Raden Saleh dan Jejaknya di Bogor
Ia ke Buitenzorg atau Bogor pada tahun 1819, atau dua abad lalu. Saat itu, ia masih anak-anak. Bakat melukis membawanya lulus uji di Bogor, sekaligus mengantarkannya melalangbuana. Ia pun menjadi duta budaya dari Timur dan mendobrak Barat. Kota Bogor juga tempatnya, Raden Saleh, menutup mata dalam keabdian. Sayangnya, ia dilupakan Bogor, dilupakan kita.
Ia ke Buitenzorg atau Bogor pada tahun 1819, atau dua abad lalu. Saat itu, ia masih anak-anak. Bakat melukis membawanya lulus uji di Bogor, sekaligus mengantarkannya melanglang buana. Ia pun menjadi duta budaya dari Timur dan mendobrak Barat. Kota Bogor juga tempatnya Raden Saleh menutup mata dalam keabadian. Sayangnya, ia dilupakan Bogor, dilupakan kita.
Walaupun sejak Juni 2006 Kota Bogor memiliki jalan bernama Jalan Raden Saleh di Kecamatan Bogor Selatan, banyak orang Bogor tidak tahu ada jalan itu. Nama Jalan Empang yang melekat ke nama jalan itu sebelumnya lebih beken dan dikenal orang banyak.
Jalan Raden Saleh membentang tak lebih dari 1 kilometer, dari pertigaan mal BTM sampai pertigaan Alun-alun Empang. Tiga belas tahun pergantian nama jalan itu belum cukup untuk membiasakan orang Bogor menyebut jalan itu sebagai Jalan Raden Saleh. Beberapa toko di sana masih menuliskan alamat tokonya dengan nama Jalan Empang.
Itu mungkin juga disebabkan Pemerintah Kota Bogor belum menata jalan tersebut dengan layak sebagaimana banyak ruas jalan di Kota Bogor yang kondisinya menyedihkan. Papan nama Jalan Raden Saleh pun, yang ditancapkan di pulau pembatas jalur jalan pertigaan BTM, nyaris tidak terlihat karena tak terurusnya taman pulau di situ. Belum lagi ditambah hiruk-pikuk—kalau enggan menyebut semrawut—lalu lintas dan papan promosi di seputar persimpangan yang merupakan pertemuan Jalan Raden Saleh, Ir H Juanda, dan Otto Iskandar Dinatta.
Namun, lumayanlah Kota Bogor memiliki jalan bernama Raden Saleh, ketimbang dulu hanya ada Gang Raden Saleh, yang mulut gangnya di Jalan Pahlawan, atau sekitar 300 meter dari pertigaan Alun-alun Empang, juga di Bogor Selatan. Itu ironi sebab sekitar 200 meter dari muka gang tersebut terdapat makam pelopor seni lukis modern di Indonesia, Raden Saleh Sjarif Bustaman, dan istrinya, Raden Ayu Danudiredjo.
Raden Saleh, sang maestro pelukis dari Indonesia, disebut sebagai perintis yang seorang diri membuka jalan dan menjadi pembawa petanda awal pertukaran seni antara Asia dan dunia Barat. Ini antara lain dinyatakan mantan Direktur Goethe Institut Indonesia Franz X Augustin, dalam pengantar buku Raden Saleh-Kehidupan dan Karyanya karya Werner Kraus (2018).
Keberadaan makam tersebut, yang ditemukan pada 1923, adalah bukti terikatnya Raden Saleh dengan Bogor. Ia wafat di Bogor—bukan di kampung kelahirannya di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah—pada tahun 1880 atau dalam usia 69 tahun. Raden Saleh lahir tahun 1811, dengan asumsi, ia meninggalkan Semarang saat masih anak-anak, yakni pada tahun 1819, saat berusia 8 tahun.
Tahun itu, sang paman Adipati Surohadimenggolo menitipkan Raden Saleh untuk ngenger (magang) ke Gubernur Jenderal Batavia Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen. Ini usia wajar bagai keluarga Jawa saat itu untuk mulai ngenger.
Bogor dipilih Raden Saleh untuk tinggal sampai wafat setelah menikahi RA Danudiredjo di Yogyakarta, beberapa tahun setelah berpisah dengan istri pertamanya, Constancia Winkelhagen. Raden Saleh membawa istrinya tinggal di Bogor pada 1868 dan sempat mengajak istrinya ke Eropa tahun 1875.
Peristiwa wafatnya Raden Saleh menjadi perhatian publik, dengan bukti diberitakan sebuah media. Peristiwa itu juga diikuti penggambaran pemakaman dihadiri banyak orang dari berbagai kalangan, baik rakyat umum maupun pejabat pemerintah saat itu. Digambarkan juga banyak alim ulama melantunkan selawat mengiringi kepergian jasadnya dari rumah kediaman sampai pemakamannya yang berlokasi di Gang Raden Saleh, Kelurahan Pasir Jaya, Bogor Selatan.
Rumah kediaman Raden Saleh saat itu diperkirakan di lahan yang kini antara lain berdiri pusat perbelanjaan BTM di sudut Jalan Raden Saleh-Jalan Ir Juanda. Aspek sejarah itu pula yang menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah Kota Bogor mengubah Jalan Empang menjadi Jalan Raden Saleh.
”Raden Saleh memilih rumah di situ karena jabatannya sebagai pelukis istana dan kebun raya. Dalam satu catatan, disebutkan rumahnya berada di belakang Hotel Bellenviu, yang lokasinya saat ini BTM. Di hotel itu juga Raden Saleh memamerkan dan menjual lukisannya. Kebetulan, panoramanya indah, langsung melihat bentangan alam dengan kemegahan Gunung Salak, selain dekat Kebun Raya Bogor. Ia menyukai alam,” kata Konsilor Prinsipal pada Konsil Kota Pusaka Dayan Layuk Allo. Dayan juga salah seorang penggerak Petisi Raden Saleh. Petisi ini meminta pemerintah menetapkan Raden Saleh sebagai Pahlawan Nasional.
Sayang, sampai saat ini belum ditemukan foto atau arsip pasti yang memperlihatkan rumah pribadi Raden Saleh berada di sana. Sampai saat ini juga belum ditemukan atau terpublikasi meluas tentang lukisan Raden Saleh yang menggambarkan Gunung Salak atau panorama Gunung Salak yang sangat terlihat jelas dari lokasi rumahnya itu. Yang sudah terpublikasi meluas adalah lukisan-lukisan panorama atau berlatar belakang panorama Gunung Gede-Pangrango, bahkan jalan raya di Megamendung, gunung dan wilayah yang juga ada Bogor.
Susah membayangkan Raden Saleh tidak tergerak melukis Gunung Salak sebab selain melukis Gunung Gede-Pangrango, ia juga melukis Gunung Merapi dan pegunungan Dataran Dieng di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Barangkali ia sempat melukis Gunung Salak, tetapi kemudian lukisan itu hilang. Asumsi ini muncul karena sebelum wafat, Raden Saleh sangat kecewa dan menjadi sakit akibat banyak lukisan di rumahnya itu hilang dicuri. Juga, pembeli lukisannya adalah privat, yang tidak terdokumentasi, kata Dayan.
Yang pasti, sejumlah obyek lukisannya atau lukisan yang berlatar belakang panorama khas Bogor dan Jawa Barat menunjukkan keterikatannya pada Bogor, yang diputuskan menjadi kota tempat ia menutup mata selamanya. Ketertarikannya dengan segala sesuatu di Bogor membuatnya sampai melukis kompleks pemakaman unik, yakni kompleks pemakaman JA Pietermaat, yang ada di Kebun Raya Bogor dan dulunya masuk kompleks Istana Bogor.
Tertambat di Bogor
Tertambatnya hati Raden Saleh pada Bogor kemungkinan karena masa kanak-kanaknya, yang baru melihat ”dunia luar” adalah Bogor dan itu menyenangkan. Sebab, kesenangan dan bakat melukisnya tersalurkan dengan bebas dan lancar setelah mendapat bimbingan guru yang tepat dan tentu saja kemudahan mendapat peralatan melukis.
Maklum saja, Gubernur Jenderal Capellen, setelah mendapat amanat dari kolega tepercayanya, Adipati Surohadimenggolo, membawa Raden Saleh ke Reinwardt, pengelola Lands Plantentuin (Kebun Raya Bogor).
Reinwardt lalu memerintahkan Antoine Auguste Joseph Payen, pegawainya yang ahli melukis, membimbing Raden Saleh.
Bisa dibayangkan, tahun 1819, saat berusia delapan tahun, melihat dunia sambil memuaskan kegemarannya melukis tanpa pusing, malah segala sesuatunya disediakan. Karena itu, Bogor atau Jawa Barat yang alamnya sangat indah segera tertuang dalam berbagai lukisan atau seketsanya. Coba saja simak foto-foto lukisan Raden Saleh yang dimuat di buku Werner Krause, Raden Saleh-Kehidupan dan Karyanya. Lukisan pohon aren, pinang, rasamala, kedaung, dan timbul, atau peralatan pertanian, seperti golok, arit, dan ani-ani, mengingatkan pada Bogor dan Jawa Barat umumnya. Belum lagi beberapa lukisan panorama Megamendung dan Gunung Gede-Pangrango-nya.
”Saya membayangkan, Raden Saleh kecil itu anak yang cerdas, pemberani, agak jahil, yang sangat senang tinggal di kamar loteng rumah dinas Payen di kebun raya. Karena lukisannya ’Penangkapan Pangeran Diponegoro’ memperlihatkan karakternya itu,” kata Katherina Achmad, pelukis yang tinggal di Bogor dan membuat tesis mengenai kiprah, karya, dan misteri kehidupan Raden Saleh. Tesisnya pada 2007 itu menjadi buku dengan judul Raden Saleh: Perlawanan Simbolik seorang Inlander.
Pada lukisan tersebut, Raden Saleh melukiskan Pangeran Diponegoro dengan wajah tetap menengadah ke Jenderal De Kock dan berdiri di anak tangga yang sama, lambang kesetaraan. De Kock juga dilukis dengan kepala yang besar, tidak imbang, dengan tubuhnya, yang sekan menjadi kerdil. Tidak lupa pada ujung kepala sorban Pangeran Dipenogoro, Raden Saleh sematkan ”bendera” Merah Putih, lambang keberanian dan kesucian.
Kamar loteng
Raden Saleh kecil tinggal di kamar loteng yang berada di rumah dinas Payen. Jendela kamar menghadap ke depan rumah. Rumah bekas Raden Saleh tinggal itu sampai saat ini masih ada di kompleks Kebun Raya Bogor. Namun, dipastikan di situ Raden Saleh kecil tinggal karena foto dokumentasi milik Kebun Raya Bogor memastikan dulu di situ Payen, sebagai pelukis Kebun Raya Bogor tinggal.
Dipastikan juga kehidupan dan pendidikan Raden Saleh diserahkan kepada pendiri dan kepala Kebun Raya Bogor pertama, Reinwardt.
Salah seorang leluhur Katherina, Raden Iskandar Wiriasuganda, saat masih anak-anak pernah menjadi model lukisan oleh Raden Saleh. ”Raden Ani Saodah Wiriasuganda, nenek saya cerita, buyut saya itu dilukis saat bermain dengan otopet dari kayu dan ia mengenakan baju monyet. Nenek tidak tahu, bagaimana nasib lukisan itu. Nenek juga bilang, kerabat lainnya, Syarifah Sumiati, kerap ditugaskan untuk menemani Raden Saleh kecil melukis di lingkungan kebun raya,” tutur Katherina, yang sedang melakukan riset terkait Raden Saleh lagi, untuk keperluan penyelesaian novel keempatnya yang berlatar belakang sejarah Sang Maestro.
Lukisan yang dibuat Raden Saleh kecil—yang kemungkinan lukisan tentang anatomi tumbuhan, sebagaimana tugas yang diemban Payen sebagai pelukis kolesi kebun raya—belum ditemukan atau terpublikasikan.
Dayan Allo menyatakan wajar saja itu, karena lukisan taksonomi tumbuhan dibuat Raden Saleh sebelum ia disekolahkan ke Eropa. ”Kebun Raya tidak menyimpannya karena kini ada museum herbarium yang pengelolaannya terpisah dari kebun raya. Namun, itu juga harus ditelusuri teliti karena itu karya Raden Saleh dua abad lalu. Kalau sketsa atau lukisan tentang tumbuhan yang terpublikasi cukup baik, seperti yang ada di buku karya Werner Krause itu dibuat di Batavia untuk keperluan buku pendidikan melukis di sekolah-sekolah di Batavia. Buat Raden Saleh mudah saja membuat cara melukis tumbuhan atau pohon tersebut karena ia pernah melihat dan daya ingatnya kuat,” tuturnya.
Endang Sasmita, pemerhati sejarah Bogor, mengatakan, orang Bogor, kecuali komunitas pelukis, banyak yang tidak tahu siapa itu Raden Saleh, walaupun dua lukisan asli Raden Saleh, Berburu Banteng dan Harimau Minum, tersimpan di museum Istana Bogor. ”Raden Saleh sempat menjadi pembicaraan di Bogor saat lukisan itu diboyong ke Istana Bogor dari Istana Medeka tahun 2005, oleh Ibu Watie Nuraeni, kurator Museum Nasional. Sempat lukisan itu dipajang di galeri Istana, sekarang tersimpan di museum,” katanya.
Setelah itu orang Bogor lupa, karena saat Istana Bogor Open dulu sekali, sebelum menjadi kediaman resmi Presiden Jokowi, koleksi lukisan Istana Bogor yang ditampilkan kebanyakan lukisan Basuki Abdullah. Endang, yang lahir di lingkungan Istana Bogor lalu menjadi aparatur sipil negara yang bertugas di Istana Bogor sampai purnakarya, mengatakan, lukisan Raden Saleh itu luar biasa.
”Jujur saja, orang Bogor kecuali komunitas seniman, ditanya Raden Saleh hanya tahu nama gang atau jalan. Siapa Raden Saleh itu, tidak ada yang mengerti, padahal ia maestro. Ada yang mis di sini. Saya tidak tahu, siapa yang bertanggung jawab, ini sampai terjadi,” tuturnya.
Raden Saleh ke Bogor pertama kali tahun 1819, sekarang tahun 2019, atau dua abad sejak kedatangannya. Masih belum ada pelukis dari Indonesia setara dengan kegeniusan Raden Saleh. Mungkin saatnya orang Bogor menggali serius tentang Raden Saleh, yang mencintai Bogor dan mengabadikan panorama dan tumbuh di Bogor dalam lukisan yang dikagumi dunia.