Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan peninjauan kembali dari Baiq Nuril memiliki dimensi yang tidak hanya kasus hukum pidana semata. Terdapat dimensi kepentingan negara yang terkena imbasnya, yaitu prinsip antidiskriminasi. Oleh karena itu, pemberian amnesti oleh Presiden sebagai upaya hukum terakhir harus segera dilaksanakan demi tegaknya prinsip antidiskriminasi.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan peninjauan kembali dari Baiq Nuril memiliki dimensi yang tidak hanya kasus hukum pidana semata. Terdapat dimensi kepentingan negara yang terkena imbasnya, yaitu prinsip antidiskriminasi. Oleh karena itu, pemberian amnesti oleh Presiden sebagai upaya hukum terakhir harus segera dilaksanakan demi tegaknya prinsip antidiskriminasi.
”Kasus Nuril tidak bisa dilihat sebagai kasus hukum pidana biasa yang berdiri sendiri, tetapi berdimensi ’kepentingan negara’ yang luas. Maksudnya adalah antidiskriminasi,” kata Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) Widodo Dwi Putro dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Rabu (10/7/2019).
Dalam hal ini, kepentingan negara sesungguhnya bukanlah soal apakah terpidana merupakan narapidana politik dan juga bukan soal apakah pasalnya adalah pasal politik atau kejahatan politik. Melainkan, lebih pada persoalan dimensi kepentingan negara dari substansi perkaranya.
Widodo menjelaskan, ada dua alasan mengapa perkara ini sangat kuat berdimensi kepentingan negara. Pertama, berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2018, kekerasan terhadap perempuan meningkat 14 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 406.178 kasus. Dari jumlah itu, 3.915 kasus adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah publik yang 64 persennya adalah kekerasan seksual.
Kedua, sejak 1984, pemerintah sudah berkomitmen untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Hal itu dutunjukkan dengan meratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women.
Komitmen ini kemudian diwujudkan dalam berbagai kebijakan pengarusutamaan jender ataupun pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan. ”Pertimbangan perlu diberikannya amnesti terhadap Nuril merupakan langkah hukum-politik yang penting oleh Presiden untuk menguatkan kembali komitmen ini dan menunjukkannya secara luas kepada publik,” ujar Widodo.
Kasus Nuril tidak hanya merendahkan korban pelecehan seksual, tetapi juga membuat korban dengan mudah dijerat balik sebagai sumber atau pelaku kejahatan. Penolakan PK ini dapat menjadi preseden buruk yang membuktikan rumitnya korban pelecehan seksual mencari keadilan sehingga membuat korban-korban pelecehan lain akan semakin takut bersuara.
”Untuk itu, negara kini saatnya untuk proaktif memberikan amnesti kepada Nuril sebagai jalan terakhir yang masih tersedia demi penegakan keadilan yang lebih hakiki daripada sekadar penegakan (formalitas) hukum. Jangan ragu Presiden,” kata Widodo.
Terbata-bata
Widodo menegaskan bahwa hukum di Indonesia masih terbata-bata atau gagap dalam memahami kekerasan dan pelecehan seksual. ”Putusan kasasi dan PK itu menjadi barometer bahwa kalangan terpelajar sekali pun masih awam tentang pelecehan seksual,” katanya.
Sejalan dengan itu, anggota Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika, menyampaikan bahwa instrumen hukum yang belum sepenuhnya mengakomodasi beragam bentuk kekerasan seksual menjadikan kekerasan yang tidak disertai dengan bukti kekerasan secara fisik tidak bisa dianggap sebagai kekerasan.
Dengan begitu, pelecehan seksual verbal tidak bisa dianggap sebagai pelecehan. Rekaman yang dimiliki Nuril justru menjadi barang bukti yang memberatkannya dan membuat pelaku bebas. Sejak menjadi tersangka pun Nuril telah kehilangan pekerjaan sebagai guru honorer di SMAN 7 Mataram.
”Nuril telah berjuang dan membela dirinya di tengah situasi kerja yang rentan pelecehan seksual. Jika ia tetap akan dipenjara, pelecehan seksual yang dialaminya akan selamanya diingkari dan tempat kerja akan terus menjadi tempat yang rentan pelecehan seksual,” kata Mutiara.
Pemidanaan Nuril dilakukan karena dirinya dianggap telah melakukan distribusi informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan. Dengan begitu, Nuril dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 27 Ayat 1 tentang Kesusilaan.
Atas kasus ini, Nuril dijatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara. Selain itu, Nuril juga dikenai denda Rp 500 juta pengganti tiga bulan kurungan.
Maka, selain pemberian amnesti kepada Nuril, penting juga untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diakui sembilan bentuk kekerasan, yang salah satunya adalah pelecehan seksual, baik dalam bentuk tindakan fisik maupun nonfisik.
”Selain itu, RUU ini pun memiliki keunggulan untuk melindungi korban pelecehan seksual. Salah satunya, yaitu mengakui keterangan korban, informasi elektronik sebagai alat bukti lain yang memberi peluang bagi korban untuk bisa memenuhi syarat pembuktian,” kata Mutiara.