Megawati, Kabinet, dan Menteri Muda
Seperti halnya saat menjadi Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri juga menerima usulan sejumlah nama calon menteri. Namun, siapa saja yang akan dipilih sepenuhnya menjadi hak prerogatifnya.
Akhir-akhir ini, panggung politik nasional diramaikan dengan konsolidasi internal koalisi partai-partai politik pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin menjelang pembentukan kabinet periode 2019-2024.
Partai-partai tersebut beramai-ramai menyiapkan kader untuk diusulkan menjadi menteri di periode kedua pemerintahan Jokowi. Tak tanggung-tanggung, beberapa partai bahkan mematok jumlah kursi serta portofolio menteri tertentu.
Sejak pekan lalu, Jokowi memang berturut-turut menerima pengurus partai-partai di Istana Kepresidenan, mulai dari PDI-P, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan. Selain meminta masukan terkait arah pemerintahan, juga menyinggung isu terkait pembentukan kabinet.
Sebagaimana partai-partai koalisi Jokowi-Amin yang lain, PDI-P pun tak ketinggalan turut mempersiapkan diri. Meski demikian, Ketua Umum PDI-P Megawati mengakui belum mendapat undangan untuk bertemu Jokowi dan membicarakan ihwal pemerintahan ke depan.
”Pada akhirnya, Presiden yang memutuskan. Mungkin kami hanya bisa mengusulkan, tetapi tak ada bentuk perhitungan yang proporsional
bahwa seharusnya penempatannya begini atau begitu,” ujar Megawati saat ditanya di sela-sela kunjungannya di Beijing, China, sebagai pembicara kunci di Forum Perdamaian Dunia Ke-8, Rabu (10/7/2019). Inilah sebagian hasil wawancaranya.
Saat ini partai-partai koalisi pendukung Jokowi-Amin banyak yang menyiapkan nama-nama untuk diusulkan sebagai menteri, termasuk menyiapkan kader untuk disodorkan sebagai menteri muda. Bagaimana dengan PDI-P? Apakah akan bertemu dalam waktu dekat dengan Jokowi?
Hak prerogatif itu ada di Pak Jokowi. Seperti waktu saya jadi presiden, saya bilang ke partai-partai yang ada saat itu, oke, kamu boleh minta, kamu boleh kasih (usulan nama), tetapi orangnya saya yang pilih. Itu hal yang sangat logis. Karena, kalau orangnya tak seperti yang saya inginkan, bukannya pemerintahan
malah jadi tak bisa berjalan baik.
Presiden Jokowi mengatakan kabinetnya ke depan membutuhkan menteri berusia muda, usia 20-30 tahun. Bagaimana pandangan Anda terkait itu?
Saya pikir bisa-bisa saja anak muda, tetapi kalau umpamanya muda, tapi tidak bisa apa-apa, mau bagaimana? Lalu, kalau usianya tua, kenapa tidak boleh? Yang penting itu punya pengalaman, orang-orang yang mumpuni di bidangnya masing-masing.
Jadi, kalau memang mau menarik anak muda dalam kabinet pemerintahan, karakteristik seperti apa yang perlu diperhatikan?
Saya kira secara natural dan obyektif harus dilihat keperluannya seperti apa. Zaman Bung Karno memerintah dulu, ada loh menteri yang muda, tetapi memang pintar dan bisa menguasai isu. Menurut saya, ini kelemahan kita dewasa ini. Banyak orang yang disodorkan, tetapi tidak mengerti secara praktis tata pemerintahan. Saya berpikir, jangan-jangan kemungkinan (jadi menteri) hanya untuk mejeng saja.
Ini hanya pikiran saya sebagai ketua umum partai. Ketum partai lain kalau ditanya, jawabannya sama. Tetapi, kalau menurut saya, kalau anak muda mau jadi menteri, maka siapkan diri dulu.
Melihat peta politik di DPR saat ini, kekuatan partai pendukung Jokowi-Amin sebenarnya sangat kuat dibandingkan posisi pasca-Pemilu 2014. Dalam pandangan Ibu sebagai pemimpin partai utama pengusung pemerintah, apakah masih perlu penambahan anggota koalisi?
Kalau untuk urusan itu, saya akan bicarakan ke Pak Jokowi, tetapi tidak di sini. Saya sekarang sudah punya sikap sendiri untuk persoalan itu meskipun kembali nanti saya akan bilang bahwa itu adalah sepenuhnya hak prerogatif presiden. Namun, tentu saya akan memberi masukan.
Belakangan, sejumlah partai mantan pendukung Prabowo ada yang mulai mengkaji opsi untuk merapat. Kalau partai beramai-ramai diterima masuk ke koalisi, bagaimana mekanisme kontrol dan check and balance terhadap pemerintah di DPR?
Sekarang harus dibedakan kalau untuk urusan politik. Di politik itu, sebetulnya, jika dilihat dari sudut pandang filosofis, ada yang punya idealisme, tetapi di sisi yang berseberangan, ada juga yang pragmatis transaksional.
PDI-P pernah menjalankan peran sebagai kekuatan penyeimbang atau oposisi selama 10 tahun. Menurut Ibu, untuk saat ini, apakah kekuatan
yang seimbang di luar pemerintahan masih relevan dibutuhkan?
Sistem kita sebetulnya tidak ada oposisi. Dalam sistem kita, yang ada itu adalah kerja sama di pemerintahan, misalnya melalui masuk ke kabinet. Tetapi, kita ini sebenarnya, kan, bertarung di level masing-masing. Kalau ada oposisi, seharusnya dari atas sampai ke bawah konsisten beroposisi, seperti di negara dengan sistem parlementer.