Saat Layar Ponsel Jadi ”Senjata Andalan”
Jepang membatasi ekspor material canggih untuk pembuatan layar dan cip ponsel ke Korea Selatan, tempat perusahaan raksasa elektronik Samsung berada. Langkah ini diambil setelah kedua negara berbeda pandangan dalam penyelesaian masalah kerja paksa di era Perang Dunia II.
Pada masa sekarang, layar ponsel telah menjadi ”teman paling dekat”. Setiap hari, setiap beberapa menit, kita menatap layar ponsel. Mengusapnya. Kita lalu mengecek pesan, status teman di media sosial, melihat-lihat foto. Bisa juga menonton video singkat yang lucu-lucu atau mungkin agak saru.
Layar atau display menjadi bagian penting dari sebuah ponsel. Bisa dibayangkan apa jadinya ponsel tanpa layar. Bahkan, dalam perkembangan terakhir, layar ponsel semakin canggih, bisa bersifat fleksibel atau dapat ditekuk.
Arti penting display dalam bisnis ponsel global disadari betul oleh Jepang. Karena itu, beberapa hari lalu, negara ini tampaknya menggunakan layar ponsel sebagai ”senjata” untuk menekan tetangganya, Korea Selatan.
Seperti diberitakan oleh The Wall Street Journal edisi 1 Juli 2019, pemerintah Jepang mulai Kamis pekan lalu mengharuskan eksportir material canggih fluorinated polyimide untuk mengajukan izin ekspor setiap kali hendak mengapalkan komoditas tersebut. Fluorinated polyimide adalah salah satu bahan krusial untuk pembuatan layar pada ponsel.
Negara ini tampaknya menggunakan layar ponsel sebagai ”senjata” untuk menekan tetangganya, Korea Selatan.
Selain fluorinated polyimide, bahan yang dikenai syarat mendapat izin terlebih dahulu sebelum dikirim ialah photoresist serta high-purity hydrogen fluoride. Dua komoditas ini digunakan dalam proses pembuatan goresan (alur) sirkuit pada potongan-potongan silikon guna menghasilkan semikonduktor (cip).
Di tengah menjamurnya ponsel cerdas pada masa sekarang, semikonduktor merupakan komponen sangat penting. Jantung ponsel cerdas adalah semikonduktor. Dengan semikonduktor, proses komputasi dan penyimpanan data dapat berlangsung. Operasi-operasi yang biasa dikerjakan ponsel cerdas, seperti pengolahan gambar dan perekaman video, berlangsung berkat semikonduktor. Tanpanya, tidak pernah ada ponsel cerdas.
Dengan penerapan regulasi anyar ini, eksportir memerlukan waktu 90 hari untuk mendapatkan izin pengiriman fluorinated polyimide, photoresist, serta high-purity hydrogen fluoride.
Sasaran peraturan tersebut sederhana, yakni menghambat pengiriman fluorinated polyimide, photoresist, dan hydrogen fluoride, ke Korsel.
Mengapa Korsel? Di negara inilah, berlokasi produser terbesar ponsel, Samsung. Selain itu, ada pula perusahaan LG Display serta SK Hynix yang diperkirakan terdampak oleh peraturan baru Jepang itu.
Menurut Reuters, dalam lima bulan pertama tahun 2019, Korsel membeli photoresists senilai 103,52 juta dollar AS (Rp 1,5 triliun) dari Jepang; hydrogen fluoride 28,44 juta dollar AS (Rp 401,3 miliar); serta fluorinated polyimide senilai 12,14 juta dollar AS (Rp 171,3 miliar).
Sebelum ini, pengekspor tak perlu meminta izin untuk mengirim ketiga komoditas karena Korsel tidak dikategorikan sebagai entitas yang bisa menimbulkan risiko keamanan nasional. Namun, gara-gara kegagalan dialog di antara kedua negara dalam beberapa waktu terakhir, Jepang semacam kehilangan kepercayaan sehingga memasukkan Korsel dalam kelompok negara yang bisa menimbulkan risiko kemanan.
Dengan demikian, mengingat ketiga komoditas itu dapat digunakan dalam aplikasi yang berkaitan dengan senjata, maka ekspor fluorinated polyimide, photoresist, dan hydrogen fluoride ke Korsel harus melalui prosedur tambahan.
Jepang menempuh langkah ini setelah Mahkamah Agung Korsel pada Oktober 2018 memutuskan perusahaan Jepang Nippon Steel Corp. harus memberi kompensasi kepada warga Korsel atas kerja paksa selama perang. Padahal, menurut Tokyo, setiap klaim akibat kerja paksa dalam perang berpuluh-puluh tahun silam itu telah diselesaikan pada 1965. Saat itu, kedua negara menghidupkan kembali relasi diplomatik.
Hubungan Korsel-Jepang juga semakin buruk setelah Presiden Korsel Moon Jae-in pada 2018 membatalkan perjanjian di antara kedua negara dengan membubarkan yayasan yang bertugas memberikan kompensasi 9 juta dollar AS kepada para wanita korban kekerasan seksual Perang Dunia II.
”Kami tidak mempunyai pilihan, selain menyatakan bahwa hubungan kepercayaan antara Jepang dan Korsel sudah sangat rusak,” ungkap Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, seperti dikutip The Wall Street Journal.
Sementara Menteri Perdagangan Hiroshige Seko menjelaskan langkah itu sama sekali bukan pembalasan atas putusan pengadilan Korsel yang mewajibkan perusahaan Jepang memberi kompensasi kepada pekerja paksa Korsel dalam Perang Dunia II.
Namun, bagaimanapun, menurut dia, apa yang ditempuh oleh Korsel telah merusak kepercayaan Tokyo terhadap Seoul. Karena itu, tidak ada pilihan bagi Jepang selain menerapkan kebijakan untuk menghambat ekspor tiga material sensitif ke Korsel.
Langkah itu sama sekali bukan pembalasan atas putusan pengadilan Korsel yang mewajibkan perusahaan Jepang memberi kompensasi kepada pekerja paksa Korsel dalam Perang Dunia II.
Namun, Seko mengingatkan bahwa Jepang tetap merupakan jawara dalam hal perdagangan bebas. Restriksi ekspor fluorinated polyimide, photoresist, dan hydrogen fluoride semata-mata berkaitan dengan isu keamanan.
”Di tengah dunia saat proteksionisme menguat, Jepang adalah juara perdagangan bebas,” tegas Seko.
Meski demikian, menurut dia, di bawah perjanjian internasional, pemerintah Jepang tetap bertugas untuk melakukan pencegahan keamanan terkait teknologi yang dapat digunakan untuk produk militer.
Saat menjadi tuan rumah Pertemuan Puncak G-20 bulan lalu, Jepang menunjukkan sikapnya yang mendukung multilateralisme dan perdagangan bebas. Dukungan terhadap perdagangan bebas itu disampaikan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dalam komunike KTT G-20, yang digelar di tengah situasi perang dagang antara AS dan China, yang ditandai dengan penerapan tarif impor.
Mengecam
Korsel tentu saja mengecam tindakan Jepang. Menurut Seoul, apa yang dilakukan Tokyo sungguh-sungguh merupakan pelanggaran aturan perdagangan global.
”Hal ini merupakan pembalasan ekonomi terhadap putusan Mahkamah Agung Korsel,” tutur Menteri Perdagangan, Industri dan Energi Korea Selatan Sung Yun-mo.
Menurut dia, langkah restriksi ekspor bertentangan dengan prinsip-prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Karena itu, pemerintah Korsel akan merespons aksi Tokyo itu berdasarkan hukum dalam negeri serta internasional, yang bisa saja mencakup pengajuan gugatan ke WTO.
Apa yang dilakukan Tokyo sungguh-sungguh merupakan pelanggaran aturan perdagangan global.
Pembatasan yang dilakukan Jepang itu juga mendorong Korsel untuk berusaha agar negara itu lebih mandiri. Seoul mengumumkan sedang mempertimbangkan investasi tahunan sebesar 856,6 juta dollar AS (Rp 12,1 triliun) per tahun dalam bentuk bahan dan peralatan yang digunakan dalam produksi komponen produk teknologi.
”Pemerintah berinisiatif untuk memberikan dukungan di banyak bidang, termasuk dalam bahan-bahan penting bagi industri-industri utama, diversifikasi impor, penguatan kapasitas produksi dalam negeri, dan banyak lagi,” papar Menteri Sung.
Seorang juru bicara Samsung, yang juga perusahaan pembuat cip memori terbesar di dunia, menyatakan korporasi itu masih mempelajari langkah Jepang, sehingga ia menolak berkomentar lebih lanjut. Adapun LG Display mengaku tidak menggunakan fluorinated polyimide untuk produksi massal display miliknya, yang terdapat di ponsel dan televisi. LG display juga tak melihat dampak langsung dari langkah-langkah pengendalian ekspor. Perusahaan SK Hynix menolak berkomentar mengenai apa yang tempuh oleh Jepang
Kwon Sung-ryul, analis di DB Financial Investment Co menyatakan, hasil produksi cip dan display mudah dipengaruhi oleh perubahan bahan. ”Material tersebut tidak dapat dengan mudah diganti,” katanya.
Ia memperkirakan, perusahaan Jepang menguasai 90 persen pasar bahan photoresist, dan membentuk 70 persen masing-masing pasar fluoride polyimide dan hydrogen fluoride dengan kemurnian tinggi.
Merugikan diri sendiri
Beberapa analis menilai Jepang kemungkinan merugikan diri sendiri karena perusahaan negara itu akan kehilangan bisnis di Korsel. Selain itu, gangguan apa pun dalam rantai pasokan dapat menjadi bumerang bagi perusahaan Jepang yang menggunakan semikonduktor atau display buatan Korsel dalam produk mereka.
“Sanksi itu tidak baik bagi perusahaan Jepang karena sektor manufaktur Jepang dan Korsel saling terkait satu sama lain. Satu-satunya pemenang dalam hal ini adalah China,” kata Atsushi Osanai, guru besar di Waseda Business School, di Tokyo, dikutip The Wall Street Journal.
Yoshihisa Toyosaki, pendiri perusahaan konsultan elektronik Architect Grand Design yang berbasis di Tokyo menilai, Jepang telah bertaruh bahwa langkah itu menimbulkan kerugian atas Korsel lebih besar, ketimbang dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh Korsel terhadap Jepang. Bagaimanapun, langkah itu sesungguhnya mengandung risiko terhadap Jepang.
Analis cip di IwaiCosmo Securities, Kazuyoshi Saito, menyatakan, langkah pembatasan ekspor yang ditempuh Jepang bisa memiliki dampak negatif jangka pendek pada produsen negara itu. Menurut dia, seperti dikutip japantimes.co.jp, pengaruh tak menggembirakan ini terutama bagi perusahaan Jepang yang penjualannya ke produsen utama Korsel merupakan 10-20 persen dari keseluruhan penjualan mereka.
Kita tunggu bagaimana Jepang dan Korsel menyelesaikan perselisihan di antara mereka. Perbedaan pandangan Jepang-Korsel mengenai penyelesaian masalah di masa lalu diharapkan tidak sampai menambah rumit kondisi dunia di tengah adu tarif China-AS.