Cori Gauff menjadi fenomena di Grand Slam Wimbledon 2019, 1-14 Juli, setidaknya hingga pekan pertama berakhir. Coco, panggilannya, bagai meteor yang mengguncang dunia.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Petenis remaja Amerika Serikat berusia 15 tahun, Cori Gauff, menjadi pembicaraan dunia dengan penampilannya yang memukau di turnamen tenis Wimbledon. Dia diharapkan menjadi generasi penerus dinasti Williams, petenis Afrika-Amerika yang mendominasi dunia tenis putri sejak akhir 1990-an.
Sejak Serena Williams meraih gelar pertama dari Grand Slam AS Terbuka 1999, hanya Sloane Stephens petenis Afrika-Amerika yang menjadi juara Grand Slam pada AS Terbuka 2017.
Adapun pada tiga Grand Slam lainnya, termasuk Wimbledon, hanya ada nama Serena (37) dan Venus Williams (38) dalam daftar juara. Total, keduanya mengumpulkan 30 gelar juara tunggal putri dari empat Grand Slam.
Di tunggal putra, prestasi petenis Afrika-Amerika, bahkan, lebih ”kering”. Hanya Arthur Ashe yang melakukannya, pada AS Terbuka 1968, Australia Terbuka 1970, dan Wimbledon 1975.
Tulisan kolom The Telegraph menyebut, minimnya kehadiran atlet Afrika-Amerika di dunia tenis merefleksikan kondisi ekonomi golongan tersebut secara umum. Apalagi, tenis termasuk olahraga mahal. Di Amerika Serikat, mereka yang bermain tenis adalah orang kaya yang bermain di klub eksklusif.
Tantangan itu dijawab oleh Richard Williams dengan melahirkan putrinya, Venus dan Serena, menjadi petenis top dunia. Venus dan Serena kecil dilatih Richard di lapangan basket umum di Los Angeles.
Namun, apa yang dilakukan keluarga Williams tak cukup menarik perhatian keluarga Afrika-Amerika untuk menjadikan anak-anak mereka menjadi petenis, hingga akhirnya dunia melihat Coco di All England Club, London, Inggris, sepekan terakhir.
Coco membuat sejarah ketika mendapat wild card untuk tampil pada babak kualifikasi. Petenis kelahiran Atlanta, Georgia, AS, 13 Maret 2004, itu menjadi peserta termuda Wimbledon sejak era Terbuka yang dimulai pada 1968.
Coco mendapat kepastian tampil di Wimbledon pada menit terakhir. Dia dan ayahnya, Corey, tengah berada dalam kereta menuju akademi tenis milik pelatih Serena Williams, Patrick Mouratoglou, di Perancis, saat panitia mengabarkan Coco dapat wild card.
Mereka pun kembali ke Florida, kediaman keluarga Gauff sejak Coco berusia tujuh tahun, lalu terbang ke London. Saat mendapat kabar dari panitia, Coco tengah membeli baju secara online.
Corey membawa keluarganya pindah ke Florida, dan menjual rumah di Atlanta, untuk mewujudkan impian Coco menjadi petenis profesional. Di Florida, keinginan Coco terakomodasi banyaknya akademi tenis dan kejuaraan. Salah satu tempat latihan Coco dan ayahnya adalah kompleks lapangan yang juga digunakan Venus dan Serena.
Corey, atlet basket saat kuliah di Georgia State University, melakukan itu karena terinspirasi Richard. Fakta bahwa tak banyak anak Afrika-Amerika yang menjadi petenis profesional membuatnya mendukung cita-cita Coco.
Konsentrasi penuh
Menurut Corey, anak pertamanya itu punya kelebihan bisa berkonsentrasi penuh selama 15-20 menit, yang tak biasa dilakukan anak kecil. Sly Black, pelatih pertama Coco di Florida hingga 2015, menilai, Coco memiliki kekuatan mental melebihi usianya. Dia pun bisa menjuarai turnamen meski menjadi peserta termuda.
Pada 2012, Coco menjuarai ”Little Mo”, kejuaraan nasional petenis usia delapan tahun ke bawah (U-8). Dalam usia 10 tahun 3 bulan, dia menjuarai kejuaraan nasional tenis tanah liat U-12. Puncak prestasinya dalam level ini adalah menjadi juara yunior Perancis Terbuka 2018 sebagai peserta termuda.
Penampilan fenomenalnya dalam debut pada babak utama Wimbledon dimulai dengan menaklukkan Venus pada babak pertama. Dia pun mendapat ucapan selamat dari para pesohor seperti LeBron James, Billie Jean King, hingga Michelle Obama.
Tiket ke babak keempat diperoleh melalui penampilan heroik saat mengalahkan Polona Hercog. Coco menggagalkan dua match point Hercog, pada skor 2-5 set kedua, dan menang, 3-6, 7-6 (9-7), 7-5.
Saking tegang, ibunda Coco, Candi, tak melihat penampilan putrinya saat tie break set kedua. Dia memilih berdoa sambil menundukkan kepala. Ekspresi Candi dengan meloncat, menari, dan menepuk-nepuk dada, seperti yang dilakukan Coco setelah memenangi set kedua, mendapat perhatian penonton dan media.
Candi selalu mengingatkan agar putrinya itu selalu berjuang meski dalam kondisi tertinggal. Candi berbagi tanggung jawab dengan Corey dalam mendampingi Coco. Corey bertanggung jawab terhadap semua hal teknis terkait tenis.
Candi tetap berperan sebagai ibu yang ingin melihat anaknya berhasil. Termasuk menjadi guru, karena Coco bersekolah di rumah. Saat kualifikasi Wimbledon misalnya, Candi membimbing Coco untuk belajar dan menjalankan tes ilmu pengetahuan alam.
Selain dukungan orang tua, keberhasilan Coco di Wimbledon--dia akan berhadapan dengan Simona Halep pada babak keempat, Senin—adalah kerja keras sejak latihan hingga pertandingan. Neneknya, Yvonne Odom, bercerita, Coco adalah anak yang selalu disiplin dalam berlatih, istirahat, dan mengatur makan tanpa diminta.
Namun, Coco tetap remaja yang punya dunianya sendiri. Dia adalah penggemar Beyonce dan Jayden Smith, penyanyi rap putra aktor Will Smith. ”Ini di luar topik. Jangan lupa ya nonton ERYS dari Jayden Smith,” ujar Coco jelang konferensi pers usai babak ketiga, yang dihadiri banyak wartawan paruh baya.