Dari Keterbatasan Menuju Kemandirian
Berawal dari keterbatasan dalam mengakses sumber air, masyarakat Desa Karamatwangi, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, kini berjuang demi kemandirian. Semangat warga di kaki Gunung Papandayan itu hingga kini belum ingin berhenti.
Endik Sunarya (56), Kepala Unit Air Bersih Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes Karamatwangi, bersabar menunggu beberapa tukang yang memperbaiki pipa yang bocor di pinggir jalan. Embusan angin kencang dan hawa dingin pegunungan di Desa Karamatwangi, Sabtu (6/7/2019) siang, tidak menghalangi niat untuk segera mengalirkan kembali air ke rumah-rumah warga.
Hampir dua minggu terakhir Endik mendapat laporan bahwa debit air ke rumah warga sangat kecil. Setelah dicek ternyata satu bak penampungan dan pipanya bocor. ”Pipa bocor karena sering mendapat tekanan dari kendaraan yang melintasi jalan di atasnya. Debit air besar juga memengaruhinya,” kata Endik.
Ia memperkirakan biaya perbaikan itu mencapai Rp 3 juta. Pendanaan perbaikan itu diambil dari kas BUMDes.
Keberadaan penampungan air itu dibangun sejak 2015 untuk menjawab kesulitan warga dalam mendapatkan air bersih. Tinggal di ketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut, sumber air ternyata tak mudah didapat. Sumber air terdekat berada sekitar 11,5 kilometer dari permukiman.
Bertolak dari kesulitan mengakses air bersih itu, pemerintah desa sepakat untuk fokus menyediakan dan mengelola air bersih. Selain dapat menolong warga yang selama ini kesulitan air, pengelolaan yang baik berpotensi memberikan pemasukan bagi desa.
Sejumlah proyek infrastruktur, baik dukungan dari dana APBN, APBD Provinsi Jabar, maupun APBD Kabupaten Garut, pun diarahkan untuk membangun jaringan pipa atau pipanisasi. Jaringan dibangun mulai dari sumber air di kawasan Tegal Bungbrun, bak kontrol, bak penampungan, hingga ke rumah-rumah warga sepanjang 11,5 km. Program pipanisasi itu menelan biaya sekitar Rp 900 juta.
Hasilnya positif. Setelah pipanisasi tuntas tahun 2016, air mengalir ke rumah warga. Saat ini, pelanggan tercatat 630 orang, semua warga Karamatwangi, dengan biaya pemakaian Rp 1.000 per meter kubik. Pemasukan dari pengelolaan air dipakai pula untuk kegiatan operasional, seperti pemeliharaan dan perbaikan-perbaikan jika terjadi kerusakan. Saat musim kemarau seperti saat ini, debit air masih saja tinggi.
Untuk memaksimalkan pelayanan, menurut Kepala Desa Karamatwangi Rana Kurnia (40), yang juga penanggung jawab BUMDes, pendanaan air bersih dibantu dana desa sejak 2017.
Berdasarkan data Desa Karamatwangi, alokasi dana desa untuk pengembangan bisnis BUMDes tahun 2017 sebesar Rp 50 juta, Rp 120 juta (2018), Rp 50 juta (2019). Untuk instalasi air bersih, rata-rata alokasinya sekitar 10 persen.
Sekarang, unit bisnis air bersih memberi pendapatan bersih Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan. ”Kami menargetkan menambah pelanggan sampai 2.300 orang, menjangkau desa lain. Rencananya debit air ditambah dengan mencari sumber air baru,” kata Rana.
Kopi Aceng
Selain air bersih, BUMDes Karamatwangi juga punya andalan lainnya, yaitu pengelolaan kopi. Direktur BUMDes Karamatwangi Siti Rosdiana (21) mengatakan, potensi kopi di desa itu sangat besar. Luas lahan kopi mencapai 159 hektar milik Perhutani dan 20 hektar milik warga. Pada masa puncak panen, produksi kopi sedikitnya 1.000 ton buah kopi merah.
Unit kopi BUMDes Karamatwangi dibuat untuk menjawab rendahnya harga buah kopi merah petani. Tengkulak hanya membeli Rp 3.000-Rp 5.000 per kilogram. Padahal, harga di pasaran bisa mencapai Rp 7.000-Rp 8.000 per kg. ”Harganya bisa lebih rendah jika petani pakai sistem ijon. Untuk mencegah hal itu, kami yang membeli kopi petani sesuai harga pasar,” ucapnya.
Setelah unit kopi terbentuk, BUMDes mengajukan proposal bantuan ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, yang selanjutnya memberikan mesin pengolahan kopi. Pemkab Garut juga membantu membangun gedung pengolahan kopi.
Sejak 2018, bisnis kopi mulai dijalankan BUMDes dengan produk andalan kopi bubuk Aceng. Selain itu, juga membuka kedai kopi Aceng di tempat wisata Cisurupan, Garut.
BUMDes pernah mendapat tawaran dari pengusaha Jakarta dan Banten untuk mengekspor kopi ke beberapa negara di Timur Tengah. Namun, tawaran itu belum bisa dipenuhi karena kemampuan BUMDes dalam menyerap panenan petani hanya 100 ton buah kopi merah.
”Apabila tawaran itu diterima, kami harus lebih banyak menyerap kopi petani. Itu jelas perlu modal besar. Untuk satu kontainer saja, kapasitasnya mencapai 8 ton. Kami sedang mengusahakan cara terbaik menuju ke sana,” katanya.
Berkembang
Sejumlah inovasi yang dibuat BUMDes memberikan hasil baik. Pendapatan asli desa tahun 2018 sebesar Rp 25 juta. Tahun ini ditargetkan bisa meningkat menjadi dua kali lipat. Salah satunya lewat pembuatan air minum dalam kemasan. Mesin pengolah air minum seharga Rp 12 juta serta lahan dan gedung untuk unit bisnis ini disiapkan.
Produk air kemasan dengan merek KaramatQua sudah diuji di laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Garut. Hasilnya adalah aman dikonsumsi. Kini, BUMDes tengah mengurus perizinan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan. Begitu izin edar terbit, produk segera dipasarkan di sekitar Karamatwangi dan Kecamatan Cisurupan.
BUMDes Karamatwangi juga tengah mengembangkan usaha agrowisata, memanfaatkan potensi Taman Wisata Alam Papandayan. Agrowisata dibuat memanfaatkan tanah desa seluas 2 hektar, di antaranya dengan membangun bungalo, taman stroberi, bunga, dan taman kelinci. Ditargetkan rampung tahun 2020, di lokasi itu juga akan dibangun restoran dan kedai kopi.
”Sasarannya wisatawan lokal dan asing. Kami ingin membangun desa dengan kemandirian warga,” kata Kepala Unit Agrowisata BUMDes Karamatwangi Jajang Hermawan (37), Karamatwangi menjadi contoh di tengah keterbatasan. Semua dilakukan bersama dan hasilnya dinikmati bersama.