Seorang pembeli bertransaksi dengan penjaja kios kerajinan di Nadi, Fiji, pada awal Mei 2019. Selembar 100 dollar AS berpindah tangan untuk 15 lembar pembatas buku berbahan serat kayu buatan tangan perajin Fiji.
Saat si pembeli hendak beranjak dari kios yang didirikan di dekat hotel tempat Pertemuan Tahunan ke-52 Bank Pembangunan Asia (ADB) tersebut, penjual di kios itu menahannya. Rupanya, penjual tersebut hendak membuat nota jual-beli yang akan diberikan kepada pembeli dan ditunjukkan kepada perajin.
Alasan penjaja di kios kerajinan itu sekilas terdengar sederhana, yakni agar perajin Fiji tahu dan bangga bahwa produk hasil karya mereka laku dijual. Apalagi, ada catatan khususnya, produk tersebut dibeli orang asing.
Dalam salah satu dialog di ruang pertemuan yang dihadiri ratusan peserta dari berbagai negara, salah seorang menteri Fiji berpendapat, pengembangan sektor pariwisata harus dapat memberdayakan banyak warga, termasuk perajin. Ibararnya, pariwisata mesti memberi manfaat bagi sebanyak-banyaknya masyarakat di daerah atau negara tersebut.
Apalagi, tambah menteri itu, banyak juga produk kerajinan yang dijual di Fiji sebenarnya buatan China dan Filipina. Peserta dialog di sela-sela Pertemuan Tahunan ADB itu pun tertawa.
Faktanya, produk kerajinan China memang mudah ditemukan di banyak destinasi wisata di berbagai negara. Kejelian pelaku usaha China membidik dan menggarap pasar memang tak terbantahkan. Kemampuan membidik pasar ini layak untuk ditiru.
Apalagi, ada pandangan yang menyebutkan, peluang Indonesia menggarap pasar ekspor kerajinan terbuka lebar. Namun, dengan catatan, kita mampu memberdayakan segenap potensi dan fokus dalam mengejar tujuan.
Kementerian Perindustrian mencatat, ada 700.000 unit usaha kecil menengah (UKM) kerajinan di Indonesia yang menyerap hampir 1,3 juta orang tenaga kerja secara langsung. Jumlah ini terbilang besar.
Nilai ekspor kerajinan Indonesia pada 2018 sebesar 870 juta dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (9/7/2019), nilai itu setara dengan Rp 12,292 triliun. Nilai ini naik 0,2 persen dibandingkan dengan 2017 yang sebesar 868 juta dollar AS atau Rp 12,263 triliun.
Meski demikian, pangsa pasar produk kerajinan Indonesia hanya sekitar 1,26 persen dari total pangsa pasar dunia. Sebagai perbandingan, China mampu menguasai hampir 35 persen pangsa pasar ekspor kerajinan dunia.
Keunggulan manufaktur China dalam memproduksi barang dalam jumlah massal dan harga kompetitif tak perlu diragukan. Namun, peluang menggarap ceruk pasar kerajinan dunia masih tetap ada.
Pemangku kepentingan di Indonesia dapat mengoptimalkan keunggulan perajin industri kecil menengah (IKM) menghasilkan produk yang unik. Dengan kata lain, produk tersebut bukan produk massal. Karakteristik produk seperti ini mampu diandalkan dalam mengisi pasar kerajinan dunia.
Indonesia mestinya bisa memanfaatkan keragaman bahan baku, di antaranya kayu, logam, tekstil, dan batu.
Kini, saatnya Indonesia meramu dan memadukan berbagai keunggulan kompetitif dan komparatif. Keunggulan itu dapat diterapkan di berbagai sektor, termasuk di industri kerajinan, agar dapat berkiprah di pasar dunia. (C Anto Saptowalyono)