HONG KONG, SENIN - Kepolisian Hong Kong menahan lima orang pengunjuk rasa dalam aksi unjuk rasa menolak rancangan undang-undang ekstradisi yang dapat mengirim warga Hong Kong ke China, Minggu (7/7/2019), malam. Penahanan tersebut mengundang kecaman aktivis.
Kepolisian Hong Kong mengeluarkan pernyataan bahwa polisi menahan lima orang yang diduga terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum. Mereka juga telah memeroleh peringatan sebelum ditahan. "Beberapa pengunjuk rasa menentang, polisi menangkap lima orang karena menyerang seorang petugas polisi dan menghalangi seorang petugas polisi dalam pelaksanaan tugas," demikian bunyi pernyataan itu, Senin (8/7/2019), pagi.
Aksi protes menolak RUU Ekstradisi kembali rusuh pada Minggu (7/7/2019), malam, di Distrik Mong Kok. Polisi menyerang sekelompok pengunjuk rasa, yang kebanyakan adalah anak muda, dengan tongkat. Waktu itu, para pengunjuk rasa yang sedang berjalan menolak untuk bubar setelah mengikuti aksi protes damai pada siang hari.
Aktivis Hong Kong mengecam penahanan dan tindakan polisi yang menggunakan kekerasan. Menurut mereka, para pengunjuk rasa di Mong Kok sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Kekerasan dimulai oleh pihak polisi anti huru hara yang menghalangi jalan kerumunan dengan perisai.
“Warga Hong Kong bergabung dalam aksi damai untuk menentang RUU Ekstradisi dipukul dan diserang oleh polisi. (Kekerasan) itu adalah contoh lain dari penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi,” kata aktivis demokrasi dari Demosisto, Joshua Wong, melalui cuitan di Twitter.
Melalui akunnya, Wong merilis sejumlah foto yang menunjukkan ada dua orang pengunjuk rasa dengan luka di kepala. Wong juga menyatakan, sejumlah jurnalis diserang oleh polisi dengan tongkat.
Berdasarkan catatan AFP, setidaknya total 72 orang telah ditahan akibat aksi protes RUU Ekstradisi. Tidak diketahui berapa orang yang telah dituntut. Para pengunjuk rasa telah berulang kali menuntut agar polisi melepaskan rekan-rekan mereka yang ditahan. Namun, tuntutan tersebut tidak digubris hingga saat ini.
Kericuhan antara pengunjuk rasa dan polisi pada Minggu (7/7/2019), bukan kali pertama. Aksi ini menjadi klimaks terbaru dari protes warga terhadap RUU Ekstradisi setelah kondisi mereda pasca-bentrokan yang terjadi pada pekan lalu. Pada 1 Juli 2019, pengunjuk rasa sempat berhasil menduduki gedung parlemen.
Sebelumnya, bentrok antara kedua belah pihak juga terjadi pada 12 Juni 2019. Ribuan warga turun ke jalan untuk mencegah pembacaan RUU ekstradisi di Dewan Legislatif Hong Kong. Aksi berakhir ricuh dan melukai sekitar 80 orang karena polisi menggunakan peluru karet, gas air mata, dan semprotan merica.
Sejak berlangsung secara teratur pada awal Juni 2019, aksi protes warga Hong Kong terhadap RUU Ekstradisi belum menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Aksi protes ini telah memengaruhi performa ekonomi Hong Kong.
Seperti yang diketahui, warga melakukan aksi demo untuk menolak RUU Ekstradisi yang baru. RUU Ekstradisi akan membuat Hong Kong dapat mengekstradisi warganya ke China. Warga menolak karena China memiliki sistem hukum dan peradilan yang berbeda sehingga ada potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Hong Kong baru bergabung dengan China pada 1997 setelah diserahkan Inggris. Salah satu kesepakatan yang ada, Hong Kong menganut sistem pemerintahan yang berbeda dengan China sebagai induk. Hong Kong baru akan bergabung sepenuhnya dengan China pada 2047.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menawarkan pembicaraan tertutup dengan para pelajar dari dua universitas di Hong Kong mengenai masalah RUU Ekstradisi. Namun, para aktivis meminta agar diskusi tersebut terbuka untuk umum.
Incar turis
Penyelenggara aksi protes yang berlangsung pada Minggu (7/8/2019), siang, melaporkan sebanyak 230.000 orang mengikuti demonstrasi di jalan-jalan area Kowloon dan Tsim Sha Tsui, sekitar enam kilometer dari kantor Dewan Legislatif. Adapun polisi melaporkan peserta unjuk rasa hanya sebesar 56.000 orang.
Kawasan tersebut merupakan area yang banyak dilewati turis karena banyak pusat perbelanjaan. Para pengunjuk rasa mengincar turis China untuk menjelaskan alasan mereka menolak RUU Ekstradisi demi menarik simpati.
“Kami harap warga Hong Kong dapat menyebarkan pesan bahwa Hong Kong melakukan aksi protes dengan damai dan (turis China) membawa informasi itu ke daratan (China),” kata salah satu penyelenggara protes, Lau Wing-hong.
Pebisnis asal China, Alan Zhang mengatakan, ia merasa tersentuh dengan upaya warga Hong Kong memperjuangkan kemerdekaan. Upaya tersebut menunjukkan perbedaan mendasar antara Hong Kong dan China.
“(Aksi protes) ini merupakan sesuatu yang tidak bisa kami lakukan di China. Saya pikir turis yang pertama kali datang tidak tahu apa yang terjadi. Memang ini yang membuat saya bisa melihat mengapa Hong Kong berbeda dengan China. Saya menerima (informasi) dari selebaran dan AirDrop, upaya yang sangat cerdas,” kata Zhang, yang menonton aksi protes di Jalan Canton. (AFP/AP/Reuters)