Pemprov DKI Jakarta menyerukan aparatur sipil negara di Ibu Kota lebih sering menggunakan angkutan umum. Seruan ini digalakkan melalui gerakan #7dayschallenge agar memberikan dampak positif pada peningkatan kualitas udara.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyerukan aparatur sipil negara di Ibu Kota lebih sering menggunakan angkutan umum. Seruan ini digalakkan melalui gerakan #7dayschallenge agar memberikan dampak positif pada peningkatan kualitas udara. Diperkirakan 75 persen polusi udara di Ibu Kota berasal dari transportasi darat.
Mulai Senin, 8 Juli 2019, Pemprov DKI Jakarta menggelar kampanye #7dayschallenge. Kampanye ini dibuat untuk mengajak aparatur mengurangi polusi di Jakarta dengan beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Mereka juga diminta untuk aktif mengabadikan pengalamannya di media sosial agar bisa memengaruhi masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Adapun pengalaman itu dapat dibagikan dengan tanda pagar (tagar) #7dayschallenge dan #Jakartabersih.
”Kampanye #7dayschallenge ini menjadi ajang yang mengajak ASN (aparatur sipil negara) dan warga untuk mengoptimalkan penggunaan kendaraan umum. Nanti, gerakan ini juga akan disosialisasikan kepada suku dinas, kecamatan, kelurahan, serta komunitas masyarakat setempat,” kata Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Isnawa Adji, Rabu (10/7/2019), di Jakarta.
Saat ini, jumlah aparatur yang menggunakan kendaraan umum belum banyak. Di Pemerintah Kota Jakarta Selatan, misalnya, ujar Isnawa, dari sekitar 900 karyawan, baru 20-30 persen yang menggunakan kendaraan umum atau fasilitas bus antar jemput yang disediakan pemerintah.
Imbauan menggunakan transportasi publik juga disampaikan Wakil Wali Kota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim saat apel pagi, Senin, di kantornya. Ia menekankan pentingnya beralih ke kendaraan umum karena kualitas udara di Jakarta merupakan salah satu yang terburuk di dunia.
Situs AirVisual pada Rabu ini memosisikan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk nomor tiga sedunia setelah Delhi, India, yang berada pada posisi pertama dan Santiago, Chile, pada posisi kedua. Rabu sore, kualitas udara di Jakarta dikategorikan ”tidak sehat untuk grup sensitif” (unhealthy for sensitive groups), dengan nilai AQI sebesar 122.
Menurut Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Agung Pujo Winarko, hingga 75 persen pencemaran udara bersumber dari transportasi darat. Di Jakarta, jumlah kendaraan roda empat sekitar 3,5 juta dan kendaraan roda dua 13 juta.
Meskipun pemerintah terus membenahi dan meningkatkan ketersediaan transportasi umum, sayangnya belum semua wilayah terjangkau oleh transportasi umum. Perpindahan antarmoda transportasi umum juga sering kali dianggap merepotkan dan memerlukan lebih banyak waktu. Akibatnya, sejumlah besar warga masih memilih menggunakan kendaraan pribadi karena lebih mudah dan cepat.
Seorang aparatur yang bekerja di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, dan tinggal di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, misalnya, memilih untuk pergi dan pulang dari kerja menggunakan sepeda motornya. Hal itu dia lakukan karena transportasi umum belum menjangkau tempat tinggalnya. Halte bus masih cukup jauh atau 10-15 menit waktu tempuh dengan sepeda motor.
”Transportasi di Jakarta sudah oke, tetapi masih sering kena macet kalau naik bus. Selain itu, belum ada bus yang sampai tempat tinggal saya. Jadi, sehari-hari saya menggunakan sepeda motor,” ujarnya.