Lebih dari 45 persen saluran irigasi di Jawa Barat rusak. Hal itu menjadi salah satu pemicu terbesar kekeringan yang melanda 29.913 hektar sawah pada musim kemarau tahun ini.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Lebih dari 45 persen saluran irigasi di Jawa Barat rusak. Hal itu menjadi salah satu pemicu terbesar kekeringan yang melanda 29.913 hektar sawah pada musim kemarau tahun ini.
Kepala Dinas Sumber Daya Air Jabar Linda Al Amin mengatakan, 46,63 persen dari 99 daerah irigasi dengan luas 77.040 hektar yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jabar dalam kondisi rusak. Kerusakan juga terjadi pada 45,31 persen dari 363.692 hektar irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Linda mengatakan, kerusakan irigasi itu disebabkan berbagai faktor, antara lain usia struktur yang sudah tua, longsoran pada tebing irigasi, dan sedimentasi. Akibatnya, irigasi tidak berfungsi optimal untuk mengalirkan air ke sawah.
Menurut Linda, sejumlah irigasi, seperti di Kabupaten Indramayu, dibangun pada zaman kolonial Belanda. Pemeliharaan jaringan irigasi juga tidak maksimal karena keterbatasan anggaran.
”Selain itu, faktor manusia juga menjadi penyebab kerusakan. Misalnya, pembobolan tanggul oleh petani supaya sawah mereka lebih dahulu terairi,” ujarnya, di Bandung, Kamis (11/7/2019).
Linda mengatakan, berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki saluran irigasi. Beronjong kawat dipasang menutup tanggul yang bocor. Sejumlah pompa juga disediakan untuk menyalurkan air ke sawah.
”Perbaikan jangka panjang dilakukan dengan merehabilitasi saluran irigasi menggunakan bahan permanen, seperti batu, semen, dan beton,” ujarnya.
Seluas 29.913 hektar sawah di Jabar yang dilanda kekeringan tersebar di 22 kabupaten/kota. Bahkan, 1.682 hektar di antaranya mengalami puso. Dampak terbesar terjadi di Kabupaten Indramayu, yakni 7.607 hektar sawah kekeringan, dengan 28 hektar di antaranya puso.
Masih banyak petani berspekulasi tetap menanam padi pada musim kemarau.
Sementara sawah yang mengalami puso terbanyak terdapat di Kabupaten Kuningan, yakni 654 hektar. Selanjutnya, Kabupaten Sukabumi (330 hektar), Kabupaten Garut (202 hektar), dan Kabupaten Cirebon (150 hektar).
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jabar Hendy Jatnika mengatakan, mayoritas lahan terdampak kekeringan merupakan sawah tadah hujan. Selain itu, lokasinya jauh dari sumber air, ditambah saluran irigasi yang rusak.
Hendy menuturkan, sejak awal Juni, pihaknya melalui penyuluh pertanian sudah menganjurkan petani untuk tidak menanam padi. Namun, masih banyak petani berspekulasi tetap menanam padi pada musim kemarau. Petani dianjurkan beralih menanam palawija.
Luas tanam sawah di Jabar saat ini 596.867 hektar. Artinya, rasio lahan yang dilanda kekeringan sekitar 5 persen. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, yaitu 3 persen.
Kekeringan dikhawatirkan mengurangi produksi padi di Jabar. Namun, Hendy optimistis target produksi 12 juta ton gabah kering giling pada 2019 akan tercapai. Hasil panen padi di Jabar hingga Juni 2019 mencapai 6,7 juta ton. Jumlah itu berpotensi bertambah karena sejumlah sawah di selatan Jabar belum dipanen.
”Sumber air sebagian sawah di kawasan selatan tidak bergantung pada irigasi atau bendungan, tetapi dari pegunungan. Jadi, sisanya (dari target) akan kami kejar dari hasil panen hingga akhir tahun,” ujar Hendy.
Solihin (48), petani di Tegalluar, Kabupaten Bandung, mengatakan, kekeringan melanda sawahnya sejak dua bulan terakhir. Meskipun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bandung memperkirakan musim kemarau akan terjadi hingga September, ia tetap mengolah sawahnya untuk memulai menanam padi.
Sawah Solihin berjarak sekitar 250 meter dari Sungai Cikeruh. Ia mengairi sawahnya menggunakan pipa dengan menyedot air dari irigasi di dekat sungai itu.
”Karena jarak ke sumber air tidak terlalu jauh, saya masih bisa menanam. Namun, banyak petani yang membiarkan sawahnya karena lokasinya jauh dari saluran irigasi,” ujarnya.