Komunitas SabangMerauke Merawat Toleransi Dalam Keberagaman
Toleransi tidak hanya bisa diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan. Sebab, toleransi yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini mesti dirawat sepenuh hati dengan biasa hidup dalam perbedaan. Dengan demikian, rasa bangga sebagai bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika terus tumbuh dan semakin kuat.
Memberikan pengalaman hidup bertoleransi secara langsung diwujudkan Komunitas SabangMerauke atau Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali (SM) sejak tahun 2013 hingga sekarang ini. Selama tujuh tahun ini, Komunitas SM melaksankan program pertukaran pelajar antardaerah bagi anak-anak usia 13-15 tahun.
Mereka bukan hanya berkegiatan bersama teman-teman maupun kakak pendamping yang berbeda agama dan suku, bahkan ada yang penyandang disabilitas. Anak-anak ini akan hidup sebagai anak asuh dari keluarga asuh Komunitas SM sehingga dapat menyaksikan dan mengalami secara langsung hidup dalam keluarga yang berbeda agama dan suku agar dapat saling memahami dan menerima.
Sebanyak 20 pelajar SMP dari berbagai daerah yang disebut adik SM (ASM) yang tinggal di keluarga asuh yang disebut Famili (FSM) di wilayah Jabodetabek. didampingi 20 mahasiswa terpilih sebagai kakak pendamping SM (KSM) berkumpul di halaman Gereja Katederal, Jakarta, Kamis (4/7/2019) pagi. Mereka menjalani program berkunjung ke rumah ibadah yakni Gereja Katederal (Katolik), Majid Istiqlal (Islam), dan gereja Immanuel (Protestan). Keesokan harinya dilanjutkan ke pura dan vihara di Jakarta.
Sebelum masuk dalam Gereja Katederal, para ASM mendapat kejutan dengan kehadiran penyanyi jebolan Indonesia Idol Citra Scholastika. Sambil duduk lesehan di halaman gereja, Citra yang dilahirkan dari ibu beragama Katolik dan almarhum ayahnya yang penganut Muslim, berbagi kisah tentang kehidupan bertoleransi.
“Toleranis itu indah lho, banyak manfaatnya. Aku hidup di keluarga Katolik dan Muslim. Seru karena keluarga saling bantu saat Natal dan Idul Fitri. Selain itu, aku juga pernah hidup di Papua, Sumatera, dan Yogyakarta. Jadi berbeda-beda itu fine, tidak apa-apa. Tidak mesti kita harus disamakan. Inilah pentingnya kita belajar toleransi,”ujar Citra yang diajak temannya untuk bergabung dengan Komunitas SM.
Usai mendapat inspirasi dari Citra, peserta masuk ke dalam Gereja Katederal. Para ASM beragama selain Katolik. Bahkan peserta perempuan berhijab, tampak tak canggung untuk memasuki gereja. Mereka memandangi sekeliling gereja dan melihat dengan seksama gambar dan banyak patung yang ada di dalam gereja.
Saat bertemu dengan Pastor Gereja Katederal Romo Markus Yumartana yang berjubah putih, para ASM antusias bertanya. Pertanyaan dari seputar makna patung domba yang ada di dalam gereja hingga mengapa Yesus disalibkan.
Kunjungan dilanjutkan ke Majid Istiqlal. Dengan tertib semua melepas sepatu sebelum memasuki area masjid. Di sini, peserta mendapat inspirasi toleransi yang nyata. Arsitektur Masjid Istiqlal ternayata dirancang oleh Frederich Silaban yang beragama Kristen. Keberadaan Masjid Istiqlal dan Gereja Katederal yang berdekatan juga membuktikan toleransi bisa dilakukan. Saat ada kegiatan di Masjid Istiqlal, pihak Gereja Katederal, misalnya, membolehkan lahan gereja dipakai untuk parkir umat Muslim yang beribadah di Istiqlal.
Asta Dewanti, Rasing Awarness Komunitas SM mengatakan Komunitas SM yang dibentuk sejak tahun 2012 ini menggandeng banyak relawan untuk bersama-sama merawat toleransi dalam kehidupan berbangsa.Komunitas SM ingin menanamkan toleransi sedini mungkin dengan mengajak ASM jadi agen perubahan di lingkungan terdekat.
“Änak usia SMP ini lebih mandiri dibandingkan siswa SD dan lebih bisa diharapkan jauh dari orang tua. Selain itu, ketertarikan dan perhatian pada teman sudah lebih meluas, sehingga cocok untuk diajak diskusi tentang kehidupan sosial,”ujar Asta yang sejak awal terlibat sebagai relawan Komunitas SM.
Untuk tahun ini, beragam aktivitas dijalani peserta ASM. Selain menggunjungi tempat ibadah, ada kunjungan ke lembaga penellitian Eijkman untuk mengenal asal-usul manusia Indonesia asli, berinteraksi dengan penyandang disabilitas yang berprestasi sebagi atlet Paragames, belajar soal kopi, talkshow bersama para profesional, hingga wawasan mengelola sumber daya alam berwawasan lingkungan.
Hingga saat ini, program pertukaran pelajar Komunitas SM sudah melibatkan 90 ASM, sebanyak 90 KSM, 270 FSM, dan 600 relawan. Sudah ada 450 alumni yang akan jadi Duta Perdamaian di lingkaran masing-masing.
Co-founder Komunitas SM, Ayu Kartika Dewi menjelaskan komunitas ini ada karena toleransi tidak hanya bisa diajarkan, tetapi toleransi harus dialami dan dirasakan. Komunitas SM mewujudkan program pertukaran pelajar yang di khususkan untuk pelajar SMP/Sederajat dari berbagai pulau, daerah dan kota di seluruh Indonesia untuk tinggal bersama keluarga yang berbeda agama ataupun etnis dalam waktu tiga minggu dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi. Setelah program selesai, para siswa-dan siswi SMP akan kembali ke daerah asal mereka dan akan mengamalkan kepada orang-orang disekitar wilayah tersebut.
Ayu pernah menjadi pengajar muda di Indonesia Mengajar selama satu tahun dan ditempatkan di salah satu Sekolah Dasar di Maluku Utara pada tahun 2010, yang kebanyakan masyarakat di desa tersebut menganut agama Islam. Ayu menilai kurangnya interaksi secara langsung terhadap masyarakat yang beragama lain, membuat masyarakat, terutama anak-anak yang masih duduk di bangku SD, terus menerus curiga terhadap orang lain yang berada di luar agama mereka.
Pengalaman berharga
Mengalami toleransi dengan hidup secara langsung dengan keluarga asuh yang berbeda, bagi Lulu Anjani Silalahi, siswa SMPN 1 Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, sungguh pengalaman yang berharga. Ia mengaku bisa saling menghargai perbedaan agama yang ada di rumahnya.
Lulu yang beragama Islam tinggal dengan keluarga asuh di Bogor yang beragama Kristen. Namun, dengan adanya perbedaan ini tidak membuat Lulu sungkan atau malu untuk beribadah. Bahkan FSM juga kadang mengingkatkan Lulu ketika waktu Shalat tiba.
Sementara itu, Kadek Bintang Suryani (15), siswa SMPN 3 Denpasar, Bali, yang beragama Hindu, mengaku pertama kalinya mengunjungi tempat ibadah agama lain.
Di daerahnya, ia hidup dengan masyarakat mayoritas seagama dengan dirinya. “Äku merasa tersentuh dan tenang bisa masuk ke tempat ibadah agama lain,”ujar Kadek.
Bukan hanya ASM yang mendapatkan pengalaman berharga. Kakak pendamping seperti Tripuspita Handayani, mahasiswa semester 4 di Universitas Negeri Jakarta, merasakan pengalaman indah berinteraksi dengan ASM Agnes Marbun dari Sidikalang, Sumatera Utara, yang beragama Katolik, serta FSM yang beragama Hindu. “Masyarakat sekarang ini sepertinya sensitif dengan agama yang berbeda. Aku merasa prihatin sehingga tertarik untuk bisa menyuarakan perdamaian meskipun berbeda agama dan suku,”ujar Tri.
Menurut Tri, ia sempat merasa ragu apakah ia bisa berinteraksi dengan baik. Namun, keramahan dari keluarga asuh yang beragama Hindu yang di rumahnya ada pura dan memasang dupa, membuat ia merasa nyaman. “Tidak ada lagi rasa canggung ketika ngobrol, bahkan saya belajar banyak hal baru. Perbedaan itu tetap indah jika kita saling hangat sebagai teman dan keluarga,” ujar Tri. (*)