Mahkamah Agung Minta Presiden Berkoordinasi dengan DPR
›
Mahkamah Agung Minta Presiden ...
Iklan
Mahkamah Agung Minta Presiden Berkoordinasi dengan DPR
Mahkamah Agung menyarankan agar Presiden mempertimbangkan pendapat DPR sebelum memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, mantan tenaga honorer di SM! Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi korban pelecehan seksual. Saran ini sesuai dengan perintah Undang-Undang Dasar 1945. DPR menyatakan akan mendukung amnesti Baiq.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung tetap pada pendiriannya menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan Baiq Nuril. Mahkamah Agung menyarankan agar Presiden Joko Widodo mempertimbangkan pendapat DPR sebelum memberikan amnesti kepada mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu.
Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro memahami reaksi masyarakat setelah MA menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril. Sebelumnya, MA juga menolak kasasi Baiq Nuril yang didakwa melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait penyebaran rekaman telepon mesum atasannya. Nuril tetap dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Atas putusan itu, Nuril mengajukan PK ke MA, tetapi kandas.
Andi menyebutkan, MA menghormati keputusan Baiq untuk mengajukan amnesti kepada Presiden. Kendati demikian, lanjutnya, Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan MA.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik menyatakan, Komisi III sedang menunggu surat dari Presiden. Ia mengatakan, bola kasus ini tinggal di Presiden. ”Kalau surat sudah masuk, saya yakin fraksi akan bersepakat mendukung,” ujarnya, Senin (8/7/2019).
Dalam konferensi pers MA, Andi kembali menekankan wewenang MA. Menurut dia, MA tidak lagi mengutak-atik fakta persidangan, sebagaimana yang masih dimungkinkan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Dalam tingkat kasasi, lanjutnya, MA bertugas menilai tepat atau tidaknya penetapan hukum.
Di tingkat kasasi, katanya, majelis hakim menilai Baiq sudah memenuhi unsur pidana dalam UU ITE. Tidak puas dengan keputusan ini, Baiq mengajukan permohonan PK dengan alasan, putusan kasasi mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
”Oleh majelis hakim peninjauan kembali, setelah dipelajari dengan saksama, berpendapat bahwa alasan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata itu tidak terbukti. Putusan kasasi itu sudah benar,” katanya.
Andi juga menyikapi pendapat Ombudsman yang menilai MA telah melanggar produk hukumnya sendiri, yakni Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Menurut Andi, Pasal I aturan itu dengan tegas menyatakan bahwa perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak. Sementara dalam kasus Baiq, ia berstatus terdakwa.