unit pendidikan dipecah lagi sesuai tingkatan kelas. Beberapa orangtua ikut membantu untuk mendampingi anak-anak belajar, terutama untuk kelas PAUD.
Bajo bersama istri mengatur jadwal belajar anak-anak supaya semua kelas bisa kebagian tempat dan waktu. Jika ada pekerjaan rumah untuk kelas tertentu, jadwal belajar dikhususkan bagi kelas tersebut pada sore hari. Siswa lain tetap diberi kesempatan memanfaatkan pondok literasi itu untuk belajar.
Bajo selalu ingin mengetahui hasil-hasil ulangan anak-anak. Sebelum PL Pang Bisa Ngaisiang didirikan, nilai ulangan dan ujian siswa SD dan SMP tergolong tidak memuaskan, yakni antara 3-6. Tetapi dengan bimbingan di PL, nilai anak-anak terus menanjak. Bahkan, anak-anak yang sebelumnya mendapatkan nilai di bawah enam, menjadi lebih rajin dan akhirnya mencapai nilai memuaskan.
Matematika termasuk salah satu pelajaran yang paling ditakuti anak-anak. Tetapi sejak mendapat bimbingan di PL nilai mereka terus menanjak
“Matematika termasuk salah satu pelajaran yang paling ditakuti anak-anak. Tetapi sejak mendapat bimbingan di PL nilai mereka terus menanjak. Tidak hanya matematika, hampir semua mata pelajaran. Semangat belajar mereka tinggi. Jika tidak ada jadwal kegiatan di PL, pun mereka datang belajar sendiri,” katanya.
Namun, semua usaha Bajo untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak tak selamanya berjalan mulus. Saat pertama kali berdiri, emperan rumah yang dijadikan tempat belajar terkena rembesan air hujan, hingga sebagian besar buku basah. Untuk itulah, pada akhir tahun 2017, Bajo berjuang membangun ruangan belajar menjadi lebih layak dengan bahan bangunan kayu dan bambu. Bangunan ini berukuran 4 x 6 meter terletak disamping rumah tinggal. Buku-buku yang lusuh akibat rembesan air hujan ditata kembali kemudian dipajang di ruangan baru tersebut.
Bajo menghadapi masalah lain lagi. Buku-buku bacaan yang disediakan untuk anak-anak banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Padahal, menurut Bajo, bacaan anak-anak yang menarik bisa melatih daya nalar atau logika berpikir anak-anak.
Untuk itulah, dia mengajukan proposal ke salah satu yayasan literasi di Surabaya. Yayasan itu membantu 70 buku bacaan anak-anak berupa cerita rakyat dan majalah anak-anak yang sudah bekas. Selain itu, terdapat pula buku bacaan tentang riwayat hidup orang-orang sukses di berbagai bidang seperti para penemu, pengusaha, ilmuwan, dan ekonom.
Dengan semakin banyaknya buku-buku bacaan yang menarik, anak-anak pun semakin bergairah mendatangi pondok literasi. Mereka antusias membaca buku secara bergiliran. Bahkan, beberapa di antara mereka rela mengopi buku bacaan supaya bisa dibawa ke rumah atau sekolah.
Persoalan lain yang muncul adalah tidak mudah membangun pemahaman atas suatu isi suatu bacaan. Tidak hanya siswa SD, SMP, tetapi siswa SMA pun demikian, dalam hal memahami atau mencerna suatu isi bacaan.
Untuk mengatasi hal itu, Bajo tak mau diam saja. Ia meminta masing-masing anak menyiapkan satu buku tulis khusus untuk menulis setiap buku yang telah dibaca. Ada yang terkesan mencatat kembali sebagian isi bacaan, tetapi ada pula yang mulai mencerna isi bacaan dan coba menuangkan dengan bahasa sendiri. Namun, dengan cara itu, sedikit demi sedikit, mereka mulai memahami apa yang sudah dibaca.
Bajo merasa puas. Sebanyak sepuluh siswa binaan dia sudah lulus SD dan SMP dengan nilai yang memuaskan. Bahkan, ada di antara mereka yang lulus ujian nasional dengan nilai terbaik tingkat kabupaten.
“Ke depan saya ingin membeli laptop, membangun jaringan internet, dan televisi kabel. Ini memang butuh uang. Saya menyisihkan gaji saya sebagai PNS untuk usaha ini, mungkin butuh 2-5 tahun lagi,” harap Bajo.
Agustinus Bajo
Lahir : Nita, Kabupaten Sikka 29 April 1970
Pendidikan Terakhir : S2 Theologi STFK Ledalero, Maumere
Istri : Theresia Hingi Lewar
Anak : Rio (19), Johan (17), Feby (10)
Pekerjaan : PNS Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sikka