Bantaran Kanal Barat, Jati Pulo, Jakarta Barat, sulit bersih dari gubuk liar dan lapak pemulung. Pemilik gubuk dan pemulung enggan pindah karena tidak memiliki kejelasan tempat tinggal. Upaya penertiban oleh satpol PP pun terkesan sia-sia.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY/NIKOLAUS HARBOWO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bantaran Kanal Barat, Jati Pulo, Jakarta Barat, sulit bersih dari gubuk liar dan lapak pemulung. Pemilik gubuk dan pemulung enggan pindah karena tidak memiliki kejelasan tempat tinggal. Upaya penertiban oleh satuan polisi pamong praja pun terkesan sia-sia.
Berdasarkan pantauan Kompas, Senin (8/7/2019), gubuk liar dan lapak pemulung telah berdiri lagi di bantaran Kanal Barat. Gubuk liar dan lapak itu juga memenuhi sepanjang Jalan Bakti yang berbatasan langsung dengan lintasan kereta Tanah Abang ke Duri dan sebaliknya. Pemulung mendirikan gubuk menggunakan terpal, karung, ataupun kardus. Adapun botol, plastik, dan kardus hasil pulungan juga memenuhi sekitar gubuk.
Samyono (65) mengaku telah tinggal di bantaran Kanal Barat sejak tiga tahun terakhir. Dia tidur di lapak sederhana dengan kasur kecil lusuh serta sebuah lemari pakaian. Lapaknya tepat terletak di bawah jembatan Jalan Tomang Raya.
”Saya tidak ingin merepotkan anak. Saban hari anak datang menengok ke sini untuk mengantar makan dan minum,” ucap pria asal Semarang, Jawa Tengah, ini.
Untuk urusan mandi, cuci, dan kakus, dia menggunakan aliran sungai yang berjarak 5 meter dari lapaknya. Samyono menuturkan, petugas kelurahan dan satpol PP beberapa kali mengecek gubuk dan lapak di situ. Petugas ingin memastikan area tersebut tidak kotor serta bebas dari bangunan semipermanen.
”Tempatnya kok kotor? Mau barangnya diangkut?” ujarnya, menirukan pertanyaan petugas.
Ia tak mempermasalahkan jika kelak dirinya harus ditertibkan. Bagi Samyono, masih ada lokasi lain yang bisa ditinggali.
Enggan ditertibkan
Pemulung asal Purwodadi, Jawa Tengah, Yanto (33), yang mendirikan lapak di Jalan Bakti, mengungkapkan, alasan dirinya tinggal di sana karena tak menemukan lagi tempat untuk berteduh dan beristirahat.
Yanto bercerita, satpol PP sejak Sabtu, 6 Juli, datang mengimbau untuk membongkar gubuk dan lapaknya. Namun, setelah petugas pergi, dia kembali mendirikan gubuk dan lapak lagi.
”Kami kucing-kucingan dengan satpol PP. Saat mereka datang, kami ngumpet atau pergi. Kalau mereka sudah pergi, ya, kami datang lagi,” ucap Yanto, yang telah tinggal di situ selama setahun terakhir.
Yanto enggan pindah karena tidak ingin memulai kehidupan dari nol. Harga sewa indekos pun disebut terlalu mahal bagi pemulung seperti dirinya. Oleh karena itu, dia memutuskan tetap bertahan meskipun ada teguran dari pihak kelurahan dan satpol PP.
Secara terpisah, Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin menuturkan, upaya penertiban terus dilakukan untuk membongkar lapak dan gubuk liar di sekitaran bantaran kali. Namun, lanjutnya, para pemulung itu selalu mencari celah untuk tetap mendirikan lapak atau gubuk liar.
”Beberapa sudah dilakukan penertiban. Akan terus ditertibkan,” ujar Arifin.