Djenny Kogoya Melayani Warga Pedalaman Mamberamo Raya
Wanita asal Sulawesi Utara ini mengabdikan hidupnya bagi ratusan warga di pedalaman Distrik Kustra, Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Djenny Kogoya Bala terpanggil untuk memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan secara sukarela selama tiga tahun terakhir.
Djenny adalah tenaga sukarelawan yang mengabdi di Kampung Biri, Distrik Kustra, Mamberamo Raya, sejak awal Februari tahun 2016 lalu hingga kini. Dengan biaya sendiri, ia merintis hadirnya Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini Behika di Kampung Biri yang dihuni sekitar 150 keluarga. Behika adalah bahasa Biri yang berarti kasih.
Saat ditemui Sabtu (6/7/2019) siang, di kediamannya di Jalan Matoa, Distrik Sentani Kota, Kabupaten Jayapura, tampak Djenny dibantu salah satu rekan tenaga sukarelawan bernama Rolasida Sihombing, sedang memasukkan kaos dan obat-obatan di dua kardus berwarna cokelat.
Rencananya ia akan membawa kaos dan obat-obatan itu ke Kampung Biri dengan pesawat berbadan kecil dari Maskapai Yajasi pada tanggal 25 Juli 2019. Perjalanan dari Sentani ke Biri dengan pesawat Yajasi memakan waktu sekitar 90 menit.
Selain menggunakan uang sendiri, Djenny juga sering mendapatkan bantuan buku bahan ajar, biaya transportasi pesawat, vitamin dan obat-obatan dari lembaga gereja dan dermawan yang peduli dengan masyarakat kampung Biri.
Dalam setahun, Djenny hanya dua kali pulang ke rumahnya di Sentani yakni pada bulan Juni dan Desember saat liburan Natal. Di Biri, ia tinggal di sebuah rumah kayu milik tenaga misionaris yang pernah bertugas di sana.
Biasanya ia menghabiskan waktu liburan selama sebulan di Sentani. Saat berlibur, Djenny tak hanya beristirahat di rumah. Biasanya ia mengumpulkan bahan ajar pelajaran untuk para siswanya, bahan makanan untuk kebutuhannya di sana, biskuit, vitamin dan obat-obatan bagi masyarakat di Biri.
"Biasanya sebelum saya kembali ke Sentani, masyarakat sudah berpesan agar segera pulang setelah liburan telah usai. Mereka selalu menantikan kehadiran saya," tutur wanita berusia 55 tahun ini.
Di Biri, Djenny memulai kegiatan mengajar di Sekolah PAUD Behika dengan jumlah siswa sekitar 60 anak di rumahnya dari senin hingga jumat. Para siswa tak hanya dari Biri namun juga dari Kampung Wakiari. Sebanyak 20 anak dari Wakiari harus berjalan kaki selama dua jam ke Kampung Biri demi mendapatkan materi pelajaran dari Djenny.
Selain anak di PAUD Behika, Djenny juga meluangkan waktunya mengajar membaca dan berhitung bagi 45 siswa SD Biri di rumah dari Senin hingga Jumat sore. Sejak tahun 2018, dia juga mulai mengajar membaca bagi 20 ibu yang berada di Biri dari Senin hingga Rabu.
Semangat mereka untuk belajar yang memotivasi saya agar tetapi bertahan di Biri
"Anak-anak dan para ibu sangat antusias mengikuti kegiatan belajar di rumah saya. Semangat mereka untuk belajar yang memotivasi saya agar tetapi bertahan di Biri," tutur Djenny, meneteskan air mata.
Cerita pilot
Djenny memulai kegiatan pelayanan pendidikan di Biri bermula dari cerita sahabatnya bernama Nate Gordon. Nate seorang pilot asal Amerika Serikat yang pernah bertugas di Papua selama 20 tahun.
Nate adalah pilot di Maskapai Yajasi yang sering melayani rute penerbangan ke Mamberamo Raya. Nate yang telah kembali ke negaranya sejak tahun lalu menemukan masyarakat di sejumlah kampung yang minim pelayanan kesehatan dan pendidikan. Salah satunya adalah Kampung Biri.
Tahun 2015, Djenny mengikuti kebaktian di rumah Nate yang juga berada di Sentani. Di tempat itulah ia mendengar cerita Nate tentang nasib warga di pedalaman Mamberamo Raya. "Dengan meneteskan air mata, Nate menceritakan kondisi warga yang hidup dalam kemiskinan serta tidak memiliki akses mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan," ungkap Djenny.
Nate memilih menceritakan hasil temuannya ke Djenny, sebab ia tahu Djenny sering melaksanakan kegiatan sosial di Mamberamo Raya bersama pihak Gereja Injili di Indonesia (GIDI) selama 10 tahun terakhir. Djenny pun sempat tinggal dan mengajar di Kampung Taive, Distrik Mamberamo Hulu, sejak 1993 hingga 1996.
Setelah mendengar cerita Nate, Djenny belum memutuskan ke Biri. Saat itu Djenny masih bekerja sebagai tenaga pengajar mata kuliah Bahasa Inggris dan Etika di Sekolah Theologia Atas dan Kejuruan Injili (STAKIN) Sentani sejak tahun 2001.
Tuhan ingin saya mengabdikan diri bagi masyarakat di pedalaman Mamberamo Raya
Setahun kemudian, barulah ia yakin dan mengambil keputusan ke Biri. Djenny mengundurkan diri sebagai tenaga pengajar di STAKIN. "Tuhan ingin saya mengabdikan diri bagi masyarakat di pedalaman Mamberamo Raya," tutur istri dari Moury Kogoya yang telah meninggal tahun 2014.
Penuh tantangan
Pertama kali tiba di Biri tahun 2016 lalu, Djenny menemukan sejumlah fakta yang ironis bila dibandingkan dengan sejumlah kota besar di Papua seperti Jayapura. Di Biri, tak ada pelayanan kesehatan dan aktivitas pendidikan yang berjalan rutin. Hanya dua warga setempat dengan kemampuan seadanya berperan sebagai mantri. Padahal anyak warga menderita sakit seperti malaria, diare, batuk hingga gangguan pencernaan.
Di SD Biri, hanya terdapat seorang guru honorer yang juga warga setempat. Banyak anak yang putus sekolah dan tidak mengerti bahasa Indonesia, angka maupun huruf.
Warga Biri menyambut kedatangan Djenny dengan penuh sukacita. Bagi warga, Djenny bagaikan sang penyelamat di tengah kehidupan mereka yang penuh kesulitan. Selama di Biri, Djenny tak hanya memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak dan pilihan ibu. Ia juga mengobati warga yang sakit. Semua inj berkat kursus sebagai mantri yang pernah diikutinya pada tahun 1993 di Kampung Taive.
Selain minim layanan pendidikan dan kesehatan, masalah akses transportasi yang minimal juga menjadi tantangan bagi Djenny di Biri. Tak ada layanan pesawat yang rutin ke Biri. Biaya untuk menyewa pesawat berbadan kecil dari Kasonaweja, Ibu Kota Mamberamo Raya atau Sentani minimal senilai Rp 10 juta.
Seringkali Djenny harus mengutang di maskapai penerbangan langganannya hingga puluhan juta rupiah karena tak memiliki biaya untuk menyewa pesawat. Djenny pun harus menempuh waktu dua hari perjalanan dari Biri ke Kasonaweja dengan menggunakan perahu motor. Perjalanan mereka melintasi Sungai Mamberamo dengan arus yang sangat deras.
Ia juga dengan menggunakan perahu motor sering memberikan pelayanan rohani ke tujuh kampung lain yang bertetangga dengan Biri.
Sudah banyak warga yang meninggal karena perahu yang ditumpanginya tenggelam di Sungai Mamberamo. Terdapat juga banyak buaya di sungai itu. "Saat melintasi Sungai Mamberamo untuk memberikan pelayanan rohani bagi masyarakat di kampung lain, saya selalu berdoa dan berpasrah diri kepada Tuhan," kata Djenny.
Saat ini beban Djenny cukup berkurang setelah ia mendapatkan tambahan dua tenaga sukarelawan di Biri sejak Karet 2019 lalu yakni Rolasida Sihombing dan Riyaty Daily. Mereka terpanggil untuk memberikan pelayanan di Biri setelah melihat video kegiatan Djenny di salah satu media sosial.
"Selama Tuhan masih memberikan napas kehidupan , maka saya akan terus bersama warga Biri," ungkap Djenny.
Djenny Kogoya Bala
Lahir : 10 Juni 1964 di Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
Suami: Pendeta Moury Kogoya (alm)
Pendidikan
- SD GMIN Tawaang, Kecamatan Tenga, Minahasa Selatan
- SMP Negeri Tenga, Minahasa Selatan
- SMA Negeri Amurang, Minahasa Selatan
- IKIP Manado Jurusan Bahasa Inggris
- Kandidat Master Sekolah Tinggi Theologia Baptis Semarang.