Watu Pinawetengan, Ingatan Kebaikan Nenek Moyang
Di Minahasa, Sulawesi Utara, ingatan terhadap nenek moyang terus dijaga. Mereka yakin, perbedaan dan kebudayaan adalah karunia Tuhan.
Fokus perhatian ratusan pengunjung Festival Watu Pinawetengan 2019 tertuju pada delapan pemuda yang berdiri mengelilingi batu besar yang merupakan situs budaya Watu Pinawetengan, Minggu (7/7/2019). Para pemuda itu memakai pakaian penari kabasaran berwarna merah, lengkap dengan aksesori bulu-bulu burung, tengkorak julang Sulawesi, serta monyet hitam Sulawesi.
Tiba-tiba, tubuh seorang pemuda yang berdiri di depan batu bergetar, seperti kejang. Matanya ditutupi semacam topi adat. Sambil membungkuk, pemuda itu mulai bicara dalam bahasa sub-etnis Minahasa.
Suaranya seperti sedang tercekik. Ia meraih tangan pemuda lain satu per satu sembari membisikkan kata-kata. Lalu, dia menyemburkan semacam cairan kemerahan yang diminumnya dari sepucuk bambu.
Tiba-tiba, tubuh seorang pemuda yang berdiri di depan batu bergetar, seperti kejang.
Sesekali pemuda lain membacakan cuplikan ayat-ayat Alkitab, setelah dibisiki oleh pemuda yang sedang berada di dimensi lain itu. Ayat-ayat tersebut berkisah tentang penciptaan manusia.
Air muka Yosua (21), salah seorang pengunjung festival, tampak takjub dan serius. Namun, dia tak kaget dengan fenomena mistis yang dilihatnya. Setiap tahun, komunitas sub-etnis Tombulu yang diikutinya pergi berziarah ke situs budaya Watu Pinawetengan.
”Hari ini tanggal 7 bulan 7 (Juli), bagus untuk ziarah,” kata Yosua.
Menurut dia, pemuda yang ”kesurupan” itu dimasuki leluhur dari sub-etnisnya. Kata-kata yang disampaikan adalah wejangan untuk kehidupan komunitas sub-etnis.
”Torang (kami) minta saran dari leluhur supaya bisa mengatur apa yang perlu diatur dalam kehidupan,” ujarnya.
Ari Ratumbanoa, juru rawat situs Watu Pinawetengan, mengatakan, ritual yang dilakukan di sana bertujuan memanggil leluhur setiap sub-etnis Minahasa. Pemuda yang seperti kesurupan itu menjadi mediator antara leluhur dan masyarakat masa kini.
”Leluhur akan memberikan saran-saran yang baik. Jadi, ini untuk memanggil roh baik, bukan roh jahat,” katanya.
Adapun situs Watu Pinawetengan berbentuk batu besar sepanjang sekitar 4 meter, lebar 2 meter, dan tinggi 1,5 meter. Situs tersebut berada di Desa Pinabetengan, Tompaso Barat, Kabupaten Minahasa, Sulut.
Di atas situs terdapat garis-garis gambaran tangan manusia. Di antaranya ada gambar menyerupai manusia. Batu ini ini merupakan prasasti bukti perundingan sembilan tonaas atau kepala sub-etnis Minahasa untuk membagi daerah kekuasaan. Sembilan sub-etnis Minahasa itu meliputi Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan Ratahan, Panosakan, Bantik, dan Babontehu.
Menurut cerita yang tertulis di situs budaya itu, orang-orang di tanah Minahasa keturunan Toar dan Lumimu’ut sepakat pindah dari permukiman pertama mereka yang disebut Tu’ur Intana. Perpindahan itu dipicu berbagai bencana beruntun di sana sehingga mereka harus mencari tanah penghidupan yang baru.
Sesuai petunjuk burung celepuk sulawesi (Otus manadensis), yang dikenal sebagai manguni atau simbol yang istimewa di Minahasa, mereka menuju arah terbit matahari sampai tiba di perbukitan permai yang dinamakan Tonderukan. Sembilan tonaas pun berunding di atas sebuah batu besar hingga tercapai kesepakatan. Tanah baru yang mereka tempati harus dibagi bersama dengan adil, tetapi tetaplah milik bersama suku Minahasa.
Karena itulah, batu tersebut dikenal sebagai Watu Pinawetengan. ”Watu” artinya batu, ”pinawetengan” artinya pembagian. Jadi, batu ini merupakan hasil mufakat semua sub-etnis di Minahasa.
”Dulu, batu ini adalah mazbah agung yang disebut tumotowa, tempat pemujaan Opo Wanantas atau Tuhan dalam adat Minahasa. Sekarang, tiap sub-etnis, pemuka adat, dan pemuka agama masih sering membuat upacara adat di sini untuk menghormati leluhur,” kata Ari.
Ziarah
Hingga kini, warga dari sembilan sub-etnis masih sering berziarah ke Watu Pinawetengan untuk melaksanakan ritual atau berdoa. ”Torang sekarang Kristen, tapi ndak boleh lupa dengan asal-usul dan akar kebudayaan sebagai orang Minahasa,” kata Yosua.
Peziarah lain, Felicia Lasut (30), berdoa dengan dupa. Penganut Khonghucu ini baru dua kali berziarah ke Watu Pinawetengan. Namun, keluarganya rutin berziarah sekali sebulan.
”Sebenarnya ndak tentu (kapan mau ziarah). Tetapi, torang memang mau ziarah karena panggilan hati untuk mengingat leluhur, tidak ada alasan lain,” kata Felicia.
Ari mengatakan, peziarah datang silih berganti. Mereka datang dari berbagai agama, baik Kristen, Buddha, Khonghucu, maupun Islam. Saat ritual pun, tak jarang mereka juga membaca kitab agamanya masing-masing.
Torang sekarang Kristen, tetapi ndak boleh lupa dengan asal-usul dan akar kebudayaan sebagai orang Minahasa,
Menurut Ari, warga desa sekitar dan banyak komunitas yang tinggal jauh dari situs budaya tetap menaruh hormat pada adat istiadat. Tradisi Minahasa yang rutin dilakukan tidak menggerus iman dan ketakwaan masyarakat. Sebab, keyakinan mereka tetap kepada Sang Pencipta, bukan kepada berhala atau roh-roh jahat. Ini terbukti dari pembacaan ayat kitab suci dalam ritual di Watu Pinawetengan.
Posisi Watu Pinawetengan bagi suku Minahasa pun semakin kokoh dengan diadakannya Festival Watu Pinawetengan oleh Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara Pa’dior. Ketua Yayasan Pa’dior Inspektur Jenderal (Purn) Benny Mamoto mengatakan, sempat ada keraguan untuk memulai festival ini pada 2007 karena anggapan praktik mistis.
Kendati begitu, adat istiadat Minahasa perlu terus dilestarikan bagi kehidupan generasi masa depan. Beberapa pemuka agama sudah pernah melaksanakan upacara adat (di Watu Pinawetengan), seperti Ketua Umum Gereja Masehi Injili di Minahasa WA Roeroe. Tokoh-tokoh agama turut berperan sehingga budaya tidak dianggap negatif,” katanya.
Dari Watu Pinawetengan, bangsa Indonesia bisa belajar melestarikan budaya sekaligus menjaga kearifan lokal. Salah satu nilai yang dikandung batu tersebut adalah toleransi dalam perbedaan. Agama dan budaya pun selalu beriringan mengajarkan yang baik bagi manusia.
”Ketika ada konflik, para tonaas berunding dan mencapai kesepakatan, tetapi menyatakan tetap mina’esa, artinya menjadi satu. Ini sesuai dengan konteks kebangsaan kita. Ada yang ingin memecahnya menjadi benar dan salah. Padahal, kebudayaan dan perbedaan adalah karunia Tuhan,” ujar Benny.