Capaian program perhutanan sosial pada masa Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla masih jauh dari target meskipun menunjukkan tren positif. Presiden didorong mengubah payung hukum dan prioritas penyelesaian konflik demi akselerasi perhutanan sosial tersebut.
Oleh
Fajar Ramadhan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Capaian program perhutanan sosial pada masa Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla masih jauh dari target meskipun menunjukkan tren positif. Presiden didorong mengubah payung hukum dan prioritas penyelesaian konflik demi akselerasi perhutanan sosial tersebut.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia merilis riset ”Studi Efektivitas Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial Selama Periode Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla” di Jakarta, Rabu (10/7/2019). Perhutanan sosial merupakan program pemerintah untuk membuka akses pengelolaan kawasan hutan secara lestari oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Walhi Boy Even Sembiring menyatakan, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2020, pemerintah menargetkan capaian perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar. Namun, target tersebut baru terpenuhi sebanyak 16,15 persen hingga Desember 2018.
” Capaiannya masih jauh dari target RPJMN. Hanya sekitar 2,048 juta hektar,” katanya di Jakarta.
Meski begitu, capaian perhutanan sosial tersebut meningkat signifikan jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Capaian perhutanan sosial selama 2007-2014 hanya sekitar 455.000 hektar.
Menurut Boy, ada sejumlah hal yang hingga kini dinilai menghambat akselerasi capaian perhutanan sosial tersebut. Pertama, lokasi-lokasi perhutanan sosial tersebut banyak yang tumpang tindih dengan kepentingan lain, seperti wilayah pengelolaan hutan.
”Dari empat provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung, ada 157.000 hektar usulan yang tidak dapat diproses,” katanya.
Hambatan selanjutnya yaitu adanya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pada tiga provinsi, yaitu Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, sebanyak 237 hektar usulan tidak bisa dilanjutkan.
”Saat ini tidak bisa dilanjutkan karena bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang ekosistem gambut tersebut,” ujarnya.
Ubah payung hukum
Program perhutanan sosial sendiri berlandaskan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial. Direktur Eksekutif Nasional Walhi Indonesia Nur Hidayati mengatakan, untuk akselerasi program perhutanan nasional tersebut, tidak hanya cukup dengan peraturan menteri.
Ia menyarankan agar payung hukumnya diubah menjadi peraturan presiden (perpres) atau peraturan pemerintah (PP). ”Kami berharap Pak Jokowi mau meningkatkannya menjadi perpres atau PP sehingga bisa berlaku lintas sektoral dan lembaga,” katanya.
Nur menambahkan, jika pemerintah fokus aksi korektif pada kebijakan masa lalu, perlu ada prioritas penyelesaian konflik. Pemerintah harus menyadari bahwa segala permasalahan berkaitan dengan agraria dan sumber daya alam amat rentan dengan konflik tersebut.
”Konflik-konflik terkait penguasaan lahan dan sumber daya alam harus jadi prioritas utama. Selama konflik tidak diselesaikan, keberadaan masyarakat akan terus diperselisihkan,” kata Nur.