Perma 3/2017 Tak Digunakan, MA Terus Disorot Publik
›
Perma 3/2017 Tak Digunakan, MA...
Iklan
Perma 3/2017 Tak Digunakan, MA Terus Disorot Publik
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Baiq Nuril Maknun, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat terus menjadi sorotan publik. Meskipun sudah ada penjelasan pihak Mahkamah Agung tentang alasan penolakan PK, sejumlah kalangan tetap mempertanyakan hakim yang mengadili perkara Baiq Nuril yang dinilai tidak memiliki perspektif jender.
Bahkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan putusan tersebut. Meski menghargai putusan MA sebagai kewenangan peradilan yang tidak boleh di intervensi, Komnas Perempuan menyatakan seharusnya hakim menggunakan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 (Perma 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
“Padahal, Perma 3/2017 adalah sebuah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan. Perma tersebut adalah sebuah langkah afirmasi dalam menciptakan kesetaraan (seluruh warga negara) di hadapan hukum,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Budi Wahyuni, dalam keterangan pers, Senin (8/7/2019) di Jakarta.
Budi Wahyuni bersama dua komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin dan Sri Nurherwati, serta Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Lstania DF Iskandar, menyatakan dukungan kepada Baiq Nuril untuk mendapatkan keadilan, karena proses hukum yang dihadapi Baiq Nuril aparat penegak hukum tidak menerapkan prinsip kesetaraan jender serta tidak melihat situasi korban pelecehan seksual (terutama non fisik) yang rentan dikriminalkan atas upayanya mengungkap kejahatan.
“Negara seharusnya melakukan terobosan, sebelum ada kesetaraan perlindungan di hadapan hukum antara korban kekerasan/pelecehan seksual dan undang-Undang lainnya. Karena itulah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang merupakan terobosan harus segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang,” ujar Sri Nurherwati.
Karena itulah, Komnas Perempuan memberikan apresiasi kepada hakim pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) yang membebaskan Nuril dari hukuman. Padahal ketika kasus tersebut disidangkan Perma 3/2017 belum diundangkan. Sebaliknya, Nurherwati mempertanyakan hakim di tingkat kasasi dan PK yang tidak menggunakan Perma 3/2017, padahal Perma tersebut sudah ada.
Seharusnya dalam perkara Nuril, MA melihat Nuril sebagai salah satu korban yang mencoba dan berupaya keras mencari keadilan atas pelecehan seksual yang dialaminya. Nuril merekam pelecehan seksual yang dilakukan terhadap dirinya, karena dia tahu untuk melaporkan tindakan kekerasan, dibutuhkan pembuktian, apalagi jika pelaku memiliki kekuasaan dan berkuasa atas dirinya.
Ketika rekaman tersebut disebarluaskan oleh pihak lain yang menjanjikan membantu Nuril mengadukan pelecehan seksual yang dialaminya ke DPR, Nuril dilaporkan melanggar UU ITE. Sementara pihak lain yang menyebarluaskan rekaman tersebut, tidak dilaporkan.
Sebelumnya, Soal sorotan bahwa putusan MA tidak selaras dengan Perma 3/2017, menurut Abdullah, perma tersebut bukan berarti harus membebaskan orang bersalah, tetapi bagaimana memperlakukan perempuan dan anak dalam proses persidangan yang menjunjung tinggi HAM.
“Jadi bukan berarti kalau perempuan harus dibebaskan walaupun bersalah. Tiak boleh seperti itu. Jadi bagaimana memperlakukan terdakwa, saksi maupun korban yang berperspektif jender, serta tidak bertanya yang menyudutkan,” kata Abdullah, pada Sabtu (6/7/2019).
Mendukung amnesti
Melihat proses hukum yang dihadapi Nuril dan putusan kasasi dan penolakan MA atas PK, Mariana menyatakan Presiden seharusnya memberikan amnesti kepada Nuril sebagai langkah khusus sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi warga negara korban dari tindakan kekerasan seksual (belum memberikan kesetaraan perlindungan).
Hal ini sejalan dengan prinsip afirmasi yang dimungkinkan dalam konstitusi dan prinsip due dilligence yang ada dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984.
“Komnas Perempuan menunggu sikap dan pernyataan Presiden Joko Widodo dengan pertimbangan respons dari Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik yang menyatakan Nuril harus dibantu diberikan amnesti oleh presiden. Jadi kami tunggu pernyataan dari proses tersebut,” kata Mariana.
Mengenai permohonan amnesti, Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang 1945 menyebutkan Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.P Pada penjelasan pasal tersebut menyatakan DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan politik.
“Karena itu, kami berharap DPR punya cara pandang yang sama bahwa ini adalah korban, perempuan yang sednag mencari keadilan, menggapai hak-haknya dengan cara yang dia lakukan sebagaimana yang selalu didengungkan silakan melapor jika ada bukti. Dengan kekritisannya, dia merekam, kok malah disalahkan, kok disalahgunakan,” ujar Budi.
Adapun LPSK, menurut Livia, Nuril merupakan korban pelecehan seksual, yang juga terpidana dalam perkara yang terkait Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang No.19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain mendorong amnesti, LPSK akan memberikan dukungan kepada Nuril khususnya untuk pemulihan psikososial.
"Karena saat terjerat perkara tersebut Nuril kehilangan pekerjaan. Kami akan memberikan dukungan agar yang bersangkutan bisa kembali mendapat pekerjaannya," ujar Livia.