Segera Bentuk Badan Pengelola Cagar Budaya Ombilin
Tambang batubara Ombilin di Sawahlunto telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Kawasan yang dibangun pada 1891 ini hendaknya dijadikan sebagai tempat pendidikan sekaligus sumber pendapatan.
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat sebagai cagar warisan budaya oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO harus segera ditindaklanjuti dengan membentuk badan pengelola khusus. Status warisan budaya tidak bisa dikelola seperti obyek pariwisata pada umumnya.
Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) dikukuhkan sebagai cagar budaya dunia pada Pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO di Baku, Azerbaijan pada Sabtu (6/7/2019) waktu setempat. Dengan penetapan ini, tambang batubara Ombilin resmi menjadi warisan budaya dunia ke-5 milik Indonesia. Empat warisan budaya lainnya adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, Subak, dan situs Sangiran.
Tambang batubara Ombilin memiliki keunikan sehingga layak ditetapkan sebagai warisan dunia UNESCO. Keunikan tambang batubara Ombilin terletak pada pertukaran informasi dan teknologi lokal dengan teknologi Eropa terkait eksplotasi batubara di masa akhir abad ke-19 sampai dengan masa awal abad ke-20 di dunia, khususnya di Asia Tenggara.
Keunikan lain dari peninggalan bersejarah ini tampak pada kombinasi teknologi dalam suatu lanskap kota pertambangan yang dirancang untuk efisien sejak tahap ekstraksi batubara, pengolahan, dan transportasi. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam organisasi perusahaan, pembagian pekerja, sekolah pertambangan, dan penataan kota pertambangan yang dihuni oleh sekitar 7.000 penduduk.
Baca juga: Tujuh Tahun Menanti, Tambang Batubara Ombilin Akhirnya Diakui Dunia
Sebagaimana empat warisan budaya lainnya yang telah memiliki badan pengelola masing-masing, badan pengelola WTBOS pun hendaknya segera dibentuk.
"Badan pengelola terdiri dari perwakilan negara, provinsi, kabupaten/kota, akademisi atau pakar, dan pihak swasta. Mereka memastikan pengelolaan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto sesuai dengan standar yang diberikan oleh Unesco serta dari pihak pemerintah pusat dan daerah berkomitmen mengalokasikan anggaran pelestarian," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid di Jakarta, Minggu (7/7/2019).
Menurut Hilmar metode perlindungan paling efektif adalah dengan memanfaat cagar budaya tersebut sebagai tempat pendidikan sekaligus sumber pendapatan. Akan tetapi, sistemnya harus disusun dengan sangat hati-hati karena status warisan dunia sangat sensitif.
Metode perlindungan paling efektif adalah dengan memanfaat cagar budaya tersebut sebagai tempat pendidikan sekaligus sumber pendapatan
Cagar tersebut tidak boleh terlalu komersial sehingga berisiko merusak peninggalan bersejarah maupun alamnya. Candi Borobudur contohnya, sempat terancam dicabut status warisan dunianya oleh Unesco karena pemerintah setempat berencana membangun pusat perbelanjaan Jagad Jawa. Ditambah pula tidak tertibnya para pedagang di sekitar candi. Pemerintah provinsi Jawa Tengah akhirnya mengurungkan niat membangun pusat perbelanjaan dan menertibkan para pedagang asongan. (Kompas, 29 Oktober 2004)
"Demikian pula dengan Ombilin. Selain di wilayah tambangnya, pemerintah kota Sawahlunto dan wilayah sekitar harus hati-hati betul ketika hendak membangun infrastruktur atau membuka lahan untuk kepentingan industri, perumahan, transportasi, dan bisnis. Pastikan prosedurnya memerhatikan kaidah pelestarian," ujar Hilmar.
Ia mengungkapkan, PT Bukit Asam selaku pemilik wilayah pertambangan sudah berkomitmen untuk tidak melakukan ekspansi wilayah galian. Selain itu, dengan status warisan dunia ini diharapkan berbagai kegiatan pertambangan ilegal bisa didisiplinkan dan pemerintah daerah bekerja sama sektor swasta bisa mengembangkan model usaha rakyat yang tidak mengganggu keberadaan cagar. Koordinasi antarwilayah dan antar pihak harus segera dibuat.
Kampanye pelestarian budaya, termasuk melalui sekolah juga dilakukan. Salah satunya adalah muatan lokal pemelajaran budaya. Melalui cara itu masyarakat tidak terasingkan dari cagar budaya. Mereka turut merawat karena menganggap cagar tersebut bagian dari identitasnya.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, mengatakan, selain diplomasi budaya, keberadaan cagar budaya harus bisa meningkatkan harkat dan derajat penduduk lokal. Jangan sampai mereka terasing akibat status warisan dunia itu.
Keberadaan cagar budaya harus bisa meningkatkan harkat dan derajat penduduk lokal. Jangan sampai mereka terasing akibat status warisan dunia itu
Mega proyek
Ketua Program Magister Arsitektur Universitas Bung Hatta, Jonny Wongso yang merupakan salah satu penyusun naskah akademik WTBOS menjelaskan, tambang tersebut dibangun pada tahun 1891 sebagai megaproyek pemerintah kolonial Belanda yang pertama di seluruh wilayah jajahannya.
"Disebut megaproyek karena Belanda tidak hanya membangun tambang dan kota Sawahlunto, tetapi seluruh sistem sosial, politik, dan ekonomi berbasis tambang," tuturnya.
Pembangunan mencakup teknologi pertambangan, pengairan, pembuangan limbah, tata kota, dan transportasi logistik. Jalur yang dilewati transportasi logistik batubara sepanjang 155 kilometer mulai dari Sawahlunto, Solok, Tanah Datar, Padang Panjang, Pariaman, dan Padang. Bermula dari Sungai Ombilin dan berakhir di Pelabuhan Teluk Bayur.
Dari segi arsitektur, Sawahlunto dirancang khusus sebagai kota pertambangan dengan pembagian wilayah yang jelas untuk pusat pemerintahan dan bisnis, perumahan pekerja tambang, dan pusat kesehatan. Peninggalan-peninggalan tersebut masih terawat dengan baik. Bahkan, pompa airnya masih berfungsi.
"Kebudayaan kotanya juga majemuk karena pekerja tambang didatangkan dari berbagai wilayah di Hindia-Belanda. Mereka membentuk kebudayaan amalgamasi dengan budaya Minangkabau," ujar Jonny.