Bertahun-tahun, Agus Lahinta melihat kerajinan tangan sulam tradisional karawo “terkurung” dalam daerahnya sendiri, Gorontalo. Padahal, sulaman yang dibuat dengan irisan itu memiliki keunikan dibandingkan teknik sulaman lainnya. Berkolaborasi dengan perajin, Agus pun mengantar sulam karawo ke panggung dunia.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
Bertahun-tahun, Agus Lahinta melihat kerajinan tangan sulam tradisional karawo “terkurung” dalam daerahnya sendiri, Gorontalo. Padahal, sulaman yang dibuat dengan irisan itu memiliki keunikan dibandingkan teknik sulaman lainnya. Berkolaborasi dengan perajin, Agus pun mengantar sulam karawo ke panggung dunia.
“Ini adalah perisai kemakmuran,” ucap Agus sembari menunjuk motif sulaman karawo di bagian depan kemejanya.
Motif tersebut serupa perisai berbentuk segitiga terbalik. Selain garis-garis yang membentuk diagram, perisai itu juga dikelilingi malai padi sebagai lambang kemakmuran. Sulaman dengan perpaduan warna perak dan biru terang itu tampak menyala di atas latar kemeja biru tua.
Karya desainer asal Gorontalo itu ditunjukkan kepada Kompas di sela-sela Pameran Pesona Wastra Sulam dan Bordir Indonesia di Museum Tekstil, Jakarta, Kamis, akhir Juni lalu. Gaun biru dengan sulaman karawo yang dipamerkan pada Indonesia Fashion Week (IFW) 2019 juga turut dipajang. Manik-manik permata emas dan perak bersatu padu dengan sulaman karawo. Terlihat lebih mewah.
IFW hanyalah satu dari sekian pameran yang Agus ikuti baik di dalam maupun luar negeri. Pada 2017, ia membawa kain karawo dalam Couture Fashion Week New York. Tahun selanjutnya, anak petani padi ini kembali memamerkan karyanya dalam sebuah pameran di New York. Agus juga turut meramaikan Annual Meeting IMF di Bali tahun lalu.
Akan tetapi, seperti membuat sulam karawo, perjalanan Agus tidak instan. Apalagi, Agus tidak memiliki garis keturunan perajin karawo. Profesinya adalah dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo.
“Awalnya, saya lihat kain karawo bertahun-tahun. Tetapi, kayaknya susah banget keluar Gorontalo. Ada apa? Ternyata, jarang yang membuat sulam karawo secara eksklusif,” ujar pria berkaca mata itu. Ketika itu, lanjutnya, sulam karawo didominasi garis lurus dan motif yang itu-itu saja, seperti motif jagung, produk khas Gotontalo.
Pada 2014, ia lalu mencari perajin di daerah Telaga, pusat karawo di Gorontalo. Dari sekian banya perajin, Agus memilih 10 orang. Katanya, mereka sudah satu visi dengan Agus. “Yang enggak satu visi itu yang main-main bikin sulam karawo. Saya sempat berganti perajin karena belum cocok,” kenangnya.
Agus memang menitikberatkan pada kualitas, bukan kuantitas, apalagi kecepatan. Proses demi proses sebisa mungkin sempurna.
Awal pembuatannya, pola kain digambar memakai tangan dengan latar garis-garis 1 milimeter. Lalu, motif dibuat dengan mengiris kain menggunakan silet. Serat kain yang telah diiris dicabut sehingga menghasilkan bentuk kotak-kotak. Penyulaman pun dimulai.
Setidaknya, ada lima proses untuk membuat kain sulaman karawo. Setiap proses bisa dikerjakan oleh orang berbeda. Waktu pengirisan kain saja menghabiskan dua minggu.
“Bikin satu baju bisa memakan waktu hingga tiga bulan !” ucap Agus dengan alis meninggi, menandakan keseriusannya. Untuk kain karawo, yang tidak serumit baju, Agus mengklaim bisa memproduksi sekitar 250 kain per bulan.
Berkat produk eksklusifnya, kain karawo dapat mendunia. Baginya, sulaman berkualitas itu juga dihasilkan oleh jemari-jemari 70 orang perajinnya. Pengerjaannya pun tidak melulu di rumah produksi, tetapi di bawa pulang ke rumah perajin masing-masing. Di sisi lain, dukungan Bank Indonesia Gorontalo turut membawanya ke berbagai event internasional.
Impian Agus untuk membawa karawo keluar Gorontalo bahkan ke panggung internasional telah tercapai. Padahal, dulu, ketika karawo yang dalam bahasa setempat berarti sulaman, mulai dibuat sekitar abad ke-16, kerajinan ini hanya digunakan untuk upacara adat, proses kedukaan, dan acara kebesaran lainnya.
Padahal, dulu, ketika karawo yang dalam bahasa setempat berarti sulaman, mulai dibuat sekitar abad ke-16, kerajinan ini hanya digunakan untuk upacara adat, proses kedukaan, dan acara kebesaran lainnya.
"Dulu, setiap anak perempuan yang dianggap dewasa harus bisa membuat karawo dalam sapu tangan. Kemudian, sapu tangan itu diberikan kepada calon suaminya. Sekarang, saya enggak tahu apakah masih seperti itu atau tidak," ujar Agus.
Kepala Informasi dan Edukasi Unit Pengelola Museum Seni Jakarta Misari mengatakan, kain karawo kini telah dikenal luas pecinta kain di Jakarta. "Jadi, kain nusantara itu tidak hanya batik, tetapi ada juga sulaman seperti karawo," ungkapnya.