Samsudin Dongeng Keliling Demi Satwa Langka
Tiga tahun terakhir Samsudin (47) bersepeda atau jalan kaki dari kota ke kota untuk mendongengkan pelestarian lingkungan. Nyaris di setiap kota yang disinggahi, ia memperoleh pengalaman tak terduga. “Semua pengalaman itu makin menguatkan tekad saya untuk meneruskan kampanye perlindungan satwa,” katanya.
Di tengah bekapan udara yang gerah, Jumat (5/7/2019) siang, Samsudin mondar-mandir di kawasan Palmerah Selatan, Jakarta. Ia mengenakan pakaian pangsi hitam dipadu ikat kepala dari kain batik berwarna coklat dan sandal jepit. Ia menggendong kotak kardus ukuran besar bertuliskan Dongeng Keliling Selamatkan Satwa Langka Indonesia. Tanpa kotak itu, orang mungkin akan mengira dia tukang obat keliling.
Dengan ceria ia mengatakan ia ingin mendongeng pada sejumlah wartawan di kawasan Palmerah. Ketika kesempatan itu diberikan, ia langsung membuka kotak besar miliknya dan mengeluarkan wayang dari kardus yang berbentuk satwa-satwa langka. Ia mulai mengoceh tentang badak bercula dua yang terancam perburuan liar. Lalu, ia mengeluarkan beberapa wayang berbentuk anak-anak yang berusaha menyelamatkan si badak dari jerat yang dipasang pemburu.
Di akhir dongeng ia menegaskan, “semua satwa berperan dalam kelestarian lingkungan kita. Jika tidak ada lebah, tidak ada penyerbukan, dan manusia mungkin mati kehabisan makanan.”
Dongeng semacam itu biasa Samsudin bawakan selama tiga tahun terakhir berkeliling ke kota-kota di Indonesia. Setiap ada anak-anak berkumpul di sebuah tempat, ia menghentikan perjalanannya dan mulai mendongeng tentang satwa. Ia juga masuk ke sekolah-sekolah dan meminta kesempatan mendongeng untuk para siswa.
Kalau sedang keliling di satu kota dan jarak tempuhnya kurang dari 200 kilometer, saya jalan kaki
Perjalanan keliling kota di Indonesia itu, Samsudin lakukan dengan sepeda atau berjalan kaki. Ia berpindah ke pulau lain dengan pesawat dan meneruskannya aktivitasnya dengan sepeda atau jalan kaki. Dia biasa bersepeda mulai matahari bersinar hingga pukul 10.00. Setelah itu ia mendongeng dan bersepeda lagi ke kota lain mulai pukul 15.00-21.00. “Kalau sedang keliling di satu kota dan jarak tempuhnya kurang dari 200 kilometer, saya jalan kaki,” katanya.
Di beberapa kota, ia bersepeda ditemani sejumlah sukarelawan perlindungan satwa atau aktivis LSM. Namun, kadang ia mesti bersepeda sendirian, menyusuri jalan yang di beberapa titik amat sepi dan rawan kejahatan. “Waktu dari Jambi ke Medan saya bersepeda sendirian karena tidak ada tim lokal yang bisa menemani.”
Selama melakoni dongeng keliling, ia mengaku dibantu banyak aktivis LSM Alert; WWF Bengkulu, Pekabaru, Aceh; Ulayat Bengkulu, ZSL Jambi; sukarelawan; wartawan; dan para dermawan yang memberikan donasi. Di Yogyakarta, ia sempat kehabisan uang. Di dompetnya tinggal tersisa selembar uang Rp 50.000. Ia bingung karena uang itu tidak akan cukup untuk melanjutkan perjalanan ke Malang, bahkan untuk makan beberapa hari. “Tapi tiba-tiba ada uang masuk Rp 750.000 dari dermawan, mungkin dari para aktivis yang mengetahui kampanye saya. Saya pun bisa melanjutkan perjalanan ke Malang untuk mendongeng tentang perlindugan satwa.”
Guru
Sebelum terjun sebagai aktivis perlindungan satwa, Samsudin bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah di Indramayu dari tahun 2012 hingga 2016. Ketika mendapat tugas mengajar Bahasa Indonesia, ia mulai memanfatkan kemampuannya mendongeng yang ia pelajari secara otodidak. Tujuannya agar siswa tidak bosan dengan mata pelajaran tersebut. Ia juga mendorong siswa untuk mempraktikkan pengetahuannya berbahasa Indonesia dengan menulis surat. Ia meminta siswa menulis surat kepada presiden.
“Saya ajak siswa bersepeda ke Kantor Pos untuk mengirim sendiri surat itu. Perangkonya saya yang belikan,” ujar Samsudin yang sejak mahasiswa bergelut di dunia aktivis.
Enam bulan kemudian, ternyata surat tersebut direspon oleh Kantor Kepresidenan dengan mengonfirmasi mengenai persoalan-persoalan yang dikelukan siswa. Setelah itu, Kantor Kepresiden memberikan beberapa instruksi untuk memperbaiki keadaan. Hal itu ternyata tidak menyenangkan pejabat lokal.
“Kami disangka mengadukan persoalan langsung ke presiden. Sementara saya gemas karena instruksi tidak dilaksanakan. Saya pun ngoceh di forum media sosial dan membuat sekolah ketakutan.”
Akhirnya Samsudin memilih keluar dari sekolah tersebut dan merintis gerakan literasi melalui Rumah Baca Bumi Pertiwi bersama teman-temannya.
Pada 2016, ia bertemu seorang temannya yang bekerja di sebuah LSM perlindungan satwa di Jakarta. Teman tersebut kemudian mengenalkan Samsudin dengan Marcellus Adi, dokter hewan yang meneliti badak cula satu dan aktif di LSM Alert. Marcellus banyak bercerita tentang gerakan perlindungan satwa langka.
Seketika itu juga, Samsudin mengusulkan gerakan kampanye langsung kepada masyarakat yang menurutnya lebih efektif. “Karena saya punya sepeda, saya tawarkan kampanye keliling dengan sepeda dari kota ke kota. Supaya menarik, materi kampanye dibungkus dengan dongeng.”
Lima bulan kemudian, pada April 2016, program itu kampanye itu dijalankan. Memanfaatkan momen Hari Bumi, Samsudin memulai kampanye keliling dari Kantor Lingkungan Hidup di Jakarta. Ia bergerak dengan sepeda menuju Banten, Taman Nasional Bukir Barisan Lampung, dan berakhir di Jambi. Perjalanan berlangsung selama 1,5 bulan. “Lebih dari 1,5 bulan, istri dan anak saya protes ha ha ha.”
Perjalanan berikutnya dimulai dari Jambi, Pekanbaru, hingga Medan. Karena kondisi fisik Samsudin sempat menurun, ia melanjutkan perjalanan ke Aceh dengan mobil. Setelah Sumatera, ia melompat ke Kalimantan Timur. Lalu, ia melompat lagi ke Jawa menyusuri beberapa kota mulai Tangerang Selatan, Bekasi, Purwakarta, Cirebon, Kebumen, Yogyakarta, hingga Malang.
Di setiap kota yang dilewati, Samsudin biasanya singgah ke sekolah-sekolah untuk mendongeng tentang satwa dengan media wayang dari kardus. Dia kenalnya satwa-satwa langka dan pentingnya melindungi mereka dengan bahasa yang mudah diterima anak-anak. Ia juga menyelipkan isu tentang toleransi dan harmoni.
“Kadang saya berhenti di jalan saat melihat anak-anak berkumpul dan mendongeng untuk mereka. Saya bangga ketika anak-anak mau berinteraksi, antre minta tanda tangan, bahkan ada yang minta saya menuliskan pesan untuk mamanya.”
Namun, ia lebih senang lagi ketika anak-anak itu membuat wayang sendiri dari kardus dan mulai ikut mendongeng tentang perlindungan satwa. “Itu artinya kampanye yang saya sampaikan mereka ingat dan sebarkan lagi kepada orang lain.”
Disangka culik
Di setiap perjalanan yang ditempuh, Samsudin mendapat banyak pengalaman. “Saya menyaksikan bagaimana Indonesia yang sesungguhnya. Indonesia yang indah , kaya, dan masyarakatnya suka menolong. Saya membagi pengetahuan, tapi juga mendapat banyak pengetahuan.”
Saat itu ada seorang ibu berteriak, “anak-anak itu mau dibwa ke mana? Mau diculik ya
Tidak hanya pengalaman menyenangkan yang ia peroleh. Di beberapa daerah, ia mendapatkan pengalaman yang kurang mengenakkan bahkan mengerikan. Ketika berkeliling di daerah Ujungkulon, Banten, ia sempat mengajak anak-anak untuk mencari bahan-bahan dari alam untuk dibuat kolase. “Saat itu ada seorang ibu berteriak, “anak-anak itu mau dibwa ke mana? Mau diculik ya?. Buat saya teriakan itu sangat membahayakan saya. Beruntung persoalan bisa diatasi.”
Di beberapa kota lainnya, ia pernah diusir petugas keamanan karena ia berbaju seadanya dan terlihat kumuh. “Saya bilang saya sudah dijadwalkan dongeng di lembaga itu, tapi saya malah ditertawakan. Saya juga pernah diusir karena dikira akan jualan wayang di sebuah sekolah ha ha ha,” ceritanya.
Pengalaman itu memberi pelajaran penting buat Samsudin. Pertama, dia tidak boleh lekas marah ketika diusir atau disepelekan orang. Ketika ia marah, maka emosinya akan memuncak dan ia tidak akan bisa mendongeng tentang kebaikan. Ia juga sadar bahwa gerakannya harus mendapat dukungan banyak pihak sehingga tidak terjadi banyak kesalahan.
“Dukungan media sangat penting buat saya. Ketika saya muncul di media, orang akan mengenal saya dan orang sudah tahu apa yang akan saya lakukan,” katanya.
Saat ini, Samsudin sedang merancang perjalanan berikutnya. Ia belum tahu akan berkeliling ke daerah mana saja. Ia belum memiliki dana yang cukup untuk membeli tiket pesawat, bekal selama bersepeda atau berjalan kaki ke beberapa daerah. Ia tenang-tenang saja. Bahkan saat ditanya bagaimana ia menafkahi keluarganya selama berkeliling mengampanyekan perlindungan satwa, dia senyum saja.
"Selama niat saya baik, semesta akan mendukungnya. Mestakung!” katanya.
Samsudin
Lahir: Indramayu, 8 September 1971
Istri: Uswatun Hasanah
Anak: Sofia Amelia Suryani
Pendidikan:
- SD I Lohbener
- SMP I Lohbener
- SMA I Indramayu
- Universitas Darul Ulum Jombang (1994-1996)
- Jurusan Eko Manajemen, Universitas Wisnu Wardhana (1996-1999)