Film berjudul ”Jaler” karya Qmen Crew menjadi film pendek yang terbaik dalam ajang Banyuwangi Film Festival 2019. ”Jaler” berhasil mengungguli 37 film lainnya dalam ajang film pendek pertama di Banyuwangi tersebut.
Oleh
ANDREAS BENOE ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Film berjudul Jaler karya Qmen Crew menjadi film pendek terbaik dalam ajang Banyuwangi Film Festival 2019. Jaler unggul atas 37 film lainnya dalam ajang film pendek pertama di Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut.
Banyuwangi Film Festival melombakan film-film pendek yang pengambilan gambarnya dilakukan di Banyuwangi dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Selain melombakan film terbaik, ajang ini juga menganugerahkan gelar film menginspirasi dan sarat promosi budaya serta wisata.
Film kategori paling menginspirasi yaitu The Documentary of Ninda Sari-Melawan Keterbatasan karya SMK Negeri 2 Tegalsari. Sementara film kategori promosi budaya dan wisata diraih Nanda Fajar Shodiq lewat The Mystic of Keboan Sukodono.
”Jaler menjadi yang terbaik karena kekuatan temanya. Tema jender dalam akar budaya dan tradisi memang menarik, kuat, unik, dan jarang dibicarakan,” ujar sineas Mira Lesmana yang didapuk menjadi juri bintang dalam puncak penghargaan Banyuwangi Film Festival di Banyuwangi, Selasa (9/7/2019).
Mira juga menilai, Jaler berhasil menyampaikan emosi kepada para penontonnya. Tanpa merendahkan film-film lainnya, Mira menilai Jaler menjadi film bertema kompleks, tetapi disampaikan dengan cara menarik.
Jaler bercerita tentang Ghani (20), remaja dari keluarga kurang mampu. Ia tumbuh menjadi pribadi feminim. Hal itu sesuai dengan keinginan ibunya yang sebelum meninggal menginginkan anak perempuan.
Sepeninggal ibu, Ghani hidup dengan neneknya. Sementara ayahnya bekerja di luar kota. Pada umur 20 tahun, tingkah laku Ghani sebagai seorang laki-laki tak juga muncul. Ghani lebih memilih membantu neneknya melakukan pekerjaan rumah daripada bekerja selayaknya anak laki-laki. Ia juga sering belajar menari gandrung dengan teman perempuannya.
Konflik muncul ketika paman Ghani marah melihat keponakannya yang tidak tumbuh sebagai lelaki pada umumnya. Ternyata, sisi feminim Ghani muncul karena roh ibundanya yang merasuki dirinya. Semasa hidupnya, ibunya merupakan penari gandrung.
Sutradara Jaler, Lutfi Masduki, mengatakan, ia dan rekan-rekannya memilih tema jender karena ingin mengubah paradigma masyarakat tentang pria penari gandrung. Menurut dia, selama ini ada pandangan miring bagi pria yang menari.
”Padahal tidak ada yang salah apabila lelaki menjadi penari gandrung. Di Banyuwangi, tarian gandrung mula-mula memang ditarikan oleh kaum pria. Dari sana muncul kesenian gandrung marsan. Tarian itu kini berkembang menjadi tari gandrung yang dibawakan oleh kaum wanita,” tutur Lutfi.
Lutfi menuturkan, pengambilan gambar dilakukan selama 2 minggu di sejumlah desa di Banyuwangi, antara lain Tugurejo, Genteng, dan sejumlah pantai di pesisir Muncar. Untuk film berdurasi 15 menit tersebut, Lutfi dan rekan-rekannya dari rumah produksi Qmen Crew menghabiskan biaya Rp 250.000. Biaya itu digunakan untuk menyewa sebuah rumah dan membeli konsumsi. Sementara untuk keperluan produksi lainnya, Lutfi dan rekan-rekan melakukannya dengan sukarela, tanpa bayaran.
Penanggung jawab Banyuwangi Film Festival sekaligus Kepala Dinas Komunikasi, Informasi dan Persandian Banyuwangi Budi Santoso mengatakan, gelaran ini tidak hanya menjadi wadah kreativitas pemuda dan insan perfilman Banyuwangi, tetapi juga menjadi sarana promosi Banyuwangi. Film-film yang dibuat di Banyuwangi mau tidak mau mengekspose sejumlah daerah yang ada di Banyuwangi.
”Melalui film, budaya dan alam Banyuwangi juga terekspose. Bagi kami, ini sarana promosi potensi Banyuwangi dan masyarakatnya. Kami tunjukkan bahwa dari Banyuwangi ada aktor, aktris, sutradara, dan kameraman andal yang siap bersaing,” tutur Budi.