Dalam usia 15 tahun, Cori Gauff menjadi peserta Wimbledon termuda sejak era terbuka tahun 1968. Tampil dengan fasilitas wild card sejak babak kualifikasi, Coco, sapaan akrabnya, lolos ke babak utama dan membuat kejutan hingga babak keempat. Idolanya, Venus Williams, dan semifinalis Wimbledon 2017, Magdalena Rybarikova, adalah para senior yang dikalahkan Coco.
”Saya tidak akan membeli mobil karena tak bisa menyetir. Saya akan membeli hoodie karena sudah dua bulan ini dilarang membeli hoodie oleh ibu, padahal saya sangat senang memakainya,” ujar Coco yang akan naik ke peringkat 150 besar dunia dari 313 setelah Wimbledon.
Petenis lain, terutama yang berada di luar peringkat 50 besar dunia, juga sangat senang mendapat hadiah dari Wimbledon meski langsung tersingkir pada babak pertama. Hadiah yang diterima dari kekalahan pada babak pertama, Rp 794 juta (naik 15,38 persen dari 2018), hanyalah 1,9 persen dari yang diterima sang juara: Rp 41,4 miliar. Namun, nilai itu sangat berarti bagi para penerimanya, seperti Brayden Schnur dan Harriet Dart.
Schnur adalah petenis putra Kanada peringkat ke-112 ATP yang dikalahkan Marcos Baghdatis pada babak pertama. Adapun Dart menjadi petenis putri tuan rumah yang bertahan hingga babak ketiga sebelum dikalahkan petenis nomor satu dunia, Ashleigh Barty.
Bagi Schnur dan Dart, tampil di Grand Slam tak hanya memberi mereka pengalaman tampil dalam turnamen level tertinggi. Tak dimungkiri, hadiah uang juga menjadi incaran Schnur, Dart, dan petenis lain yang lebih sering tampil pada turnamen level rendah, seperti ATP Challenger, WTA International, dan turnamen ITF. Hadiah dari babak pertama Wimbledon, misalnya, 2-4 kali lebih besar dari hadiah yang diterima juara ATP Challenger.
”Tentu saja, uang itu akan membantu keuangan saya dan tim saya,” kata Dart, petenis peringkat ke-182 dunia.
Schnur akan menggunakan uang tersebut untuk tambahan biaya mengikuti turnamen ATP Challenger. Setelah Wimbledon, petenis berusia 24 tahun itu akan kembali ke negaranya untuk mengikuti turnamen di Winnipeg.
”Itu adalah jumlah yang besar. Namun, Anda harus melihat semua kebutuhan saya untuk mencapai ke level ini. Saya masih harus membayar utang dan belum bisa memberi uang untuk orangtua,” ujar Schnur dalam laman resmi Wimbledon.
Sama halnya dengan para bintang, seperti Roger Federer, Novak Djokovic, Rafael Nadal, dan Serena Williams, Schnur, Dart, dan petenis profesional lain harus membiayai sendiri kebutuhan mereka. Perjalanan, akomodasi, makan, kesehatan, senar raket, dan tim pelatih adalah keperluan inti para petenis.
Standar pemenuhan kebutuhan itu pun berbeda, setara dengan pendapatan yang diterima. Jika petenis bintang memiliki standar kursi pesawat eksekutif, menginap di hotel bintang lima, dan memiliki tim pelatih lengkap, petenis kelas menengah ke bawah memenuhinya dengan standar berbeda.
Schnur, juga petenis Indonesia, Christopher ”Christo” Rungkat, tak didampingi pelatih saat mengikuti tur. ”Saya masih berusaha membentuk tim yang solid supaya bisa didampingi pelatih setiap pekan,” kata Schnur.
Dalam awal kariernya sebagai petenis profesional, petenis Jerman, Andrea Petkovic, sering menginap di hostel saat mengikuti turnamen-turnamen kecil. ”Saya pernah menginap bersebelahan dengan sekumpulan remaja yang merayakan sesuatu. Mereka bernyanyi sepanjang malam. Saya harus bertanding pukul 10.00 keesokan harinya. Saya pun kalah,” kata Petkovic dalam ESPN.
Refleksi kerja keras
Laman International Business Times pada Juni 2019 menyebut, petenis 50 besar dunia akan mengeluarkan biaya Rp 1,4-Rp 28 miliar per musim. Di luar itu, seperti yang dituturkan petenis Indonesia peringkat ke-441 dunia, Aldila Sutjiadi, dia harus mengeluarkan uang pribadi sekitar Rp 1 miliar untuk mengikuti turnamen di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Pengeluaran bisa ditekan menjadi sekitar Rp 850 juta jika hanya bermain di Asia. Namun, Aldila harus meningkatkan pengalaman dan kemampuannya dengan mengikuti turnamen di Eropa dan AS.
Berbeda dengan atlet cabang olahraga beregu, yang hampir semua kebutuhannya dipenuhi tim, petenis harus mencari sendiri sumber penghasilan mereka. Selain hadiah uang dari turnamen, sponsor menjadi sumber lainnya. Seperti hadiah uang, pendapatan dari sponsor sejalan dengan prestasi setiap petenis.
Petenis AS peringkat ke-12 dunia, John Isner, bercerita, dia sering kali ditanya mengenai penghasilan sebagai petenis. Isner pun, seperti diuraikan dalam Forbes edisi Mei 2019, bercerita ketika dia mencapai hasil terbaik pada musim 2018.
Dia mendapat hadiah uang sekitar Rp 56,5 miliar setelah menjuarai ATP Miami, menjadi semifinalis Wimbledon, dan mengakhiri musim itu sebagai petenis peringkat ke-10. ”Tentu saja itu nilai yang bagus. Namun, harus diingat, petenis tak memiliki pendapatan dari gaji atau bonus rutin. Kami bahkan harus mengeluarkan uang sendiri. Saat masuk 10 besar dunia, penghasilan kami cukup baik. Tetapi, saat hanya berada di 50 atau 100 besar, apa yang diterima sangat berbeda,” tutur Isner.
Dengan kata lain, besar kecilnya nilai yang didapat petenis adalah refleksi dari kerja keras dan prestasi mereka.