Kabinet Baru Sipil, Antara Muka Lama dan Akomodasi Partai Pendukung Prayuth
›
Kabinet Baru Sipil, Antara...
Iklan
Kabinet Baru Sipil, Antara Muka Lama dan Akomodasi Partai Pendukung Prayuth
PM Thailand Prayuth Chan-ocha telah mengumumkan kabinet pemerintahan sipil yang baru, Rabu (10/7/2019). Raja Thailand menyampaikan dukungannya. Namun, sebagian kalangan menilai, kabinet itu disusun untuk melanggengkan cengkeraman militer.
Oleh
MH SAMSUL HADI/ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
BANGKOK, KAMIS — Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha telah mengumumkan kabinet pemerintahan sipil yang baru, Rabu (10/7/2019). Raja Thailand Maha Vajiralongkorn juga menyampaikan dukungannya pada kabinet yang disusun Prayuth. Namun, sebagian kalangan menilai, kabinet tersebut disusun untuk melanggengkan cengkeraman militer dan cenderung mencerminkan politik balas jasa Prayuth kepada partai-partai pendukungnya.
Prayuth, mantan Panglima Angkatan Darat dan pemimpin junta yang pertama merebut kekuasaan pada tahun 2014, dipilih menjadi perdana menteri oleh para senator yang ditunjuk militer dan para anggota DPR pascapemilu melalui sistem yang dinilai tidak fair oleh pihak oposisi. Kabinet pemerintahan sipil itu diumumkan Prayuth 108 hari setelah pemilu yang disengketakan dan pertentangan sengit di kalangan partai-partai politik negeri tersebut.
Seluruh jabatan terpenting di kabinet tersebut diberikan kepada para mantan anggota junta. Sebagian jabatan kementerian ekonomi diserahkan kepada 19 partai pendukung Prayuth di Majelis Rendah parlemen.
”Ini pemerintahan bagi seluruh rakyat Thailand,” demikian pernyataan kantor Prayuth melalui keterangan tertulis. Prayuth mengimbau para menterinya untuk bekerja ”demi kemaslahatan rakyat dan negara guna memajukan Thailand di semua sektor di tengah banyak tantangan”.
Di mata para pengkritiknya, yang diumumkan setelah ”transaksi dagang sapi” pada jabatan-jabatan penting kementerian, susunan kabinet Prayuth memperlihatkan militer gagal memenuhi janjinya untuk membersihkan politik. ”Kami kembali pada politik lama yang didorong oleh uang dan kepentingan setelah lima tahun pemerintahan militer,” kata Titipol Phakdeewanich, Dekan Fakultas Ilmu Politik Universitas Ubon Ratchathani.
Para lawan pemerintahan militer mengeluhkan bahwa sistem pemilu telah dirancang untuk memastikan para jenderal militer tetap mencengkeram kekuasaan. Para lawan junta itu juga mengungkapkan, berbagai rintangan dibuat untuk menghalangi mereka dalam pemilu 24 Maret lalu.
Partai oposisi utama mengatakan, kabinet kali ini lemah dan memberikan sinyal adanya benturan kepentingan jika melihat jabatan-jabatan menteri itu dibagi dan diberikan kepada para pendukungnya.
”Kami tidak yakin mereka akan mampu menyelesaikan persoalan rakyat,” ujar Laddawan Wongsriwong, juru bicara partai Pheu Thai, kepada kantor berita Reuters. ”Kami yakin, kabinet ini tidak akan membuat sesuatu sejauh itu,” lanjutnya.
Prayuth, selain menjabat perdana menteri, juga merangkap jabatan sebagai menteri pertahanan.
Prayuth, selain menjabat perdana menteri, juga merangkap jabatan sebagai menteri pertahanan. Jabatan menteri keuangan yang baru dipercayakan kepada Uttama Savanayana, pemimpin Partai Palang Pracharat yang mendukung Prayuth. Uttama pernah menangani departemen perindustrian dalam pemerintahan militer dan sebelumnya menduduki jabatan di sektor swasta.
Para loyalis Prayuth dalam pemerintahan militer, termasuk Prawit Wongsuwan, Somkid Jatusripitak, dan Wissanu Krea-ngam, tetap menjadi wakil PM. Anupong Paochinda masih menjabat menteri dalam negeri, sedangkan Don Pramudwinai menjabat menteri luar negeri.
Prayuth memercayakan beberapa departemen ekonomi kepada partai-partai lain dalam koalisinya. Partai Demokrat, partai tertua di Thailand yang secara tradisional berhaluan konservatif, memperoleh jabatan menteri pertanian dan perdagangan. Partai The Bhumjaithai, yang mengusung legalisasi mariyuana dalam agenda utamanya, mendapat jabatan menteri kesehatan, transportasi, dan pariwisata.
”Hal ini lebih untuk memenuhi kepentingan-kepentingan partai daripada mengangkat orang-orang tepat pada posisi yang tepat,” ujar Wanwichit Boonprong, analis politik di Universitas Rangit.
Pencabutan perintah eksekutif
Sehari sebelum mengumumkan kabinet, Selasa (9/7/2019), Prayuth mencabut puluhan perintah eksekutif khusus. Para pengkritiknya menilai, langkah itu lebih untuk membangun citra menjelang transisi pada pemerintahan baru. Selasa lalu, Prayuth menandatangani pencabutan 66 dari sedikitnya 500 perintah eksekutif yang telah dikeluarkannya.
Prayuth telah memegang kontrol atas kekuasaan sejak kudeta tahun 2014. Sejak kudeta, ia memiliki kekuatan legislatif khusus yang memungkinkan dirinya mengeluarkan perintah berkekuatan hukum.
Alasan Parayuth mencabut perintah eksekutif tersebut adalah untuk menciptakan citra selama transisi menuju pemerintahan berikutnya dan mengurangi tekanan terhadap dirinya.
Namun, langkah Prayuth dinilai sebagai usaha agar seolah-olah militer melepaskan kekuasaan dan bertransisi menuju pemerintah terpilih meski pemerintahan baru itu akan tetap dipimpin oleh Prayuth dan akan melibatkan banyak anggota junta.
”Alasan Prayuth mencabut perintah eksekutif tersebut adalah untuk menciptakan citra selama transisi menuju pemerintahan berikutnya dan mengurangi tekanan terhadap dirinya,” kata Yingcheep Atchanont, Manajer Program Kelompok Pemantauan Legal iLaw.
Yingcheep menuturkan, junta telah dengan sengaja membiarkan aturan yang memungkinkan militer memengaruhi politik. Misalnya, aturan yang memungkinkan prajurit untuk mencari dan menangkap orang yang dicurigai mengancam keamanan nasional hingga tujuh hari tanpa tuduhan yang jelas. Junta sering kali menahan pengkritik di kamp militer sebagai salah satu cara untuk mengintimidasi.
Perintah eksekutif lain yang tidak dicabut oleh Prayuth adalah aturan yang memungkinkan komite untuk mengkaji dan mencabut langsung informasi daring tanpa perintah pengadilan. Junta juga memberlakukan aturan pemilihan yang memberikan Prayuth keuntungan signifikan dalam pemilu, Maret lalu, yang membuka jalan bagi Prayuth menjadi perdana menteri.
Pada 6 Juni 2019, Parlemen Thailand memilih Prayuth sebagai perdana menteri dengan perolehan suara 500 berbanding 244 suara yang diraih rivalnya, Thanathorn Juangroongruangkit, yang anti-militer.
Pemilihan perdana menteri jelas menguntungkan Prayuth karena dipilih bersamaan dengan pemilihan 500 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 250 anggota Senat yang anggotanya ditunjuk oleh junta pimpinan Prayuth. Seluruh anggota Senat memilih Prayuth kecuali Ketua Senat yang abstain.
Prayuth mengatakan, dirinya tidak akan lagi menggunakan kekuasaan legislatif khususnya, yang dikenal dengan Pasal 44. Begitu juga dengan junta setelah pemerintah baru dilantik. ”Meski kita masih memiliki waktu sebelum kabinet diambil sumpahnya, tidak pas kalau menggunakannya lagi,” ujar Prayuth. (AP/REUTERS)