Lahan Sempit Bukan Halangan
Tinggal di kota dengan lahan pertanian sempit tak jadi halangan bagi warga Kota Surabaya untuk bercocok tanam. Mereka kreatif memanfaatkan ruang kosong untuk menghijaukan halaman.
Di ruang-ruang kosong di pekarangan, warga menanam beragam sayur, buah, obat, dan tanaman hias. Misalnya, di Perumahan Wisma Kedung Asem Indah, Kecamatan Rungkut, Surabaya. Menyusuri wilayah itu seperti masuk kebun buah naga. Di sepanjang jalan selebar 5 meter, ratusan tanaman buah naga berjajar di pinggir jalan. Buah berwarna merah itu menjadi etalase rumah warga.
Ditanam di pot berdiameter 60 sentimeter, tanaman itu diletakkan di tepi jalan perumahan karena warga umumnya tidak memiliki kebun. ”Setiap rumah punya minimal tiga pot tanaman buah naga,” kata Ketua RW 005 Kedung Asem Indah Didik Edy Susilo (60), Rabu (3/7/2019), di Surabaya, Jawa Timur.
Warga mulai menanam buah naga sejak Juli 2016. Saat itu, warga secara swadaya menanam 100 pot buah naga di lahan kosong sekitar balai RW. Biaya penanaman sekitar Rp 150.000 per pot. Tiga tahun berselang, jumlah tanaman buah naga meningkat jadi lebih dari 400 pot karena makin banyak warga yang ikut program.
Kampung buah naga
Buah naga yang ditanam menjadi ikon bagi warga kampung tersebut. ”Kampung kami disebut Bunakem, akronim dari buah naga Kedung Asem. Nantinya kampung ini akan dijadikan kampung wisata buah naga di Surabaya,” ujar Didik.
Pertanian buah naga di kampungnya, kata Didik, merupakan bentuk kepedulian warga untuk mempercantik lingkungan. Buah naga juga memiliki nilai ekonomi karena warga tidak perlu membeli buah di pasar atau swalayan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
Dalam setahun, warga bisa dua kali memanen buah naga. Satu pot biasanya ada 10 buah. Warga Surabaya juga menanami lahan kosong di perumahan mereka dengan sayuran dan tanaman obat. Di Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Kecamatan Gunung Anyar, warga membudidayakan aneka sayuran menggunakan teknik hidroponik.
”Hampir setiap dua pekan sekali panen. Hasilnya dimasak sendiri atau dijual, uangnya disumbangkan ke masjid,” kata Nurul Rosana (48), warga RW 003, Kelurahan Gunung Anyar Tambak. Setiap hari, Nurul merawat tanaman hidroponik yang diletakkan di lantai dua rumahnya. Tidak ada lagi lahan kosong di rumahnya yang berukuran 90 meter persegi.
Sementara itu, warga Margorejo Sawah menanam sayur kangkung dan sawi dengan teknik hidroponik. Selain di rumah masing-masing, warga di Kedung Asem Indah dan Margorejo Sawah juga menanam di green house milik bersama. Mereka membagi tim yang bertugas merawat tanaman secara bergantian.
Tanaman itu merupakan bantuan dari program pertanian perkotaan dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya. Selain green house, Pemkot Surabaya juga memfasilitasi pertanian perkotaan dengan membagikan bibit tanaman gratis dan program rumah kompos.
Ketahanan pangan
Tak hanya di lingkungan perkampungan, di wilayah Surabaya Barat yang masih ada lahan pertanian, warga bertanam padi dan sayuran. Seperti di Kecamatan Lakarsantri, sekitar 80 persen warga atau 622 warga dari delapan kelompok tani bertanam cabai di lahan seluas 457 hektar.
Ketua Kelompok Tani Sumur Welut Makmur di Kelurahan Sumur Welut, Heri, mengatakan, petani bisa memanen cabai hingga 14 kali dalam satu tahun. Produktivitas cabai 2,5 ton per hektar. ”Cabai merah bisa empat hari sekali dipanen, kalau cabai rawit enam hari sekali. Jika harga cabai naik, lima hari sudah dipetik,” katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, Pemkot Surabaya terus mendukung upaya ketahanan pangan warganya. Salah satu cara mendorong warga agar gemar menanam sayur, sejak 2016, Risma mengembangkan tanaman hidroponik di teras Balai Kota Surabaya. Bahkan, Risma sempat memanen padi yang ditanam di atap gedung balai kota. ”Ini untuk memberikan contoh bagi warga agar terlibat upaya ketahanan pangan dengan memanfaatkan lahan sempit,” ujarnya.
Warga juga diberi kemudahan mendapatkan bibit tanaman di arena Gelar Produk Pertanian yang digelar setiap bulan di Taman Surya. ”Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, warga juga ikut meminimalkan pemanasan global,” ucap Risma.
Pada Gelar Produk Pertanian, warga bisa belanja berbagai macam produk pertanian perkotaan, mulai dari buah-buahan, sayuran, tanaman hias, sampai beragam bibit tanaman. Warga juga bisa belajar cara bertanam di lahan sempit. Bagi petani, acara itu sekaligus untuk membantu memasarkan produk mereka.
Menurut Risma yang juga Presiden Asosiasi Pemerintah Daerah Se-Asia Pasifik (UCLG Aspac), pertanian perkotaan menjadi penting karena selain bisa menghijaukan area perkampungan, warga bisa mengurangi ketergantungan pada orang lain. Pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga bisa dikurangi sehingga anggaran bisa dialihkan untuk hal lain.
”Kalau harga komoditas pertanian naik, warga tidak terkena dampak,” katanya. Menghijaukan lingkungan rumah sudah digerakkan di Kota Surabaya sejak 2005 ketika Risma menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Banyak gerakan dan aksi dengan menggugah keterlibatan warga untuk peduli lingkungan agar lebih sehat dan asri.