Perlu Kebijakan Pemkab Banyuwangi Melahirkan Gandrung Profesional
›
Perlu Kebijakan Pemkab...
Iklan
Perlu Kebijakan Pemkab Banyuwangi Melahirkan Gandrung Profesional
Sejumlah budayawan Banyuwangi, Jawa Timur, mendesak kebijakan pemerintah kabupaten setempat untuk melahirkan gandrung profesional. Alasannya, saat ini jumlah gandrung profesional di Banyuwangi terus menyusut seiring usia para pelakunya yang kian uzur..
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Sejumlah budayawan Banyuwangi, Jawa Timur, mendesak kebijakan pemerintah kabupaten setempat untuk melahirkan gandrung profesional. Alasannya, saat ini jumlah gandrung profesional di Banyuwangi terus menyusut seiring usia para pelakunya yang kian uzur. Gandrung profesional atau dikenal gandrung terop bukanlah penari gandrung biasa. Mereka tidak sekadar menari, tetapi juga menyanyikan atau bersenandung syair-syair kuno dan mantra-mantra penyembuhan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Forum Komunikasi Seni dan Budaya Banyuwangi di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Rabu (10/7/2019). Sejumlah pelaku seni, termasuk para gandrung senior, antara lain Gandrung Temu, Gandrung Poniti, Gandrung Sanati, Gandrung Liswati, dan Gandrung Mudaiah, juga turut hadir. Usia pelaku seni ini berkisar 50-80 tahun, kecuali Mudaiah (40).
Saat ini paling dibutuhkan bukan hanya penari gandrung seperti yang ditampilkan dalam Gandrung Sewu. Justru gandrung profesional sangat diperlukan karena perannya di masyarakat Banyuwangi tidak bisa tergantikan.
Mewakili Forum Komunikasi Seni dan Budaya Banyuwangi, Sahuni mengatakan, pelaku seni dan budaya Banyuwangi memiliki keresahan yang sama terkait dengan minimnya regenerasi gandrung professional di kabupaten paling timur di Pulau Jawa ini. Ia menilai pergelaran sendratari kolosal Gandrung Sewu yang sering digelar tidak bisa menjadi jaminan lahirnya gandrung-gandrung profesional.
”Saat ini paling dibutuhkan bukan hanya penari gandrung seperti yang ditampilkan dalam Gandrung Sewu. Justru gandrung profesional sangat diperlukan karena perannya di masyarakat Banyuwangi tidak bisa tergantikan,” ujarnya.
Menurut Sahuni, selain sebagai hiburan, gandrung juga merupakan penyalur doa dan mantra serta penutur syair kuno yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Gandrung yang menjadi ikon kota Banyuwangi juga menjadi sumber tari kreasi-kreasi baru di Banyuwangi.
Oleh karena itu, para pelaku seni dan budaya Banyuwangi mendesak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi untuk menggelar pelatihan guna mencetak gandrung-gandrung profesional. Peserta pelatihan tidak hanya ditujukan untuk pertunjukan, tetapi juga benar-benar dipersiapkan untuk menjadi gandrung yang bisa menari dan menyanyi.
”Pada 2000 hingga 2005 pernah ada pelatihan gandrung. Mereka dilatih selama 40 hari oleh gandrung senior. Lalu, pada akhir latihan digelar ritual meras gandrung secara besar-besaran,” tutur Sahuni.
Meras Gandrung adalah ritual layaknya wisuda bagi seorang gandrung. Gandrung yang telah melalui ritual meras dinyatakan layak untuk tampil di depan umum.
Sahuni yakin, banyak remaja Banyuwangi yang sebenarnya ingin menjadi gandrung. Namun, mereka tidak tahu harus berguru kepada siapa dan bagaimana mengawalinya. Tidak adanya gerakan bersama untuk melahirkan generasi baru gandrung membuat remaja bingung menyalurkan keinginannya.
Forum Komunikasi Seni dan Budaya Banyuwangi berharap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi dapat kembali menggelar pelatihan gandrung di Banyuwangi. Pasalnya, saat ini gandrung profesional jumlahnya tak lebih dari 10 orang. Gandrung paling muda ialah Mudaiah yang umurnya sudah hampir 40 tahun.
”Memang sudah saatnya ada gandrung-gandrung baru yang menjadi penerus kami. Gandrung yang bisa menari dan menyanyi jumlahnya sedikit dan sudah tua. Kalau kami sudah tidak ada, gandrung hanya jadi cerita,” ujar Gandrung Poniti, salah satu maestro gandrung.
Berusaha
Secara terpisah Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi Yanuarto Bramuda mengatakan, pihaknya berterima kasih atas perhatian dan masukan dari para pelaku seni dan budaya Banyuwangi. Ia mengatakan, keprihatinan tersebut juga sudah lama dirasakan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
”Selama ini kami merasakan hal yang sama. Kami juga kebingungan bagaimana mengatasi keresahan ini. Kami bersyukur ada gagasan yang disampaikan untuk kami. Setelah ini kami akan melakukan pembahasan untuk merealisasikan hal itu,” ujarnya.
Bramuda mengatakan, jika pelatihan tersebut terlaksana, pihaknya akan merancang ritual meras gandrung sebagai ritual akbar. Pasalnya, meras gandrung tidak lagi hanya diartikan sebagai wisuda seorang gandrung, tetapi jugalahirnya gandrung sebagai ikon Banyuwangi.
Selama ini kami merasakan hal yang sama. Kami juga kebingungan bagaimana mengatasi keresahan ini. Kami bersyukur ada gagasan yang disampaikan untuk kami. Setelah ini, kami akan melakukan pembahasan untuk merealisasikan hal itu.
Kehadiran generasi baru Gandrung, lanjut Bramuda, tentunya juga harus disyukuri seluruh rakyat Banyuwangi. Dengan demikian, slogan Kota Gandrung masih layak disematkan kepada Kabupaten Banyuwangi.