Harapan Baru untuk Melawan HIV
Infeksi virus HIV telah menjadi momok yang menakutkan sejak mewabah secara global pada tahun 1980-an. Serangan virus yang menggerogoti kekebalan tubuh dan membuat penderitanya gampang terserang berbagai infeksi mematikan sejauh ini dianggap belum bisa disembuhkan. Namun, riset terbaru kolaborasi sejumlah ilmuwan dunia memberikan harapan baru.
Virus imunodifisiensi manusia atau human immunodeficiency virus (HIV) ini awalnya hanya menginfeksi simpanse dan gorila serta dikenal sebagai simian immunodeficiency viruses (SIV). Namun, sekitar tahun 1920 dilaporkan adanya kasus zoonosi atau penyeberangan virus ini ke manusia di Kinshasa, Kongo. Hingga pada pertengahan 1970-an mulai muncul kasus orang dengan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) karena terpapar HIV di berbagai belahan dunia.
Pada tahun 1980-an, 100.000-300.000 orang dilaporkan terinfeksi virus ini di Afrika, Amerika, Amerika Selatan, Eropa, dan Australia (JM Mann 1989). Kini, penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, berbagi jarum suntik, produk darah dan organ tubuh, serta dari ibu hamil yang positif dengan HIV dapat menularkan kepada bayinya ini telah menjadi ancaman global. Tak ada lagi negara yang terbebas dari infeksi virus ini.
Di Indonesia, kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 dan menjadi negara ke-13 di Asia yang dinyatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terinfeksi penyakit ini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga Desember 2017 HIV-AIDS ditemukan di 421 dari 514 kabupaten/kota dengan peningkatan jumlah kasus tiap tahun.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga Desember 2017 HIV-AIDS ditemukan di 421 dari 514 kabupaten/kota dengan peningkatan jumlah kasus tiap tahun.
Pada akhir 2017, jumlah infeksi HIV yang dilaporkan di Indonesia mencapai 280.623 kasus, sebanyak 102.667 orang di antaranya positif AIDS. Jakarta memiliki kasus infeksi tertinggi disusul Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sementara kasus AIDS paling tinggi ditemukan di Papua, disusul Jawa Timur, Jakarta, Jawa Tengah, Bali, dan Jawa Barat.
Di antara berbagai penyakit mematikan yang ada, infeksi HIV-AIDS termasuk menjadi perhatian utama karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah penderita di seluruh dunia. Apalagi, hingga sekarang belum ditemukan adanya vaksin atau obat yang efektif sebagai pencegahan penyakit ini.
Selama ini pengobatan HIV lebih fokus pada penggunaan terapi antiretroviral (ART) yang bertujuan menekan replikasi HIV, tetapi tidak menghilangkan virusnya dari tubuh. Oleh karena itu, ART bukan obat untuk HIV, dan menuntut penggunaan seumur hidup. Jika ART dihentikan, populasi HIV di tubuh penderita meningkat kembali dan bisa memicu perkembangan lanjut AIDS.
Selama ini pengobatan HIV lebih fokus pada penggunaan terapi antiretroviral (ART) yang bertujuan menekan replikasi HIV, tetapi tidak menghilangkan virusnya dari tubuh.
Salah satu kerumitan untuk mengatasi infeksi ini karena HIV memiliki kemampuan menyusupkan DNA-nya ke dalam genom sel-sel sistem kekebalan tubuh inang atau dalam hal ini manusia sehingga berada di luar jangkauan obat-obatan antiretroviral.
Langkah maju
Baru-baru ini, para peneliti untuk pertama kali mengklaim berhasil menghilangkan komponen replikasi DNA HIV-1 dari genom makhluk hidup. HIV-1 merupakan varian dari virus ini yang paling banyak menginfeksi manusia secara global sehingga hasil penelitian ini dianggap menandai langkah penting menuju kemungkinan penyembuhan infeksi HIV pada manusia.
Kemajuan penting ini merupakan hasil dari kajian kolaboratif para peneliti dari Sekolah Kedokteran Universitas Temple L dan Pusat Kedokteran Universitas Nebraska (UNMC). Hasil kajian dipublikasikan di jurnal Nature Communication pada 2 Juli 2019.
”Penelitian kami menunjukkan bahwa pengobatan untuk menekan replikasi HIV dan terapi pengeditan gen, apabila diberikan secara berurutan, dapat menghilangkan HIV dari sel dan organ hewan yang terinfeksi,” kata Kamel Khalili, Direktur Pusat Neurovirologi, dan Direktur Pusat NeuroAIDS Komprehensif di Sekolah Kedokteran Lewis Katz di Universitas Temple, yang terlibat dalam penelitian ini, seperti dirilis dalam laman kampus.
Penelitian kami menunjukkan bahwa pengobatan untuk menekan replikasi HIV dan terapi pengeditan gen, apabila diberikan secara berurutan, dapat menghilangkan HIV dari sel dan organ hewan yang terinfeksi.
Howard Gendelman, Ketua Departemen Farmakologi dan Ilmu Saraf Eksperimental dan Direktur Pusat Penyakit Neurodegeneratif di UNMC, yang juga terlibat kajian ini mengatakan, ”Pencapaian ini tidak mungkin terjadi tanpa upaya tim yang luar biasa yang mencakup ahli virologi, imunolog, ahli biologi molekuler, ahli farmakologi, dan ahli farmasi.”
Dalam penelitian sebelumnya, tim Khalili menggunakan teknologi CRISPR-Cas9 atau penyuntingan DNA untuk memberikan terapi gen yang bertujuan menghilangkan DNA HIV dari genom yang menyimpan virus. Eksperimen pada tikus menunjukkan bahwa sistem penyuntingan gen secara efektif dapat memotong sebagian besar DNA HIV dari sel yang terinfeksi. Namun, mirip dengan pemberian ART, pengeditan gen tidak dapat sepenuhnya menghilangkan HIV.
Dalam penelitian terbaru, Khalili dan tim menggabungkan sistem penyuntingan gen dengan strategi terapeutik yang baru-baru ini dikembangkan yang dikenal sebagai ART pelepasan lambat efektif jangka panjang atau (long-acting slow-effective release/LASER). LASER ART dikembangkan bersama Gendelman dan Benson Edagwa, ahli farmakologi di UNMC.
LASER ART menargetkan tempat perlindungan virus dan menekan replikasi HIV agar tetap rendah untuk jangka waktu yang lama sehingga bisa mengurangi frekuensi pemberian ART. Obat yang dimodifikasi itu dikemas menjadi nanocrystals, yang siap didistribusikan ke jaringan di mana HIV cenderung tertidur. Dari sana, nanocrystals disimpan dalam sel selama berminggu-minggu dan perlahan-lahan melepaskan obat.
”Kami ingin melihat apakah LASER ART dapat menekan replikasi HIV cukup lama untuk CRISPR-Cas9 untuk sepenuhnya menghilangkan sel-sel DNA virus,” kata Khalili.
Untuk menguji ide mereka, para peneliti menggunakan tikus yang direkayasa untuk menghasilkan sel T manusia yang rentan terhadap infeksi HIV, memungkinkan infeksi virus jangka panjang dan latensi yang disebabkan ART. Setelah infeksi terjadi, tikus diobati dengan ART LASER dan kemudian dengan CRISPR-Cas9. Pada akhir masa pengobatan, tikus diperiksa kandungan virusnya. Hasilnya, penghilangan total DNA HIV terjadi pada sepertiga tikus percobaan.
”Kami sekarang memiliki jalur yang jelas untuk bergerak maju ke uji coba pada primata non-manusia dan mungkin uji klinis pada pasien manusia dalam tahun ini,” sebut Khalili.
Sekalipun sudah ada titik terang, masih dibutuhkan upaya panjang hingga pengobatan ini bisa diterapkan pada manusia. Oleh karena itu, upaya pencegahan agar tidak terifeksi HIV, di antaranya melalui hubungan seksual yang aman, dianggap menjadi solusi terbaik.