Perlu Kemauan Politik Kuat Atasi Kesenjangan Struktural
›
Perlu Kemauan Politik Kuat...
Iklan
Perlu Kemauan Politik Kuat Atasi Kesenjangan Struktural
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Demokratisasi pascareformasi yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun belum mampu menyelesaikan persoalan ketidaksetaraan akses pada kekuasaan. Kondisi ini menyebabkan kesenjangan sosial ekonomi tak kunjung bisa diatasi. Padahal, ketidakmampuan mengatasi kesenjangan struktural itu bisa menghasilkan ekspresi ketidakpuasan sosial di masa depan.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), satu dekade terakhir, rasio gini Indonesia sejak 2010 berfluktuasi, tetapi cenderung naik, hingga mencapai titik tertinggi pada September 2014 di angka 0,414. Angka itu menurun hingga berada pada angka 0,384, September 2018.
Direktur Institut Asia Universitas Melbourne, Australia, Vedi R Hadiz menuturkan, berdasarkan data Bank Dunia tahun 2016, satu persen orang Indonesia menguasai 50 persen kekayaan Indonesia. Hal ini menandakan adanya ketidakmerataan dalam distribusi kemakmuran di Indonesia.
”Kegagalan demokrasi untuk mengatasi masalah kesenjangan itu mengakibatkan munculnya persepsi bahwa ketidakadilan sosial itu terus direproduksi secara sistematis dalam hubungan kekuasaan,” kata Vedi dalam diskusi terbatas di Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Diskusi berjudul ”Indonesian Inequalities” itu merupakan kerja sama Kompas dengan Asia Institute, University of Melbourne, Australia. Selain Vedi, tiga pembicara lain dari University of Melbourne ialah John Murphy, Rachael Diprose, dan Ariane J Utomo. Hadir sebagai penanggap, pengajar Departemen Komunikasi Universitas Indonesia, Inaya Rakhmani, dan peneliti The SMERU Research Institute, Athia Yumna.
Vedi menuturkan, diperlukan kebijakan dan keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk mengatasi kesenjangan struktural. Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah ialah menggunakan instrumen fiskal untuk melaksanakan kebijakan yang bisa mengurangi ketidaksetaraan sosial. Langkah itu dapat dilakukan karena negara memiliki akses terhadap pasar dan peraturan.
Kemarahan
Upaya mengatasi kesenjangan struktural itu penting karena bisa berdampak pada relasi sosial di masyarakat.
Inaya mengingatkan, ketimpangan struktural menyebabkan apa yang diharapkan warga negara, terutama dari kelas menengah terdidik, menjadi tidak sesuai dengan realitas. Saat mereka berusaha keras, ada hambatan yang menyebabkan mobilitas vertikal mereka menyentuh ”atap”. Ada batasan yang tidak bisa ditembus sehingga mengakibatkan frustrasi dan kemarahan. Hal ini, salah satunya, bisa menjadi lahan bagi tumbuhnya politik identitas.
Athia menjelaskan, terdapat multidimensi kesenjangan di Indonesia yang meliputi sektor ekonomi dan non-ekonomi, lalu kesenjangan vertikal yang melibatkan individu dengan kesenjangan horizontal yang berhubungan antarkelompok sosial dan kesenjangan spasial yang terkait wilayah. ”Peningkatan kesenjangan akan mengurangi pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kekuatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi angka kemiskinan. Hal itu juga dapat meningkatkan konflik sosial,” katanya.
Sementara itu, di era digital, saat semakin banyak aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat masuk ke ranah digital, terbuka peluang hal ini bisa memperkecil kesenjangan sosial. Namun, pada saat bersamaan, hal ini bisa memperlebar kesenjangan. Vedi menilai, kehadiran teknologi berperan dalam menghadirkan fasilitas dan kemudahan, terutama untuk pertumbuhan usaha-usaha kecil yang dilakukan masyarakat. Namun, di sisi lain, juga ada kesenjangan terhadap akses kepada teknologi informasi. Bukan tidak mungkin, digital hanya akan menjadi cerminan dari kesenjangan yang sudah terjadi di ranah luar jaringan.
Jaminan sosial
Kesenjangan sosial-ekonomi salah satunya bisa ditekan dengan adanya penyediaan jaminan sosial. Sebab, jaminan sosial punya tujuan meredistribusi kemakmuran.
John Murphy mengungkapkan, Pemerintah Indonesia sejak era Presiden Soekarno hingga kini telah menerbitkan tiga gelombang kebijakan bantuan sosial untuk mengurangi ketimpangan penduduk. Dimulai dari asuransi kesehatan dan pensiun bagi aparatur sipil negara, angkatan bersenjata, dan pekerja di sektor formal. Lalu, ada kebijakan Jaring Pengaman Sosial di era demokrasi. Terakhir, Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Menurut dia, skema gelombang pertama bantuan sosial yang dilakukan pemerintah cenderung memiliki tujuan untuk mengikat kelompok fungsional tertentu kepada pemerintah dan juga sebagai bentuk penghargaan negara atas kesetiaan mereka. Sementara itu, gelombang bantuan sosial selanjutnya, katanya, memberikan implikasi yang signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan di Indonesia.
Ia menuturkan, dana pensiun untuk orang miskin dan pekerja sektor informal bisa menekan kesenjangan. Program ini butuh dana yang relatif sama dengan dana pensiun aparatur sipil negara. (SAN)