JAKARTA, KOMPAS — Kendati volume air di beberapa bendungan menyusut, pemerintah memastikan lahan pertanian yang masuk jaringan irigasi premium tetap mendapat pasokan air dari bendungan. Pemerintah meminta pengaturan air dan penerapan pola tanam yang tepat.
Sampai akhir Juni, menurut catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), ada 231 bendungan yang terdiri dari 16 waduk atau bendungan utama yang berkapasitas besar dan 215 bendungan lainnya. Dari 16 bendungan utama itu, 6 bendungan dalam kondisi normal, sedangkan 10 bendungan di bawah rencana.
Dengan total volume tampungan 3,85 miliar meter kubik air, 16 bendungan itu masih dapat mengairi lahan pertanian seluas 465.849,75 hektar. Bendungan utama itu antara lain Jatiluhur, Cirata, Saguling, dan Sutami.
”Saat ini adalah tahap siaga. Kami terus melihat persediaan air di bendungan sembari meminta masyarakat menyesuaikan pola tanam sebab puncak kemarau diprediksi pada Agustus,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Hari Suprayogi, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Adapun volume air di 215 waduk atau bendungan yang bukan utama adalah 1,57 miliar meter kubik air.
Suprayogi menambahkan, kekeringan akibat musim kemarau lebih banyak mengancam sawah tadah hujan. Sementara, kondisi sawah irigasi teknis—dengan sumber air hanya dari sungai yang dibendung—juga terancam jika air sungai menyusut.
Area persawahan yang mendapat air dari bendungan atau daerah irigasi premium dipastikan tetap mendapat pasokan air dari bendungan. Kendati dijamin, tata kelola air tetap diperlukan, seperti pola pembagian air bergiliran atau pembagian air per wilayah.
”Memang ada fenomena perubahan iklim. Namun, dengan semakin banyak bendungan, ketersediaan air terjaga dan meningkatkan ketahanan pangan. Sebab, bendungan tetap dapat menyuplai air ketika kemarau,” ujar Suprayogi.
Meski demikian, tidak semua lahan irigasi teknis mendapat pasokan air dari bendungan. Dari total 7,3 juta hektar, hingga 2015 baru 11 persen atau sekitar 800.000 hektar yang airnya dipasok dari bendungan.
Menurut Suprayogi, saat ini ada sekitar 2.000 embung dengan kapasitas 208 juta meter kubik yang dapat dimanfaatkan untuk memasok air di musim kemarau. Karena tampungannya tidak besar, air di embung akan habis dalam waktu sebulan sampai tiga bulan.
Jika kekeringan masih berlanjut, lanjut Suprayogi, pemerintah telah menyiapkan 1.000 unit pompa air di 43 Balai di bawah Ditjen Sumber daya Air. Pompa itu akan difungsikan untuk menyuplai wilayah pertanian. Rencana lainnya adalah membuat hujan buatan jika diperlukan.
Sementara itu, Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati berpendapat, dampak dari musim kemarau yang terjadi setiap tahun dapat diperhitungkan bagi produk pertanian. Data itu dicocokkan dengan kebutuhan masyarakat.
”Kalau kekeringan berdampak signifikan, maka sejak dini bisa dilakukan perdagangan antardaerah, dari daerah yang defisit dengan yang surplus. Ketahanan pangan itu kan tidak memperhatikan dari mana sumbernya, yang penting adalah tercukupinya kebutuhan,” kata Enny.
Menurut Enny, yang paling pokok adalah melakukan pengelolaan risiko sedini mungkin. Selama ini, persoalan ketahanan pangan tidak hanya soal ketercukupan bahan pangan, tetapi juga soal harga. Harga bergejolak ketika ada selisih antara ketersediaan dan permintaan. Hal ini mesti dikelola pemerintah sedari awal sebelum gejolak harga terjadi. (NAD)